Kampus ITS, Opini – 1 Oktober hadir setiap tahunnya untuk memperingati sekaligus mengenang jasa para pahlawan revolusi. Tak hanya itu, rentetan peristiwa sejarah sejak masa penjajahan pada hari itu, juga mencatatkan peran pemuda sebagai tongkat estafet penerus pembangunan negeri. Dengan gencarnya arus globalisasi saat ini serta berbagai kemudahan teknologi, apakah tongkat estafet itu masih bersambung di tangan pemuda?
Tidak bisa dipungkiri, globalisasi memberikan pengaruh signifikan bagi generasi Y, Z dan generasi-generasi yang lahir setelahnya. Di samping banyaknya hal-hal positif yang didapat, sayangnya hal-hal negatif pun juga turut membuntuti. Bukan hanya sekadar bualan, ujung dari fenomena ini pun sudah banyak disinggung dimana-mana. Turunnya nilai moralitas dan etika sosial-budaya bermasyarakat digadang-gadang menjadi akar berubahnya karakter pemuda yang cenderung bersifat individualis.
Degradasi nilai-nilai kebangsaan ini tentu tidak terjadi begitu saja. Salah satu pembeda yang jelas antara era modern dengan era perjuangan dahulu ialah kemudahan teknologi yang tersedia. Sebelum tercetusnya sumpah fenomenal pada 28 Oktober 1928, pemuda yang dari beragam ras dan suku bersatu-padu untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini melalui serentetan diskusi serius. Namun, berkat semakin canggihnya teknologi saat ini, semua proses itu menjadi sangat ringkas dan instan, termasuk proses berhimpunnya para penerus bangsa ini yang sudah sangat praktis..
Jika dilihat dari sudut pandang digitalisasi, transisi ini mungkin merupakan hal positif tanpa cacat. Namun di sisi lain, observasi yang dilakukan Devyanne Oktari membuktikan hal yang berbeda..
Melangsungkan risetnya di berbagai lingkar pergaulan mahasiswa kampus seperti komunitas dan cafe gathering di sekitar kota Bandung, ia mendapati bahwa terdapat dampak negatif yang timbul akibat kemudahan akses teknologi. Forum diskusi yang dilangsungkan secara virtual dan terus menerus, lama kelamaan dapat memunculkan sifat individualisme kala berkumpul bersama orang lain. Alih-alih bercengkrama secara intens, semua orang akan memberikan perhatiannya pada gawai pintarnya masing-masing.
Begitu pula dalam permasalahan etika. Hadirnya media sosial memberi andil dalam maraknya nilai-nilai hedonisme, konsumtif, ketidaksopanan dan lain sebagainya. Nilai awal adanya media sosial sebagai media berbagi kehidupan dengan orang lain, lama kelamaan menjadi mimpi buruk yang berubah menjadi rasa iri, kompetitif secara negatif, serta penetapan materi sebagai standar segala kebahagiaan.
Jika kita mau berpikir, sejatinya dua nilai di atas sudah cukup menjadi alasan bangkitnya kesadaran pemuda yang terlena akan nikmatnya dunia modern. Penanaman nilai Pancasila yang selama ini dirasa tidak penting, rasanya harus dipandang dengan pola pikir yang baru. 10 hingga 20 tahun lagi, entah akan dibawa kemana nasib bangsa ini jika kemajuan yang ada tidak disaring pintar-pintar sisi baik dan buruknya.
Seperti canggihnya teknologi dan media sosial yang selalu dipandang positif, tidak boleh membutakan mata kita terhadap sisi negatifnya. Media sosial tidak berhak merenggut karakter pemuda Indonesia menjadi sosok yang individual dan enggan bersaudara. Sebaliknya, media sosial justru bisa menjadi jembatan untuk menyalurkan nilai-nilai Pancasila, seperti melalui misi kemanusiaan misalnya. Jika dimanfaatkan dengan baik, banyak kontribusi besar dan luas yang dapat dilakukan dengan hadirnya media ini.
Keadaan pemuda saat ini adalah gambaran sebuah bangsa di masa depan. Segala hal yang dilakukan para pemuda kita, akan mengarahkan ke mana bahtera bangsa ini berlabuh nantinya. Walaupun bermula dari langkah kecil, perubahan pasti nyata adanya. Perubahan yang dilakukan bersama-sama akan memberikan dampak yang semakin besar pula. Itulah satu-satunya cara kita, para pemuda Indonesia untuk melanjutkan identitas lima sila bangsa meskipun telah berganti generasi.
Ditulis oleh:
Fatima Az Zahra
Mahasiswa Departemen Teknik Kimia Industri ITS
Angkatan 2019
Reporter ITS Online
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)
Kampus ITS, ITS News — Tim Spektronics dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali sukses mendulang juara 1 pada ajang
Kampus ITS, ITS News — Kurang meratanya sertifikasi halal pada bisnis makanan khususnya pada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM),