Kampus ITS, Opini – Bak meja kayu yang lapisan paling luarnya terkikis hingga menampakkan serat-serat yang menjadikan permukaannya tak lagi mulus, begitulah kira-kira penampakan hutan Papua saat ini. Dalam kurun waktu dua dekade terakhir, faktanya Papua telah kehilangan 750.000 hektar hutannya, sekitar dua persen dari luas total hutan di sana.
Melalui unggahan sebuah foto, Badan Antariksa Amerika Serikat atau NASA menunjukkan perbandingan citra satelit sebuah wilayah di Papua pada tahun 2002 dan 2019. Wilayah yang pada tahun 2002 tampak jelas terlihat hijau tersebut, 17 tahun setelahnya berubah menjadi wilayah terbuka dengan lahan tanah.
Bukan tanpa alasan, dikutip dari liputan6.com, NASA Earth Observatory mengungkapkan bahwa wilayah Papua yang cenderung lebih sulit diakses daripada wilayah Indonesia lainnya berdampak pada semakin masifnya pembukaan lahan yang dilakukan beberapa tahun belakangan ini. Salah satunya untuk perkebunan sawit. Hutan Papua menjadi korban selanjutnya setelah hutan Sumatera dan Kalimantan yang sudah terlebih dulu menjadi korban.
Deforestasi atau penebangan hutan besar-besaran saat ini memang menjadi masalah serius terutama di sepanjang Sungai Digul dekat Kampung Banamepe, Papua. Mirisnya, dilansir dari The Gecko Project, Mongabay, Tempo, dan Malaysia kini, proyek dengan sebutan “Tanah Merah” tersebut juga dilapisi ornamen permainan uang, penyalahgunaan kekuasaan, hingga manipulasi kebijakan politik. DIrangkum rapi di balik fenomena pembukaan lahan untuk industri sawit.
Penggundulan hutan masih menjadi isu degradasi lahan yang paling masif terjadi di Indonesia. Meski Badan Pusat Statistik menyatakan pada kurun waktu 2019 hingga 2020 laju deforestasi di Indonesia telah menurun drastis, faktanya sejak 2015 hingga 2020, Indonesia telah kehilangan 213 juta hektare hutan atau setara 3,5 kali luas Pulau Bali. Bayangkan!
Ironi memang, jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 273 juta jiwa di akhir tahun lalu menuntut pasokan pangan yang tak sedikit, produksi sandang yang terus bertumbuh, hingga berkembangnya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hunian serta sentra perekonomian masyarakat. Semua itu jelas-jelas memberdayakan sumber daya yang berujung pada penebangan hutan, lagi.
Lantas, bagaimana?
Sekadar mengingatkan, permasalahan degradasi lahan di Indonesia adalah hal yang harus kita sadari bersama. Pasalnya, topik lingkungan belum terlalu akrab menjadi perbincangan di masyarakat saat ini. Seperti yang dilansir dari Remotivi, banyak orang cenderung menganggap permasalahan seperti ini hanya akan menimpa orang lain dan terjadi di tempat yang jauh dari mereka. Menjadi acuh di balik semakin merebaknya kasus ini menjangkiti hutan-hutan Indonesia.
Persepsi tersebut pada akhirnya berujung pada pola hidup masyarakat yang kurang memperhatikan kelestarian lingkungan. Padahal, degradasi lahan bukanlah peristiwa episodik, hal ini jelas akan memengaruhi keberlangsungan hidup generasi selanjutnya. Berupaya memulihkannya bukan perkara mudah. Tapi manusia tetaplah makhluk hidup yang berdaya. Tetaplah agen-agen yang dapat membawa perubahan baik, meskipun kecil.
Mari sejenak menelisik kisah Medi Bastoni, sosok pecinta alam yang rela berjalan kaki mundur dari kampung halamannya di pelosok Tulungagung, Jawa Timur sampai ke Ibu Kota Jakarta. Bukan untuk cari sensasi, ia melakukannya dengan tujuan meminta bibit dari Presiden Jokowi di Hari Kemerdekaan Indonesia ke-74 lalu, yang nantinya ditanam di kaki Gunung Wilis sebagai wujud pelestarian hutan.
Tidak harus seperti dirinya yang rela berjalan kaki mundur hingga 800 kilometer, setiap kita dapat menjadi pahlawan dengan upaya sederhana yang kita lakukan. Termasuk budaya membeli bahan pangan dari petani lokal dan menghabiskan makanan yang dimakan. Konsumsi yang secukupnya dan bertanggung jawab dapat menjadi langkah awal mengurangi produksi berlebih yang berujung pada pencemaran.
Memang, perubahan skala kecil oleh masyarakat jelas tak terlalu berarti jika pemerintah dan korporasi yang berkepentingan tidak melakukan perubahan skala besar dalam hal kebijakan dan eksekusi lahan. Pada akhirnya, suara-suara kolektif dari masyarakat juga diperlukan agar kejadian pertambangan skala besar berhenti, agar eksploitasi pulau kecil tak semakin masif.
Seperti yang dikatakan Direktur Pembangunan Strategis Intergovernmental Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES), Robert Watson, “Melakukan tindakan yang tepat untuk memberantas degradasi lahan dapat mentransformasi hidup jutaan manusia, tapi hal ini menjadi semakin sulit dan mahal jika kita terus menundanya,”. Akhir kata, Selamat Hari Penanggulangan Degradasi Lahan! (*)
Ditulis oleh:
Fathia Rahmanisa
Departemen Sistem Informasi ITS
Angkatan 2021
Reporter ITS Online
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)
Kampus ITS, ITS News — Tim Spektronics dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali sukses mendulang juara 1 pada ajang
Kampus ITS, ITS News — Kurang meratanya sertifikasi halal pada bisnis makanan khususnya pada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM),
Kampus ITS, ITS News — Perayaan Dies Natalis ke-64 Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) telah mencapai puncaknya di Graha Sepuluh