Kampus ITS, ITS News — Tingkat kesulitan reportase dapat bervariasi, mulai dari bekerja di lingkungan normal hingga ekstrem. Seperti yang dialami oleh jurnalis Kompas, Ambrosius Harto Manumoyoso, dengan bangga membagikan kisahnya dalam diskusi Kompas Sambang Kampus: Di Balik Harian Kompas yang diselenggarakan di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Rabu (15/3).
Pria yang akrab disapa Ambro ini mengawali pengalamannya menjelajah mahkota Eropa, yakni Gunung Elbrus. Bersama dengan Tim Ekspedisi Tujuh Dunia dari organisasi Wanadri, Ambro menjalani liputannya ke puncak dengan ketinggian 5.642 meter di atas permukaan laut tersebut dalam rangka Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) ke-65.
Sebelum melakukan perjalanan reportase menuju puncak tertinggi di Rusia, Ambro diketahui sudah mempunyai segudang pengalaman reportase pendakian, salah satunya ialah perjalanan Puncak Kilimanjaro, Tanzania. Namun, dengan segudang pengalaman itu, Ambro tetap menjalani pelatihan mendaki di Puncak Cheget yang mempunyai medan terjang mirip dengan Gunung Elbrus.
Tak semulus yang dibayangkan, Ambro juga turut menceritakan kegagalan perjalanannya mengungguli Elbrus. Ia bersama tim ekspedisi nyatanya hanya bisa mencapai ketinggian 5.400 meter akibat serangan badai salju yang memaksanya turun kembali ke basecamp. Tak hanya sekali, Ambro juga terpaksa menelan pil pahit saat menjalani pendakian kedua karena kondisi fisik yang semakin menurun.
Mengenang 13 tahun perjalanannya, Ambro mengatakan, sebagai jurnalis penting berprinsip yang mengutamakan otak, mengandalkan otot, dan membutuhkan nasib baik. Hal itu tentu dibuktikan saat menantang Elbrus dengan menurunkan ambisinya sebagai pendaki dan memposisikan diri sebagai jurnalis dengan laporan jurnalistik yang berkualitas.
Saat awal mendaki, sang jurnalis profesional ini jujur sangat berambisi karena ia sangat menyukai kegiatan petualangan. Apalagi saat kuliah, dia juga hobi mendaki banyak gunung di Indonesia. Namun, saat di Elbrus, ia menyadari tak ada berita reportase seharga nyawa. “Jika kemudian saya cedera, saya tak bisa membuat laporan jurnalistik,” ujar Ambro.
Dengan prinsip itu, Ambro yakini kualitas laporan ekspedisi dari seorang jurnalis lapangan dengan hasil wawancara seorang jurnalis akan terasa berbeda. Seorang yang terjun langsung dalam peliputan akan mendapatkan informasi lebih akurat, dibandingkan wawancara sebagai laporan perjalanan. “Namun, keduanya tetap dibilang berkualitas, tergantung dari sang jurnalis,” jawabnya.
Tak hanya itu, melalui segudang cerita, alumnus Universitas Gadjah Mada ini pun tak segan membagikan tips untuk menyajikan informasi yang berkualitas dalam berbagai tantangan liputan. Dengan tetap optimistis pada kemampuan diri, aktif menggunakan tenaga dan pikiran, serta mengandalkan aspek keberuntungan yang datang dari pengalaman menjadi beberapa tips jitunya.
Menutup cerita perjalanannya, Ambro berharap pada era banjir informasi seperti saat ini, peran media akan selalu menjadi bintang utama dengan memberikan informasi yang akurat, terpercaya dan mencerahkan. “Kemampuan jurnalistik akan terus menjadi suatu keterampilan yang tidak datang pada satu malam, tetapi keterampilan yang harus terus diasah,” pungkasnya penuh semangat. (*)
Reporter: Muhammad Aulia Zikra
Redaktur: Fauzan Fakhrizal Azmi
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) tak henti-hentinya melahirkan inovasi baru guna mendukung ekosistem halal di
Kampus ITS, ITS News — Sampah plastik sampai saat ini masih menjadi momok yang menghantui lingkungan masyarakat. Untuk mengatasi
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus memantapkan komitmennya dalam berkontribusi menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan