Kampus ITS, Opini – Perfilman Indonesia tengah berusaha bangkit setelah cukup lama tercekik dengan adanya pandemi COVID-19. Sedikitnya, hanya terdapat 38 judul film Indonesia berhasil tayang di bioskop dengan jumlah penonton menurun drastis apabila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal itu diperparah dengan pembajakan film yang semakin akut.
Dilansir dari Tribunnews.com, jumlah penonton yang menonton film nasional di bioskop selama pandemi sepanjang tahun 2021 tercatat sebanyak 1,7 juta penonton. Angka ini masih terhitung sedikit jika dibandingkan dengan tahun 2020 yang menembus angka 18 juta penonton dan tahun 2019 sebanyak 51 juta penonton.
Terlebih lagi, sepanjang pandemi Covid-19, aturan pembatasan sosial yang diberlakukan pemerintah juga sempat berimbas pada penutupan bioskop. Menurut katadata.co.id, kerugian akibat penutupan bioskop dari jumlah tiket penonton selama tujuh bulan pada tahun 2020 diperkirakan mencapai hampir 2 triliun rupiah dan terus membengkak hingga tahun 2021.
Di tengah situasi getir tersebut, industri perfilman Indonesia nyatanya juga tidak didukung dengan kesadaran masyarakat untuk menonton film secara legal. Alih-alih menonton melalui situs resmi maupun bioskop, banyak orang malah masih bergantung pada situs ilegal. Alih-alih ikut mendukung film nasional dengan membayar secara legal, banyak orang memilih menonton secara gratis dengan cara yang tidak sah. Pembajakan film menjadi masalah usang yang tak kunjung usai.
Ribuan situs penyedia streaming ilegal tidak berhenti berkembang biak, bahkan kerap merambah ke berbagai media sosial seperti Telegram. Meski Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tidak tinggal diam dengan memblokir akses 1.000 situs film ilegal di tahun 2019, upaya ini nyatanya tidak memberi efek jera. Ibarat mati satu tumbuh seribu, situs streaming film illegal masih berlalu-lalang.
Ilustrasi ajakan berhenti membajak film demi menumbuhkan ekonomi kreatif (sumber: @AyoFilmID)
Fenomena ini tentunya menjadi keresahan terutama bagi produser dan aktor yang berlaga di balik dan depan layar. Dengan adanya film bajakan, tidak hanya kerugian secara materi yang semakin membengkak tetapi juga mencederai nilai-nilai seni melalui pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HaKI).
Mengutip cuitan Joko Anwar melalui akun Twitter resminya, sekitar 70 persen film Indonesia merugi setiap tahunnya. Hal ini berarti apabila terdapat 140 film Indonesia yang dirilis, 94 film di antaranya tidak balik modal. Lantas apabila dari satu produksi film mempekerjakan setidaknya 120 hingga 500 aktor dan kru lapangan, bisa terbayang besarnya jumlah orang yang dirugikan apabila pendapatan hasil produksi tidak sebanding dengan pengeluaran.
Apabila kondisi ini terus berjalan tanpa adanya kesadaran untuk mulai menyaksikan film secara legal, skenario terburuk yang akan terjadi adalah industri perfilman Indonesia bisa saja mati. Belum lagi, apabila kondisi ini tidak kunjung dihentikan, generasi muda yang akan datang bisa saja tidak bisa merasakan indahnya persahabatan seperti dalam film Laskar Pelangi atau tegangnya menyaksikan adegan aksi Iko Uwais seperti dalam film The Raid. Matinya perfilman Indonesia sama halnya dengan membunuh salah satu darah seni yang dimiliki negara ini.
Bila dibandingkan dengan zaman dahulu dimana internet masih belum memiliki diferensiasi sebesar sekarang, upaya paling sederhana untuk mendukung perfilman Indonesia adalah dengan menyaksikan langsung filmnya di bioskop. Penonton setidaknya mengeluarkan uang Rp 30-55 ribu untuk satu film berdurasi satu hingga dua jam. Memang dulu masih dijumpai opsi lain menonton film melalui VCD atau DVD, tetapi kedua opsi tersebut sudahlah mati juga karena pembajakan.
Di era yang lebih modern ini, sudah banyak opsi lain untuk mendukung perfilman Indonesia. Penggemar film dapat menonton dengan cara yang legal tanpa harus jauh-jauh ke bioskop. Hal itu dapat dilakukan dengan menikmati streaming dari beberapa platform seperti Netflix, iFlix, Goplay, BioskopOnline, dan perusahaan legal sejenisnya. Film-film lama hingga terbaru dapat kita nikmati dengan membayar biaya langganan.
Opsi ini tentunya bisa menjadi alternatif bagi penggemar film yang tidak menjadikan kegiatan menonton film di bioskop sebagai kebutuhan dasar mereka. Dengan hanya bermodalkan Rp 20-55 ribu, penonton bisa menyaksikan lebih dari satu judul film dalam sebulan. Belum lagi, opsi berbagi dengan pelanggan lain seperti paket keluarga yang memungkinkan satu akun untuk diakses banyak orang menjadi sebuah pilihan yang bisa diambil untuk menghemat pengeluaran.
Aksi sederhana seperti inilah yang diperlukan untuk mendorong perfilman Indonesia terus berkembang dan tidak menggunakan jalan yang melanggar hukum seperti melakukan pembajakan film. Dengan menggunakan cara yang legal dalam menikmati film juga berarti iku mendukung perbaikan kualitas film Indoneisa. Bukan tidak mungkin akan muncul banyak film nasional yang mampu bersaing di pasar internasional ke depannya.
Dengan demikian, kesadaran penuh masyarakat untuk menghargai sebuah karya seni dan tidak memandangnya sebelah mata sangatlah dibutuhkan. Seni tidak hanya sesuatu yang terukir di atas kanvas, tetapi juga segala bentuk rasa, cipta, dan karsa manusia. Oleh karena itu, sepatutnya kita sebagai masyarakat Indonesia bahu-membahu menjaga perfilman Indonesia agar tetap langgeng melalui aksi sederhana yaitu menonton film secara legal dan berkata tidak pada pembajakan film.
Ditulis Oleh:
Yanwa Evia Java
Mahasiswa S-1 Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota ITS
Angkatan 2019
Reporter ITS Online
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)