ITS News

Jumat, 15 November 2024
13 Desember 2022, 07:12

Energi Transisi sebagai Alternatif Penekan Laju Pemanasan Global

Oleh : itsojt | | Source : ITS Online

Ir Nurwahidi (kanan) sedang mempersiapkan materi bersama moderator Kepala Departemen Teknik Mesin, Dr Ir Atok Setiyawan MEngSc

Kampus ITS, ITS News — Belum siapnya penggunaan energi baru terbarukan (EBT) secara massal menuntut Indonesia untuk menyediakan energi transisi. Menurut Kepala Satuan Kerja Khusus (SKK) minyak dan gas bumi (migas) Jawa-Bali-Nusa Tenggara (Jabanusa), hal ini penting agar tujuan pengurangan emisi karbon tetap terwujud sehingga, menekan risiko pemanasan global.

Peralihan energi fosil menuju energi baru terbarukan (EBT) menjadi isu serius yang mendorong berbagai pihak untuk segera merealisasikannya. Sejak UU No.16 Tahun 2016 tentang pengesahan Paris Climate Agreement diresmikan, Indonesia memiliki target menurunkan emisi gas rumah kaca sebanyak 41 persen pada tahun 2030. Namun, menurut Ir Nurwahidi Indonesia nampak masih butuh gerakan masif untuk mewujudkannya.

Pasalnya, sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia, Indonesia memiliki kebutuhan energi yang besar pula. Penggunaan energi ini diperlukan untuk kegiatan pembangunan di berbagai aspek yang bermuara pada kesejahteraan rakyat. Beberapa contoh di antaranya seperti pembangunan infrastruktur dan aktivitas industri.

Ir Nurwahidi mempresentasikan materinya di Ruang D201 Departemen Teknik Mesin Industri ITS

Selain itu, hingga saat ini keberlangsungan aktivitas pembangunan di Indonesia masih cenderung menggunakan bahan bakar fosil dibandingkan penggunaan EBT. Sayangnya, energi ramah lingkungan ini masih terdapat kekurangan seperti, biaya produksi yang relatif mahal serta kurang efisien. Hal ini diakibatkan kepadatan energi pada EBT  lebih sedikit dibandingkan energi rivalnya (fosil, red). 

Nurwahidi menambahkan bahwa intinya, dibutuhkan penelitian dan pengembangan lebih lanjut agar Indonesia dapat benar-benar menggunakan sumber energi ramah lingkungan ini. “Semua harus dilakukan secara bertahap dan waktu yang lama,” tuturnya pada forum group discussion (FGD) Departemen Teknik Mesin Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS).

Oleh karena itu, dengan adanya permasalahan ini diperlukan energi transisi, atau energi yang bisa dimanfaatkan secara massal hingga energi bersih dan terbarukan tersedia untuk banyak orang. Lelaki berkacamata ini berujar, salah satu sumber daya yang dapat digunakan sebagai bahan energi transisi adalah gas.

Meskipun gas merupakan salah satu bentuk dari energi fosil, jika dibandingkan dengan saudaranya, gas mengeluarkan emisi gas rumah kaca yang paling sedikit. Tak hanya itu, gas mengeluarkan 40 persen dan 30 persen lebih sedikit karbondioksida daripada batu bara dan minyak berturut-turut. “Ini lah yang membuat gas sebagai sumber energi fosil paling bersih, walaupun tetap kurang jika dibandingkan dengan alternatif lain,” terangnya pada 26 November lalu.

Alumni Teknik Mesin ITS ini menjelaskan bahwa sebenarnya terdapat surplus gas di Indonesia. Hanya sekitar 60 sampai 70 persen dari produksi gas tersebut digunakan secara domestik dan sisanya diekspor ke luar. “Sehingga, dapat disimpulkan bahwa penggunaan energi gas masih bisa dikembangkan lebih intensif lagi ke depannya,” jelas Nurwahidi. (*)

 

Reporter: Kevin Bahari Pratama
Redaktur: Fatima Az Zahra

 

Berita Terkait