Kampus ITS, Opini – Mahasiswa merupakan pemegang tongkat estafet keberlangsungan hidup bangsa. Masifnya kekuatan suara mahasiswa mampu membawa perubahan untuk menjamin realisasi kesejahteraan rakyat. Namun, apakah pernyataan ini masih relevan?
21 Mei 1998 menjadi titik awal kemerdekaan kedua bagi rakyat Indonesia. Hari kemenangan atas perjuangan pelik rakyat demi menegakkan kembali demokrasi, hak asasi, hingga perubahan tatanan kehidupan negeri. Tanpa menampik peran aktor lainnya, mahasiswa merupakan motor utama yang memegang peran signifikan dalam gerakan ini. Mahasiswa membawa semangat intelek dalam menuntut keadilan yang telah lama hilang.
Kini, seperempat abad pergerakan itu berlalu. Meski demikian, masih banyak ruang kosong dari janji reformasi yang belum terisi. Realisasi kehidupan sejahtera nyatanya masih tersandung korupsi, kemiskinan, kriminalitas, dan problem pelik multidimensi lain yang tak kunjung usai. Ruang kosong ini seperti memanggil kembali gerakan mahasiswa.
Di balik harapan, ada sekelebat tantangan yang tak mudah. Derasnya arus globalisasi telah membawa transformasi besar dalam kehidupan kawula muda, tak terkecuali mahasiswa. Bourjois kecil yang tercipta dari kemanjaan zaman mulai memudarkan semangat juang yang semula bak kobaran bola api. Lantas, masihkah bisa eksistensi mahasiswa dalam perjuangan ini terselamatkan? Tentu bisa dan harus bisa.
Tri Dharma Perguruan Tinggi sebagai pedoman mahasiswa telah merangkum setidaknya tiga pokok penting perjuangan yang dapat digencarkan. Pertama, mahasiswa dapat berjuang lewat pendidikan dan pengajaran. Melalui elemen ini, mahasiswa dibentuk untuk menjadi individu cerdas dan berwawasan luas. Dengan pengetahuan yang luas, mahasiswa akan mampu untuk memberikan kebermanfaatan yang lebih besar serta tidak mudah untuk terjerumus ke jurang kesesatan.
Kedua, mahasiswa dapat berkontribusi lewat penelitian dan pengembangan. Sebagai kaum intelek, mahasiswa sepatutnya mampu menerapkan ilmunya untuk berinovasi sesuai bidang keilmuan yang digeluti. Inovasi dan teknologi baru yang dikembangkan tak hanya akan menjadi jalan pemecahan masalah yang telah lama dihadapi rakyat, tetapi juga dapat menjadi parameter kemajuan bangsa.
Terakhir, apalah arti ilmu apabila tidak diterapkan untuk kebermanfaatan rakyat. Mahasiswa sebagai pembawa napas perubahan dapat berkontribusi lewat pengabdian masyarakat. Dengan melihat langsung realitas yang terjadi, mahasiswa diharapkan mampu membuka mata dan merasakan penderitaan rakyat. Kemudian, mahasiswa dapat meramu penyelesaian masalah yang paling relevan untuk diterapkan.
Reformasi sebagai sebuah titik balik bangsa merupakan anugerah sekaligus amanat yang besar. Kegagalan meneruskan perjuangan ini merupakan tamparan keras bagi seluruh elemen negeri. Namun, bukan hal mustahil pula untuk kembali menyulut sumbu yang hampir mati. Dengan kembali merenungi jati diri sebagai penerus bangsa dan agen pembawa perubahan, kembalinya gerakan menuju kemajuan ini bukanlah hal yang mustahil.
Dalam penggalan pidato populernya, Bung Karno pernah mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. Kini, tugas kaum muda adalah memberi tafsiran terbaik atas kalimat pendiri bangsa tersebut. Apakah bentuk menghargai tersebut cukup hanya dengan mengucap ‘Selamat Hari Reformasi’ atau menyambung kembali napas reformasi lewat perjuangan yang tak kenal kata bungkam? Semua pilihan ada di tangan kita, bijaklah! (*)
Ditulis oleh:
Shafa Annisa Ramadhani
Departemen Teknik Kimia
Angkatan 2022
Reporter ITS Online
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)
Kampus ITS, ITS News — Tim Spektronics dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali sukses mendulang juara 1 pada ajang
Kampus ITS, ITS News — Kurang meratanya sertifikasi halal pada bisnis makanan khususnya pada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM),
Kampus ITS, ITS News — Perayaan Dies Natalis ke-64 Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) telah mencapai puncaknya di Graha Sepuluh