Kampus ITS, Opini – Tradisi Kupatan merupakan salah satu tradisi Islam yang populer di Indonesia. Tradisi ini diperkenalkan pada masa Kesultanan Demak awal abad ke-16 M dan sejak itu, tradisi ini tetap dijalankan. Meskipun masih dirayakan setiap tahun, nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam tradisi ini terasa makin asing. Padahal, nilai-nilai inilah yang telah mempertahankan tradisi Kupatan selama berabad-abad.
Menurut Ensiklopedia Islam Nusantara, kata ketupat berasal dari kata papat yang berarti empat dan memiliki kaitan dengan rukun Islam keempat, yaitu puasa bulan Ramadan. Ketupat juga merupakan simbol permohonan ampun dan maaf sehingga menjadi bagian dari hari raya lebaran yang identik dengan penyucian diri dan momen saling memaafkan antara sesama.
Dalam bahasa Jawa, kupat merupakan akronim dari laku papat yang berarti empat tindakan, yaitu lebaran, luberan, leburan, dan laburan. Lebaran berarti usai, menandakan berakhirnya waktu menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh. Luberan berarti melimpah, yang mengajarkan untuk saling berbagi rezeki kepada mereka yang berhak menerimanya.
Selanjutnya leburan yang berarti melebur atau menghilangkan dosa dengan mengakui kesalahan, meminta maaf, dan memberi maaf. Terakhir adalah laburan berarti kapur untuk memutihkan dinding rumah dan menjernihkan air, yang berarti manusia harus selalu menjaga kesucian lahir dan batin.
Tradisi Kupatan juga memiliki makna filosofis pada pembuatan ketupatnya. Ketupat terbuat dari beras, kemudian dibungkus dengan daun kelapa muda yang dianyam atau yang biasa disebut janur. Kata janur sendiri merupakan akronim dari bahasa Arab yang berarti telah datang seberkas cahaya terang. Oleh karena itu, penggunaan janur sebagai pembungkus ketupat memiliki makna yang dalam mengenai harapan manusia untuk mendapatkan petunjuk Allah menuju jalan yang benar.
Secara umum, tradisi Kupatan dirayakan pada hari kedelapan Bulan Syawal setelah melakukan puasa sunah selama enam hari. Ketupat dimakan bersama-sama di mushola, masjid, atau lapangan terbuka setelah berdoa. Hidangan khas hari raya ini biasanya dimakan bersama dengan berbagai macam lauk pauk seperti lodeh, opor, rendang, dan gulai. Beberapa daerah juga memeriahkan tradisi ini dengan menggelar karnaval dan festival rakyat.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, tradisi kupatan memiliki banyak nilai-nilai filosofis yang diwariskan selama masa penyebaran Islam di Nusantara, khususnya Pulau Jawa. Dengan demikian, mengingat betapa akrabnya masyarakat muslim nusantara kepada tradisi ini, maka penting pula untuk melestarikan kearifan lokal ini, agar generasi mendatang masih dapat merasakannya.
Bentuk melestarikannya adalah dengan tetap melanjutkan tradisi kupatan di masa sekarang serta menurunkan nilai-nilai filosofis tradisi kupatan kepada masyarakat yang lebih muda. Hal ini penting agar tradisi kupatan tidak hanya dikenal sebagai perayaan semata, tetapi juga sebagai warisan Islam Nusantara yang sarat dengan makna dan nilai-nilai yang mendalam.
Ditulis oleh:
Nurul Lathifah
Mahasiswa Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota ITS
Angkatan 2021
Reporter ITS Online
Kampus ITS, ITS News — Rendahnya kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan memicu masalah seperti eksploitasi berlebihan dan kurangnya
Surabaya, ITS News — Terus menunjukkan dukungannya terhadap perkembangan perusahaan rintisan berbasis teknologi (startup) sekaligus menjadi bagian dari persiapan
Kampus ITS, ITS News — Banyaknya bencana alam yang terjadi di sejumlah belahan dunia termasuk di Indonesia, akhir-akhir ini, perlu
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) tidak hanya fokus pada teknologi, tetapi juga aktif mendukung