ITS News

Minggu, 22 Desember 2024
16 September 2021, 20:09

Memandang Akhir dari Konflik Palestina-Israel (Bagian 2)

Oleh : itsdik | | Source : ITS Online

Dibalik Konflik: Israel dan Palestina (Editorial oleh ITS Online).

Palestina dan Israel, mengucapkannya saja sudah membuat orang yang mendengarkan merinding. Seberat itulah topik yang sudah menjadi bahan debat lintas masa dan generasi. Sengketa antara dua entitas kelompok ini menyimpan kisah sejarah yang dapat ditarik jejaknya hingga ribuan tahun. Seakan sudah menjadi konflik tanpa penyelesaian atau dapat dikatakan bak film yang tak memiliki ending.

Kejahatan Perang Oleh Militer Israel dan Hamas
Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak Asasi Manusia, Michelle Bachelet, sebelumnya mengatakan bahwa serangan Israel di Gaza mungkin merupakan sebuah kejahatan perang. Sedangkan apa yang dilakukan oleh Hamas, telah melanggar hukum humaniter internasional dengan menembakkan roket ke kawasan penduduk sipil Israel.

Atas dugaan tersebut, Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada Kamis, 27 Mei 2021 sepakat untuk melakukan penyelidikan internasional terkait kejahatan perang dan kemanusiaan yang dilakukan kedua belah pihak selama konflik 11 hari tersebut. Penyelidikan ini adalah tindak lanjut dari resolusi oleh Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan delegasi dari Palestina yang dibawa ke PBB.

Bagaimana respons Israel dan Hamas? Seperti yang sudah diduga, kedua belah pihak menampik berbagai tuduhan yang ditujukan dan saling lempar tanggung jawab. Dikutip dari Antaranews, Israel sendiri menolak resolusi yang diadopsi oleh forum Jenewa dan mengatakan tidak akan bekerja sama.

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menuduh Dewan Hak Asasi Manusia PBB berusaha melindungi dan menutupi segala kejahatan “organisasi teroris” Hamas. Mendukung pernyataan Netanyahu, Kementerian Luar Negeri Israel mengatakan pasukan militernya bertindak sesuai dengan hukum internasional, dimana sebagai upaya untuk melindungi warga negaranya dari tembakan roket Hamas yang tanpa pandang bulu.

Hamas, di sisi lain, melalui juru bicaranya mengatakan tindakan kelompok tersebut sebagai sebuah “perlawanan yang sah” dan menyerukan langkah segera untuk “menghukum” Israel.

Namun, jika dilihat secara seksama, apakah tindakan saling balas dengan kedok melindungi orang lain itu dapat dibenarkan? Apakah untuk melindungi orang lain diperlukan sebuah tindakan yang ekstrem dengan membunuh atau menghancurkan sarana dan kehidupan yang juga dilindungi oleh pihak musuh, bukan musuh itu sendiri?

Jika mengamati jalannya konflik ini beberapa waktu yang lalu, mungkin jawabannya iya. Baik Hamas, maupun militer Israel, sama-sama menargetkan fasilitas penduduk sipil dalam penyerangan. Terlebih, kebanyakan korban jiwa bukan berasal dari kalangan kombatan, melainkan penduduk sipil. Dalam hal ini, bisa dikatakan keduanya melakukan kejahatan perang.

Iron Dome (kanan) menghalau serangan roket Hamas (Sumber Anas Baba, AFP).

Dikutip dari Republika, selama pekan awal konflik, Hamas sudah meluncurkan lebih dari 3.200 roket ke arah Israel. Walaupun sebagian besar roket tersebut berhasil ditangkal oleh sistem pertahanan udara andalan Israel, Iron Dome,  penembakan ribuan roket secara asal-asalan oleh Hamas ke Israel sudah jelas melanggar hukum internasional yang melarang menargetkan warga sipil atau menggunakan kekuatan tanpa pandang bulu di wilayah sipil.

Tidak hanya itu, pejuang Hamas jelas menempatkan terowongan bawah tanah, infrastruktur komando dan kontrol, serta peluncur roket di daerah pemukiman sipil. Penyelidikan oleh Dewan Hak Asasi Manusia harus membuktikan bahwa Hamas dengan sengaja menempatkan aset militer di dekat warga sipil untuk melakukan “kamuflase” dan mendapat “perlindungan”.

