ITS News

Minggu, 29 September 2024
29 Maret 2023, 22:03

Hari Bipolar Sedunia : Sudah Layakkah Hak Pilih Disabilitas Mental?

Oleh : itsash | | Source : ITS Online

Hari bipolar sedunia yang diperingati setiap tanggal 30 Maret (sumber : Internasional Bipolar Foundation)

Kampus ITS, Opini — Dunia memperingati hari bipolar sedunia tiap tahunnya tepat pada tanggal 30 Maret. Hari ini menjadi momen yang ditujukan bagi masyarakat untuk meningkatkan kesadaran tentang gangguan bipolar serta menyediakan dukungan bagi mereka yang terkena dampaknya. Hari Bipolar Sedunia merupakan inisiatif dari International Society for Bipolar Disorders (ISBD) yang bermitra dengan International Bipolar Foundation (IBF) dan Asian Network of Bipolar Disorders (ANBD).

Dilansir dari situs Yayasan Bipolar Internasional atau International Bipolar Foundation (IBF), bipolar sendiri adalah salah satu jenis gangguan kesehatan jiwa berupa gangguan pada  otak yang menyebabkan perubahan suasana hati, energi, dan kemampuan seseorang yang tidak biasa. Hal ini menyebabkan pengidapnya mengalami perubahan perasaan secara mendadak dan ekstrem yang terdiri dari fase senang berlebihan kemudian beralih ke fase depresi yang mania. Keadaan ini berbeda dari pasang surut normal yang dialami setiap orang, gejala gangguan bipolar dapat menjadi sangat parah.

Kali ini, IBF menggemakan tagar #BipolarTogether sebagai tema peringatan hari bipolar sedunia tahun ini. Sebagaimana pernah diidap oleh Vincent Van Gogh, bipolar memang bukanlah hal yang tabu telah diketahui masyarakat. Pelukis ternama asal Eropa yang selama hidupnya bersama dengan  gangguan ini sendiri pernah berkata “Awalnya mungkin lebih sulit dari apapun, tapi semuanya akan baik-baik saja bila kita bersama.”

Seseorang yang menderita bipolar mungkin mengalami kesulitan untuk memahami dan mematuhi nilai-nilai kebangsaan karena kondisi kesehatan mentalnya yang mempengaruhi pikiran dan perilaku. Hal yang pasti adalah gangguan bipolar mempengaruhi suasana hati dan dapat mempengaruhi kesehatan, produktivitas, dan hubungan seseorang. Pernyataan ini dibuktikan dengan survei teranyar yang menyatakan bahwa 77 persen orang dengan gangguan bipolar mengaku hidup terisolasi atau merasa sendiri.

Gambaran penyandang disabilitas mental berupa bipolar (sumber : Dream.co.id)

Bertepatan dengan peringatan ini, banyak sekali tantangan yang perlu dihadapi negara Indonesia terkhusus bagaimana pemangku kebijakan dapat memastikan interaksi sosial, partisipasi, pelayanan kesehatan, dan hak-hak difabel mental dapat terpenuhi. Salah satu isu yang ingin penulis angkat dan acap kali luput dari pandangan masyarakat adalah bagaimana perlakuan yang diterima penyandang disabilitas intelektual ini sebenarnya terjadi di hadapan hukum? Terlebih sebagai warga negara Indonesia, apakah hak pilih sebagai warga negara itu diterima secara utuh layaknya warga negara umum?

Mendekati pesta demokrasi yang ditandai dengan pemilu, perlakuan negara Indonesia terhadap penyandang gangguan mental dalam haknya untuk melakukan pemilihan presiden, sejauh ini masih belum sepenuhnya memadai. Sebagai negara yang berlandaskan pada prinsip demokrasi, setiap warga negara berhak untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum. Namun, bagi penyandang gangguan mental, hak ini seringkali tidak dapat terpenuhi dengan baik.

