ITS News

Senin, 18 November 2024
19 Oktober 2022, 01:10

Kenali Toxic Friendship di Sekitar

Oleh : itsojt | | Source : ITS Online

Tyas Ajeng Nastiti ST MDs ACP menyampaikan bahaya pertemanan toxic dalam gelar wicara Imperative, Sabtu (15/10)

Kampus ITS, ITS News – Tidak sedikit individu yang terjebak dalam lingkungan pertemanan yang buruk dan tidak sehat (toxic friendship). CEO Sekarves Indonesia, Tyas Ajeng Nastiti berpendapat bahwa masalah ini menjadi salah satu isu utama yang kerap ditemukan para remaja. 

Menurut Tyas, toxic friendship di kalangan remaja sulit dihindari lantaran susahnya membangun pertemanan sehat yang dapat berbagi mimpi serupa. “Tidak sedikit lingkungan pertemanan yang bersikap buruk dengan membicarakan sesama teman di belakang orang tersebut,” keluhnya.

Ada beberapa perilaku khusus yang membedakan lingkungan pertemanan toxic dan sehat. Pertemanan toxic akan sering dihantui dengan rasa iri hati atas kesuksesan dan kebahagiaan temannya. Selain itu, teman toxic juga sering membuat seseorang merasa bersalah atas situasi yang di luar kendali. “Terakhir, teman toxic ini kerap menciptakan drama lewat gosip dan minim empati terhadap temannya,” sambung Tyas.

Di sisi lain, pertemanan sehat akan diwarnai dengan dukungan yang menyemangati satu sama lain. Pertemanan ini cenderung tidak membeda-bedakan kondisi. “Pertemanan yang sehat akan saling menyadari dan menghargai kondisi emosional, fisik, dan mental,” sebut sarjana Desain Komunikasi Visual ini.

Penyerahan kenang-kenangan kepada Tyas Ajeng Nastiti saat penutupan gelar wicara Imperative, Sabtu (15/10)

Atasi Toxic Positivity
Tyas menyebutkan bahwa ada satu lagi konsep buruk yang beredar di kalangan remaja, yakni toxic positivity. Menurutnya, fenomena ini lahir akibat salah penggunaan konsep positivity. “Jadi bersikap terlalu positif dan menafikan seluruh hal negatif ini juga tidak baik bagi seseorang,” ujar entrepreneur kelahiran 1990 ini.

Untuk menghilangkan pola pikir ini, CEO Klasik Indonesia ini memaparkan beberapa strategi. Pertama adalah mempercayai sepenuh hati bahwa setiap orang berhak merasakan lelah dan kecewa selama tidak berlarut terlalu lama di dalamnya. Lalu, mengerti bahwa hal buruk yang terjadi pun sama pentingnya dengan hal baik yang terjadi. “Ketiga, belajar untuk memenuhi kebahagiaan sendiri tanpa harus mendengar validasi dari orang lain,” lanjutnya dalam gelar wicara Imperative, Sabtu (15/10). (*)

 

Reporter: ion25
Redaktur: Muhammad Faris Mahardika

Berita Terkait