Di sisi lain, rentetan serangan udara militer Israel yang menghancurkan bangunan rumah, perkantoran, dan fasilitas publik lainnya dapat dikatakan serupa dengan yang dilakukan oleh Hamas. Bedanya, militer Israel didukung oleh intelijen dan persenjataan yang canggih, mudah saja bagi drone atau jet-jet tempur Israel menyerang target operasi mereka.

Klaim Pemerintah Israel, mereka menyerang infrastruktur yang dicurigai sebagai tempat komando dan penyimpanan aset militer Hamas. Dikatakan, militer Israel melakukan segala upaya untuk menghindari korban dari warga sipil, termasuk dengan memperingatkan mereka lewat panggilan telepon sebelum serangan dilancarkan. Namun, kita semua tahu berapa banyak penduduk Gaza yang tetap menjadi korban.

Dilansir dari Hetanews, meskipun Israel memandang Hamas sebagai organisasi teroris, tidak dapat dipungkiri bahwa Hamas juga memegang pemerintahan de facto di Gaza. Tentu saja, sebagai organisasi yang memiliki kuasa, pemerintahan Hamas mempekerjakan ribuan orang sebagai pegawai negeri.

Hanya terhubung dengan kelompok Hamas, tidak berarti seseorang adalah pendukung Hamas. Pun, jika mereka adalah pendukung Hamas, tidak berarti juga semuanya adalah pejuang militer. Mayoritas orang-orang tersebut tidak terlibat dalam pertempuran, yang berarti mereka tidak seharusnya menjadi sasaran militer.

Mendukung pernyataan tersebut, berdasarkan definisi dari Komite Palang Merah Internasional, kombatan dapat diartikan sebagai seseorang dengan “fungsi tempur berkelanjutan” atau mereka yang terlibat dalam pertempuran pada saat mereka menjadi sasaran.

Jadi, bahkan jika sebuah bangunan dipenuhi oleh pendukung Hamas, para ahli berpendapat bahwa itu tidak dapat dijadikan target yang sah kecuali mereka terbukti aktif dalam operasi tempur. Apakah militer Israel yang cerdas dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia mempertimbangkan hal tersebut?

Solusi Dua Negara
Pemerintah Amerika Serikat, dalam pernyataannya mengatakan solusi dua negara adalah satu-satunya jawaban untuk menyelesaikan konflik antara Palestina dengan Israel. Presiden AS, Joe Biden, menyatakan bahwa penting untuk memastikan keamanan warga Palestina di Tepi Barat dan Gaza. Hal serupa juga berlaku untuk warga Israel, baik Arab maupun Yahudi.

Gagasan solusi dua negara ini berarti Palestina dan Israel bisa hidup berdampingan sebagai negara berdaulat, dengan Yerusalem sebagai ibukota bersama. Solusi itu dianggap sebagai solusi paling realistis, dan sudah didukung oleh serangkaian resolusi Dewan Keamanan PBB dan sidang Majelis Umum PBB.

Bagaimana dengan Indonesia sendiri? Seperti yang dikatakan oleh juru bicara Kementerian Luar Negeri, Indonesia mendukung solusi dua negara ini. Indonesia berpeluang membuka hubungan diplomatik dengan Israel dengan syarat negara itu setuju dengan solusi dua negara. Namun, dukungan Indonesia atas solusi dua negara ini bukan berarti Indonesia secara de facto mengakui eksistensi negara Israel.

Jika sudah seperti ini, yang menjadi pertanyaan adalah apakah Pemerintah Israel dan Otoritas Palestina akan sepenuhnya setuju. Sepertinya kata sepakat akan sulit tercapai, karena baik Israel dan Palestina selama ini berbeda pendapat mengenai garis perbatasan kedua wilayah. Bagaimana dua negara akan terbentuk jika garis perbatasan saja tidak  ada yang sepakat?

Ditambah, membagi Yerusalem menjadi wilayah bersama bukan perkara mudah,  mengingat kedua pihak mengklaim Yerusalem sebagai wilayah ibu kota dan tempat suci keagamaan. Seperti kata perwakilan pemerintah Palestina di Washington, Husam Zolot, yang mengatakan bahwa pembagian Yerusalem adalah inti dari solusi dua negara. Jika tidak hati-hati mengenai pembagian Yerusalem, bukan tidak mungkin konflik akan kembali terulang.

Ilustrasi bendera Palestina dan Israel (Sumber: rightwingwacth.org).

Melihat Dari Sudut Pandang Lain
Fakta dan data telah dipaparkan, kini tinggal kita yang menyimpulkan, siapa yang menjadi korban dan siapa yang harus bertanggung jawab. Setiap orang memiliki perspektifnya masing-masing, tidak elok rasanya membenci karena perbedaan pandangan. Namun, kadang kala ada satu hal yang terlupa, bagaimana jika kita melihat konflik ini dari sudut pandang kemanusiaan?

Perang, adalah sebuah “produk budaya” yang merupakan sisi kelam dari peradaban manusia. Melalui perang, kita bisa melihat sifat sebenarnya dari karakteristik hati manusia. Segala bentuk hal mengerikan yang dapat dibayangkan bisa terjadi dalam perang. Pembunuhan, penyiksaan, dan pemerkosaan rasanya sudah menjadi hal yang “lumrah” dalam perang.

Tentu saja, secara moral membunuh adalah tindakan yang keji. Bagaimana tidak keji apabila metode pembunuhan di zaman sekarang tidak hanya menggunakan senjata api, tetapi juga menggunakan roket yang berhulu ledak. Bisa kita bayangkan, betapa kejam manusia terhadap sesamanya ketika sudah dikuasai oleh nafsu, dendam, dan kebencian.

Rasa-rasanya, standar manusia mengenai kekejaman yang dapat dilakukan dalam perang semakin brutal. Persenjataan dengan daya ledak yang tidak masuk akal, diciptakan untuk digunakan dalam perang. Bayangkan, ketika tubuh manusia hancur berkeping-keping terkena serangan rudal atau roket, hancur karena tertimpa reruntuhan bangunan, atau yang terburuk, hilang karena terkena dampak bom nuklir.

Anehnya, hal-hal tersebut sudah pernah terjadi. Metode-metode perang yang mengerikan tersebut sudah pernah digunakan, dan bukan hanya sekali. Yang lebih menakutkan, persenjataan militer akan terus berkembang seiring dengan kemajuan peradaban manusia. Tidak dapat dibayangkan bagaimana dampak yang ditimbulkan perang di masa depan.

Inilah yang menjadi kekhawatiran, bagaimana jika konflik di Israel dan Palestina terus berlanjut sampai ratusan tahun ke depan? Akan seperti apa nasib penduduk Israel dan Palestina yang tinggal di wilayah sempit dan padat, ketika dihadapkan pada ancaman perang yang lebih kejam dan brutal daripada masa sekarang?

Dunia yang Menerima Perbedaan
Berangkat dari sana, mungkin sudah saatnya kita membayangkan bagaimana relevansi perang di zaman sekarang. Sebisa mungkin, benih-benih pertikaian harus dihindari dan diplomasi diutamakan. Segala kompromi harus dipertimbangkan walau memberatkan, namun jikalau itu adalah jalan satu-satunya untuk mencapai kedamaian, maka apa boleh buat.

Sekarang ini, sudah bukan zamannya kita menyelesaikan sebuah sengketa dengan perkelahian, sekarang adalah zaman dimana sebuah solusi ditemukan dengan saling pengertian. Menerima segala perbedaan yang ada dan hidup secara berdampingan mungkin saja bisa menjadi jalan akhir konflik ini, walaupun hanya menjadi sekadar angan belaka .

Ini mengingatkan saya pada sebuah lagu yang dinyanyikan oleh musisi legendaris asal Inggris, John Lennon. Dalam lagunya, Imagine, dia berandai bahwa dunia akan indah ketika tidak ada lagi perbedaan. Kembali lagi, dunia yang menerima segala perbedaan, mungkin saja adalah keinginan yang egois dari seorang manusia yang cinta perdamaian. Selama manusia masih memiliki kepentingan politiknya masing-masing, konflik dan perselisihan tidak akan mencapai garis akhir.

 

Ditulis oleh:
Tim Redaksi ITS Online

Berita Terkait