Penyandang disabilitas mental seringkali mendapat stigma buruk dan dianggap tidak mampu memilih secara mandiri sehingga dikesampingkan dalam proses pemilu. Diskriminasi ini  terjadi karena penyandang disabilitas intelektual masih dianggap bukan subyek hukum sekaligus tidak mampu untuk mengambil keputusan secara mandiri, terutama dalam melaksanakan hak pilihnya. Dalam praktiknya, masih ada penyandang disabilitas mental yang tidak didaftar sebagai pemilih dalam Pilkada 2017 dan 2018, serta Pemilu 2019.

Namun demikian, dalam konteks hak pemilu, setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih tanpa diskriminasi. Hak pilih warga Negara sebagaimana digariskan dalam konstitusi telah dijamin dan diakui yang secara tegas dinyatakan dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Pasal ini memberi terang bahwa Negara Republik Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia tanpa terkecuali. Ini berarti bahwa, pada dasarnya, seseorang dengan kondisi bipolar juga berhak untuk memilih dan dipilih seperti warga negara lainnya, kecuali jika ada hambatan hukum atau medis tertentu.

Selanjutnya, Pasal 148 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara. Secara medis, kapasitas seseorang untuk memilih dalam Pemilu tidak ditentukan oleh diagnosis atau gejala yang dialami penderita, melainkan dari kemampuan kognitif (kemampuan berpikir). Artinya, penyandang disabilitas mental seperti penderita skizofrenia, bipolar atau depresi berat tidak otomatis kehilangan kapasitas menentukan pilihan.

Ilustrasi penyediaan fasilitas pemilu yang ramah bagi penyandang disabilitas mental (sumber : kompas.com)

Beberapa masalah lain yang dihadapi oleh penyandang disabilitas mental dalam pemilu adalah akses untuk memenuhi informasi dan keterbatasan sosial. Sebagian besar penyandang disabilitas mental mungkin tidak mendapat pengetahuan dan pendidikan politik untuk dapat membuat keputusan yang tepat dalam pemilu. Hal ini dapat dilakukan melalui pelatihan dan program pendidikan khusus yang mempertimbangkan kebutuhan mereka.

Dalam rangka meningkatkan kesadaran tentang isu ini, negara Indonesia perlu lebih proaktif dalam memberikan dukungan dan bantuan kepada penyandang gangguan mental agar mereka dapat terlibat dalam pemilihan umum. Dukungan tersebut dapat berupa kampanye edukasi, pelatihan, dan program inklusif untuk memastikan bahwa semua warga negara, termasuk penyandang disabilitas mental, dapat berpartisipasi dalam proses demokrasi.

Selain itu, cara lain yang dapat dilakukan adalah melalui penyediaan fasilitas yang memadai bagi penyandang disabilitas mental untuk dapat menggunakan hak pilihnya. Sebagai contoh, pembuat kebijakan negara perlu memastikan bahwa fasilitas pemungutan suara mudah diakses dan ramah bagi para penyandang. Negara juga dapat mempertimbangkan untuk memperkenalkan sistem pemilihan presiden yang lebih inklusif dan mengakomodasi kebutuhan para penyandang gangguan mental.

Kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melakukan pendaftaran terhadap pemilih dengan disabilitas mental, adalah langkah yang tepat. Kebijakan itu merupakan bentuk nyata dari realisasi jaminan hak politik yang setara bagi setiap warga negara Indonesia, sesuai dengan ketentuan dalam berbagai Undang-undang. Kita harus terus memperjuangkan hak ini dan memastikan bahwa semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses pemilu dan mengambil keputusan politik.

“Penyandang disabilitas mental adalah termasuk warga negara Indonesia (WNI) yang memiliki hak konstitusional yang sama.”

Ditulis oleh :
Lathifah Sahda
Mahasiswa S-1 Departemen Teknik Informatika
Angkatan 2022
Reporter ITS Online

Berita Terkait