ITS News

Sabtu, 23 November 2024
28 April 2022, 17:04

Mengulik Rawannya Pekerja Muda Alami Kecelakaan Kerja

Oleh : itsthi | | Source : ITS Online

Ilustasi kegiatan dalam sebuah proyek pembangunan (sumber: https://www.freepik.com)

Kampus ITS, Opini — Slogan Utamakan Keselamatan tidaklah asing di setiap proyek pembangunan. Sayangnya, keseriusan pesan tersebut masih tidak sejalan dengan tingginya jumlah kecelakaan kerja di Indonesia, terutama pada kelompok usia muda. Lantas, mengapa mereka yang memiliki ketangkasan dan fisik yang kuat justru banyak menjadi korban?

Data ini disampaikan oleh Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia, Ida Fauziyah. Ia mengatakan, sepanjang 2021, dari 82 ribu kasus, kecelakaan kerja paling banyak dialami oleh kelompok usia 20 hingga 25 tahun. Berdasar data ini dapat dilihat, sekalipun secara fisik lebih unggul, nyatanya pekerja muda lebih rawan mengalami kecelakaan kerja.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Dilansir dari laman resmi safetysign.co.id, Occupational Safety and Health Administration (OSHA) Amerika Serikat menyatakan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi fenomena ini diantaranya karakter pekerja muda yang rentan mengalami stress, kurangnya pengawasan supervisor, pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang tidak memadai, hingga pengoperasian peralatan kerja yang tidak aman.

Di samping itu, minimnya pengalaman, keterampilan, dan pengetahuan juga merupakan faktor lain yang turut mempengaruhi. Terlebih, egoisme pekerja muda yang enggan bertanya agar tidak dianggap bodoh, menjadi permulaan kelalaian keselamatan kerja. Sehingga saat bahaya mulai muncul, mereka tidak bisa mengidentifikasi dan mengendalikannya. Fenomena ini merupakan gambaran nyata dari peribahasa malu bertanya, sesat di jalan.

Sekalipun bertanya adalah hal yang wajib, namun hal ini juga bukan alasan bagi safety supervisor untuk tidak memberikan bimbingan. Sebab setiap sebelum bekerja, safety supervisor-lah yang tetap harus memastikan cukupnya pengetahuan dan ketaatan para pekerja terhadap aturan keselamatan yang telah ditetapkan.

Beragam metode dapat dilakukan untuk memastikan hal ini, yang paling umum adalah safety briefing setiap awal bekerja dan patroli di setiap titik rawan kecelakaan. Tak kalah penting juga, pengetatan aturan dan sanksi sangat dibutuhkan guna membangun iklim keselamatan kerja yang baik. Jika demikian, tidak akan ada lagi pekerja yang akan meremehkan keselamatan kerja di suatu proyek, sekalipun merupakan hal yang sangat remeh.

Terlepas dari kewajiban tenaga kerja seperti yang diulas di atas, memastikan keselamatan dan kesehatan kerja pada dasarnya merupakan kewajiban perusahaan. Pemberian pelatihan K3, keberadaan ahli K3 bersertifikasi, penjaminan alat kerja yang aman, sistem penjaminan K3, hingga faktor lingkungan seperti pencahayaan dan sirkulasi udara yang cukup wajib difasilitasi oleh setiap perusahaan.

Ilustrasi alat keselamatan kerja yang digunakan dalam proyek pembangunan (sumber: https://www.freepik.com)

Sebab pada dasarnya, keselamatan dan kesehatan kerja adalah hak mendasar bagi setiap pekerja. Di samping itu, secara ekonomis perusahaan juga dapat terhindar dari kerugian akibat kecelakaan kerja. Oleh karenanya, aturan dan hukum mengenai K3 di negeri ini diatur sedemikian rupa agar dapat dilaksanakan dan ditaati sebaik-baiknya dalam bidang pekerjaan apapun.

Ditulis oleh:

Nurul Lathifah

Mahasiswa Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota ITS

Angkatan 2021

Reporter ITS Online

 

Berita Terkait