Kampus ITS, ITS News – Berangkat dari keprihatinan terhadap buruknya kualitas udara di Surabaya, mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menggagas inovasi Autonomous Electric Tram (AUTRAM) alias trem tanpa pengemudi bertenaga baterai sebagai moda transportasi masa depan. Trem tersebut diklaim mampu mengurangi emisi karbondioksida di
Surabaya sebesar 31 ton per tahun.
Muhammad Ainul Yaqin, Ketua Tim Peneliti mengatakan, gagasan AUTRAM sebagai kendaraan yang menggunakan tenaga baterai ini terbilang masih baru. Ditambah lagi dengan kelebihan baterai yang dapat dicas menggunakan pembangkit tenaga surya. “Ide ini dapat terbilang baru, pemanfaatan energi terbarukannya juga cocok diterapkan di Surabaya,” ujarnya.
Mahasiswa yang kerap disapa Inung tersebut melanjutkan, untuk menjalankan trem ini dibutuhkan beberapa sensor. Mulai dari Global Navigation Satellite System (GNSS), Light Detection and Ranging (LIDAR), Radar, hingga kamera dengan fungsinya masing-masing yang saling melengkapi. Seperti pada sensor GNSS, sensor tersebut berfungsi untuk menentukan posisi trem menggunakan sistem navigasi satelit.
Selanjutnya, sensor LIDAR digunakan untuk mendeteksi sekaligus memetakan bentuk tiga dimensi dari lingkungan sekitar dengan akurasi yang tinggi. Sedangkan sensor Radar akan mendeteksi dan mengukur jaraknya dengan akurat. “Sensor Radar dapat diandalkan untuk sistem pengereman darurat,” ungkap mahasiswa Departemen Teknik Fisika angkatan 2019 ini.
Selain ketiga sensor tersebut, terdapat pula fitur kamera yang dapat mendeteksi benda di sekitar trem, rambu lalu lintas, serta garis jalan. Hal ini juga didukung dengan kecerdasan buatan yang disebut Movement Authority Limit (MAL). MAL dapat menentukan batas jarak yang diperbolehkan untuk trem bergerak. “Dengan begitu, trem dapat bergerak maju, berhenti, mundur, menambah kecepatan, dan mengurangi kecepatan,” tutur Inung.
Lebih lanjut, Inung juga menerangkan bagaimana sistem penggerak pada AUTRAM dijalankan. Tidak seperti trem pada umumnya yang menggunakan tenaga listrik, AUTRAM bergerak dengan baterai bertenaga surya. “Jika daya pada baterai habis, maka akan diganti dengan baterai baru yang telah dicas di stasiun pengecasan,” tutur pemuda asal Jember ini.
Menggunakan tenaga satu baterai penuh, AUTRAM mampu menempuh jarak hingga 77 kilometer. Selain itu, kendaraan dengan panjang 11,5 meter; lebar 2,7 meter; serta tinggi 3 meter ini juga memiliki keunggulan sistem pembayaran nontunai, sehingga seluruh sistem pada kendaraan ini dapat dijalankan tanpa tenaga manusia.
Tak hanya memanfaatkan energi terbarukan, inovasi Inung bersama rekannya Novandian Rafly Kurniawan yang tergabung dalam Tim Solar ini juga berdampak pada pengurangan emisi karbon. Antara lain yang berasal dari kendaraan bermotor, kepadatan jalan raya karena banyaknya kendaraan pribadi, serta dihasilkannya sistem transportasi umum kota yang modern.
Berkat gagasan tersebut, Tim Solar yang dibimbing oleh Dr Bambang Lelono Widjiantoro ST MT ini telah berhasil meraih Juara 2 pada Kategori Future of Mobility dalam Kompetisi Digital Innovation and Technology Competition (DIGITECH) 2022 yang diselenggarakan oleh Astra Indonesia, beberapa waktu lalu.
Di akhir, Inung mewakili Tim Solar berharap ke depannya riset mengenai Autonomous Tram di Indonesia dapat segera terlaksana. Sebagaimana sebelumnya telah ada wacana pembangunan transportasi Surotram dan Boyorail di Surabaya. “Kami berharap Indonesia dapat menjadi yang terdepan dalam pengembangan riset AUTRAM, sehingga tidak bergantung dengan teknologi negara lain,” pungkasnya optimistis. (HUMAS ITS)
Reporter: Fathia Rahmanisa
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) tak henti-hentinya melahirkan inovasi baru guna mendukung ekosistem halal di
Kampus ITS, ITS News — Sampah plastik sampai saat ini masih menjadi momok yang menghantui lingkungan masyarakat. Untuk mengatasi
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus memantapkan komitmennya dalam berkontribusi menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan