Kampus ITS, ITS News –Energi yang dihasilkan oleh alam, seperti matahari perlu disimpan dalam bentuk baterai yang memiliki kapasitas tinggi, seperti baterai Li-ion agar tetap dapat digunakan kapan saja. Indonesia sebagai salah satu negara penghasil nikel sayangnya masih kesulitan dalam mengolah logam ini menjadi produk baterai siap pakai.
Sekretaris Adidaya Intiative, Naufal Hanif Hawari ST mengungkapkan, Indonesia sendiri merupakan salah satu negara dengan penghasil nikel paling banyak di dunia mengalahkan Rusia. “Sebuah keuntungan bagi negara kita mengingat 51 persen produksi baterai merupakan katoda yang dapat berupa Nikel,” ungkapnya.
Namun, berdasarkan data tahun 2019, produksi nikel di Indonesia masih diperuntukkan untuk produksi baja anti karat, sedangkan produksi baterai belum dilakukan. “Untuk produksi baterai, Indonesia baru membangun smelter nikel di daerah Gresik, Jawa Timur yang diperkirakan menjadi yang terbesar di dunia,” ujar Naufal dalam acara webinar hasil kerja sama Mahagana ITS dengan Adidaya Intiative.
Menurutnya, salah satu permasalahan utama terkait produksi nikel untuk baterai di Indonesia adalah cara pemurnian yang berbeda dengan produksi baja anti karat. Pemurnian nikel yang dibutuhkan untuk menjadi bahan baku pembuatan baterai mencapai 99,9 persen atau nikel murni. “Nikel yang ada di Indonesia adalah laterit yang letaknya dangkal sehingga mudah ditambang tetapi mengandung banyak kandungan lain sehingga sulit dimurnikan,” ungkapnya.
Metode yang perlu dilakukan untuk pemurnian tersebut adalah High-pressure Acid Leaching (HPAL). Pada prinsipnya, proses ini dilakukan menggunakan tekanan tinggi dan mineral dicuci dengan asam sulfat secara kimiawi. “Metode ini tidak mudah, diperlukan energi listrik dan sumber daya lain yang sangat banyak, seperti asam sulfat hingga 100 ton perharinya,” ungkapnya mengisi webinar bertajuk Pro-Kontra Produk Nikel untuk Akselerasi EBT, 24 Juli lalu.
Indonesia Battery Corporation (IBC) sendiri membagi 3 tahap utama dalam produksi baterai Li-Ion di Indonesia. Tahap pertama berfokus pada pembangunan pabrik, tahap kedua berfokus pada produksi untuk skala domestik, dan tahap terakhir berfokus pada produksi untuk skala global dan daur ulang. “daur ulang ini yang sering terlupakan padahal sangat penting perannya, Indonesia pun harus bisa melakukannya,” tegas Mahasiswa Pascasarjana Ilmu dan Teknik Material tersebut.
Naufal mengingatkan, kedepannya Indonesia akan menghadapi pasar nikel yang sangat besar karena kebutuhannya yang sangat banyak terlebih kita termasuk penyedia nikel terbanyak. “Harapannya, nilai ekonomi nikel kita dapat menjadi lebih tinggi tidak seperti sekarang yang hanya sebatas baja anti karat,” tutupnya. (*)
Reporter: Faqih Ulumuddin
Redaktur: Muhammad Miftah Fakhrizal
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) tak henti-hentinya melahirkan inovasi baru guna mendukung ekosistem halal di
Kampus ITS, ITS News — Sampah plastik sampai saat ini masih menjadi momok yang menghantui lingkungan masyarakat. Untuk mengatasi
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus memantapkan komitmennya dalam berkontribusi menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan