Kampus ITS, Opini – Selain berdiri pada fungsi utamanya sebagai tempat koleksi benda-benda bersejarah, museum turut menjadi destinasi wisata pilihan masyarakat untuk lebih memahami sejarah. Namun, di tengah pesatnya perkembangan era digital, apakah museum akan tetap bertahan menjadi pilihan masyarakat untuk berwisata?
Mendengar kata museum, yang terbersit adalah bayangan akan bangunan lawas dengan aksen kuno dengan berbagai benda sumber sejarah. Sebenarnya, akan timbul esensi yang lebih meluap apabila kita mengetahui cerita pengiring ‘benda’ yang dipamerkan tersebut sewaktu berkunjung ke museum. Terlebih, saat ini museum semakin berkembang dengan mengadopsi berbagai tema unik. Sebut saja salah satunya, “Museum Angkut”, yang memamerkan berbagai jenis dan perkembangan alat transportasi lintas zaman. Ada juga “Cup Noodles Museum” yang bertemakan perkembangan ramen instan di Jepang.
Kendati demikian, akankah hal tersebut cukup untuk menarik minat masyarakat untuk berkunjung ke museum?
Faktanya, riset yang dilakukan Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali mengungkapkan bahwa Museum Nasional mengalami penurunan jumlah pengunjung sebesar 25% dari 399.618 orang menjadi 299.049 orang pada tahun 2017. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa dalam kurun waktu lima tahun ini, ternyata museum sudah kurang diminati masyarakat. Ditambah lagi dengan imbas dari pandemi Covid-19 yang membuahkan penurunan pengunjung paling besar pada tahun 2020 lalu.
Salah satu variabel yang mempengaruhi penurunan jumlah pengunjung tersebut adalah perubahan jenis pengunjung itu sendiri. Jika dibandingkan dengan generasi milenial atau generasi sebelum generasi Z, masyarakat akan sering mengunjungi museum untuk mempelajari sejarah lebih dalam. Akan tetapi, pada generasi Z yang beriringan dengan era digitalisasi ini, masyarakat lebih cenderung untuk menggunakan internet dan teknologi untuk mempelajari sejarah.
Berlari atau tertinggal, mungkin inilah yang dapat menjadi acuan museum di era modern ini untuk segera berbenah agar tak kalah bersaing dengan destinasi wisata lain. Tentu, berbagai terobosan dapat dilakukan. Seperti halnya yang dijelaskan dalam buku berjudul Museum in The Digital Age, museum harus mengembangkan tiga hal dengan memanfaatkan perkembangan teknologi saat ini. Antara lain yakni diversifikasi konten, pengalaman yang imersif, serta memanfaatkan desain ruang terbuka dengan prinsip sustainability.
Diversifikasi konten sendiri dapat menjadi solusi yang menarik untuk menghidupkan museum dengan menjadi media bercerita serta melibatkan pengunjung museum. Sebagai contoh, museum dapat membuat miniatur benda yang dipamerkan melalui teknologi 3D printing sehingga pengunjung akan lebih tertarik untuk kembali mengunjungi museum. Adapun pengalaman imersif sendiri menggunakan teknologi seperti augmented reality dan virtual reality yang dapat memberikan pengalaman menarik kepada pengunjung agar dapat ‘berinteraksi’ langsung dengan benda yang dipamerkan.
Pada akhirnya, museum tetap harus beradaptasi jika ingin tetap relevan dengan perkembangan zaman. Pada Hari Museum Internasional yang diperingati setiap tanggal 18 Mei ini, International Council of Museum (ICOM) mengangkat tema The Powers of Museum yang bertujuan untuk mengembangkan museum melalui kontribusi masyarakat dan komunitas, sekaligus dengan memanfaatkan inovasi dan teknologi. Dengan begitu, diharapkan museum kembali menjadi wisata edukasi yang diminati masyarakat.
Ditulis oleh:
Regy Zaid Zakaria
Mahasiswa S-1 Teknik Lingkungan
Angkatan 2021
Reporter ITS Online
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)