ITS News

Sabtu, 14 Desember 2024
30 Desember 2022, 22:12

Limitasi Kebebasan Pers, Limitasi Kebebasan Bersuara

Oleh : itswan | | Source : ITS Online

Ilustrasi pers dan jurnalis yang sedang bertugas meliput kegiatan di lapangan (sumber: Freepik)

Kampus ITS, Opini – Kebebasan bersuara dan mengekspresikan pendapat merupakan hak setiap orang. Namun faktanya, tak jarang berbagai gagasan hingga perspektif berbagai pihak yang berdengung justru terbungkam oleh sekelompok orang dengan tujuan tertentu. Pers dan jurnalis menjadi salah satu korban nan kebebasannya sering ditekan.

Menilik kembali pada masa Orde Baru, pers menjadi ‘budak’ pemerintah lantaran berbagai ancaman acapkali dilayangkan apabila pers dan institusinya kontra terhadap beberapa hal yang dirasa ‘sensitif’, misalnya isu politik. Mengutip Nuh, dkk (2020) pada jurnal Pers dan Dinamika Politik Indonesia, institusi pers yang kontra dengan politik kerap kali dibayang-bayangi dengan pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), sehingga institusi pers terpaksa sejalan dengan kepentingan penguasa.

Jika dibandingkan dengan masa kini, memang kebebasan pers dan institusinya sudah lebih baik dan independen. Bedanya, kini institusi pers justru dijadikan sebagai ajang bisnis dimana produk-produk tulisan yang dihasilkan selaras dengan pangsa pasar dan kepentingan pemilik institusi pers tersebut. Hal ini berakibat pada kemonotonan dan kurang beragamnya informasi yang tersebar di masyarakat.

Fenomena seperti ini menyebabkan fungsi pers untuk menginformasi, mengedukasi, menghibur, dan kontrol sosial tidak berjalan baik. Selain itu, limitasi kebebasan pers juga bermakna perenggutan independensi pers. Mengutip Nugroho dan Samsuri dalam kajiannya pada 2013 lalu, mulai meredupnya kebebasan pers lantaran sekelompok orang atau penguasa menunjukkan bahwa kebebasan bersuara perlahan dipagari.

Ilustrasi pembungkaman terhadap pers dan jurnalis terhadap isu-isu tertentu (sumber: Blitz)

Limitasi terhadap kebebasan pers di Indonesia dapat dilihat dari indeks kebebasan pers Indonesia dibandingkan negara lain. Berdasarkan laporan dan survey Reporters Without Borders (RSF), indeks kebebasan pers Indonesia pada 2020 berada di peringkat 117 dari 176 negara. Dibanding tahun lalu, peringkat tersebut turun empat tingkat. Hal ini mengindikasikan adanya penurunan kualitas kebebasan pers di Indonesia.

Lebih lanjut, di antara lima indikator penilaian, seperti politik, ekonomi, legislatif, sosial, dan keamanan, poin terendah berada pada indikator keamanan. Alasannya, lagi-lagi jurnalis tidak memiliki kebebasan untuk menyuarakan atau memberitakan isu-isu yang dirasa sensitif, seperti kasus korupsi. Jurnalis yang meliput kasus korupsi tak jarang menjadi korban intimidasi oleh pihak tertentu.

Penekanan terhadap independensi dan kebebasan pers yang terjadi secara kontinyu akan mempengaruhi banyak hal. Dewan pers, lembaga independen yang menjaga kemerdekaan pers di Indonesia, memiliki peran penting dalam upaya penyelesaian masalah ini. Penguatan fungsi dewan pers untuk memberikan sanksi hukum yang mendesak pelanggar etika jurnalistik dan peraturan lainnya akan memberikan pengaruh kuat terhadap penguatan kemerdekaan dan kebebasan pers.

Pasalnya, selama ini dewan pers hanya berkuasa untuk memberikan kritik terhadap institusi pers dan rekomendasi terhadap pelanggar kode etik jurnalistik. Selain itu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers harus menjadi orientasi utama dalam kehidupan pers di Indonesia. Lantaran, selama ini peraturan perundang-undangan tersebut masih jarang dipakai dalam memperkarakan kasus pers dan jurnalistik di Indonesia. (*)

 

Ditulis oleh:
Irwan Fitranto
Departemen Teknik Lingkungan
Mahasiswa Angkatan 2020

Berita Terkait