ITS News

Rabu, 13 November 2024
30 Maret 2022, 19:03

Menilik Dinamika Sinema Indonesia dalam Garis Masa

Oleh : itsgan | | Source : ITS Online

Potret Bapak Perfilman Nasional, Usmar Ismail, sineas sekaligus bapak perfilman Indonesia (sumber: kominfo.go.id)

Kampus ITS, Opini – Sejak awal kemunculannya, film telah menjadi fenomena yang menarik. Betapa tidak, seiring perkembangan teknologi dan penerapannya film dapat dimasukkan dalam disiplin seni, kajian komunikasi, sejarah, dan sebagainya. Begitupun film Indonesia dengan segara dinamika dalam perkembangannya.

Titik awal perfilman Indonesia dapat dilihat dari film Loetoeng Kasaroeng. Sebuah film yang pertama kali diproduksi di Indonesia. Berlatar cerita asli Indonesia, Loetoeng Kasaroeng menampilkan legenda terkenal dari Jawa Barat yang berisi nasihat untuk tidak memandang sesuatu dari tampilan fisiknya saja. Namun, film bisu warna hitam putih itu masih merupakan karya rumah produksi Java Film Co dengan sutradara orang Belanda bernama L. Heuveldorp.

Maju semakin cepat, film menjadi sebuah seni budaya yang harus terus dikembangkan. Begitulah yang dirasakan Bapak Film Indonesia, Usmar Ismail. Pada 1955, Usmar mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI). Tak hanya itu, dia juga mengorganisasi para pengusaha film ke dalam Persatuan Pengusaha Film Indonesia.

Tidak sekedar sineas biasa, Usmar juga seorang penggerak yang idealis hingga menolak politisasi film yang dicanangkan rezim Soekarno lewat Manifesto Politik. Dia salah satu anggota DPR-GR (1966-1969) yang menolak pidato pertanggungjawaban Soekarno dan kemudian menandai awal lengsernya Soekarno dari kursi presiden.

Riuhnya politik Indonesia medio 1965 tentu menjadikan film sebagai salah satu media yang kuat untuk mengarahkan rakyat. Penetapan 30 Maret sebagai hari film sendiri sempat ditentang dari golongan kiri yang sangat agresif. Mereka melakukan berbagai serangan kepada film Usmar yang dianggap tidak nasionalis atau kontra revolusioner.

Era orde baru menjadikan film sebagai media propaganda politik pro pemerintah. Salah satu yang diingat adalah film pemberontakan G30S/PKI yang ditayangkan rutin setiap tahun. Film dengan naskah skenario sebanyak 265 halaman ini menjadikan sosok Soeharto diperankan, dimunculkan, dan dikesankan sebagai pahlawan yang menyelesaikan pemberontakan PKI alih-alih berfokus pada edukasi sejarah.

Tidak hanya menjadi media propaganda, film pada masa ini pun sempat diwarnai genre komedi berbalut satir politik yang menjadi kegemaran masyarakat dan tak lekang oleh zaman, Warkop. Grup komedi yang beranggotakan Dono, Nunu, Kasino dan Indro menjadi elemen yang berperan cukup aktif mengkritik orde baru ala satir politik khas Warkop. Dari Warkop kita belajar untuk memberikan ruang kritis yang unik dan berbeda melalui karya. Nama mereka selalu terkenang sepanjang zaman.

Era reformasi menjadikan ekspresi film semakin bebas. Kebebasan berpikir dan berpendapat lebih mendapat jaminan, pun menyalurkannya melalui film. Namun banyak kritikus film yang justru menjulukinya sebagai ‘Era bebas yang kebablasan’. Banyak muncul film horor yang justru menonjolkan sisi sensualitas daripada kualitas. Film sensual berkedok horor, komedi, maupun drama menggejala hingga dianggap wajar saja.

Memasuki tahun 2022, muncul pertanyaan yang cukup menarik. Bagaimana perkembangan industri perfilman Indonesia saat ini? Apa yang bisa dilihat dari dunia layar emas Indonesia? Covid-19 yang menjalar sejak 2020 menyebabkan perubahan signifikan terhadap industri film secara global. Pandemi pun memantik berkah bagi layanan streaming atau platform video on-demand.

Pil pahit pun harus ditelan para produsen film karena semua bioskop resmi ditutup sebab mengundang jumlah kerumunan yang besar serta berpotensi menjadi klaster penyebaran pandemi. Padahal menurut sutradara kawakan Indonesia, Joko Anwar, bioskop menghasilkan pendapatan paling besar dari produksi sebuah film.

Meskipun begitu, ternyata perfilman Indonesia tidak pula lumpuh. Dari data Badan Perfilman Indonesia (BPI), jumlah film yang diproduksi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir justru meningkat menjadi 150 film. Selain film-film yang masuk box office, ratusan film panjang, film pendek dan film dokumenter lainnya dibuat dan ditayangkan di tempat-tempat pemutaran film alternatif.

Hal itu membawa pertanda ada sinyal dan efek positif. Mulai bermunculan banyak aktris dan aktor berbakat. Tidak hanya numpang lewat, mereka berhasil terus memperhatikan performa mereka di setiap film yang mereka bintangi, bahkan menjadi lebih hebat lagi. Mulai bermunculan juga sutradara baru dengan ide cerita yang unik dan berbeda ditampilkan dalam filmnya.

Setelah melalui masa-masa kelam, pergerakan industri perfilman Indonesia terbukti sulit untuk dihentikan. Hal yang sangat bagus tentunya, mengingat bahwa insan perfilman Indonesia masih terus belajar dan berkembang lebih baik. Maka dengan momentum Hari Film Indonesia, mari kita dukung terus perfilman Indonesia!

 

Ditulis oleh:

Gandhi Kesuma

Mahasiswa D-4 Departemen Teknik Infrasturktur Sipil

Angkatan 2021

Reporter ITS Online

Berita Terkait