Kampus ITS, Opini — Pemuda terus digadangkan sebagai pondasi penggerak yang berperan penting dalam menumbuhkan serta memajukan bangsa dan negara. Namun, kenyataannya, sekadar berlaku jujur ketika ujian saja sesulit membalik gunung dengan telapak tangan. Lantas, akankah kejujuran terus diperbudak atas kepentingan?
Baru-baru ini, kecurangan di dunia pendidikan kembali menyeruak. Mulai dari membuat kertas contekan, bertukar jawaban di kertas buram, menyalin tugas teman, hingga jasa joki yang terus menjadi momok menjangkit akan integritas para pemuda. Bak virus tanpa vaksin, fenomena ini terus terjadi setiap tahunnya, bahkan dengan modus baru yang tak pernah terpikirkan rupanya.
Tak tertinggal, pemanfaatan teknologi Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan yang semakin marak menjadi-jadi. Seperti ChatGPT, semudah menyalin pertanyaan dan menempelnya, seketika juga mampu menafsirkan dan memberikan jawaban kepada pengguna. Pemuda kembali dibuai dan termakan oleh kemudahan, hingga berujung banting setir memilih jalan yang instan.
Berdasar fenomena tersebut, perlu digarisbawahi bahwa memanfaatkan teknologi dan menyalahgunakan teknologi adalah dua hal yang berbeda. Hal ini kembali lagi kepada integritas dari setiap orang tentang bagaimana menilai sebuah kejujuran. Entah menganggap kejujuran sebagai pandangan kuno yang tidak bernilai atau menganggap kejujuran sebagai norma dan pandangan hidup bagi seorang manusia.
Semua kegiatan kecurangan kerap dilangsungkan aksinya pada hal yang sakral seperti ujian, seleksi, dan berbagai tes yang seharusnya menuntut orisinalitas dan kejujuran. Tak jarang, pelajar menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nilai terbaik. Kejujuran diabaikan, adab diremehkan, dan integritas pun direndahkan.
Tindakan ini terjadi karena berbagai alasan yang kompleks, dan sistem yang ada berperan dalam prosesnya. Fenomena kecurangan tidak muncul begitu saja, tetapi melibatkan sejumlah faktor yang berkontribusi pada kemunculannya. Untuk menghadapinya, penting untuk mengidentifikasi akar masalah dan mengatasi celah dalam sistem yang memungkinkan kecurangan terjadi.
Melihat sistem yang lebih memprioritaskan hasil akhir daripada proses membuat para pemuda tidak memiliki pilihan lain. Meskipun beberapa pihak telah berupaya untuk mengedepankan proses sebagai bentuk penghargaan, tetapi tidak sedikit pula yang lebih memilih hasil akhir sebagai patokan. Oleh karena itu, ketidaksamaan visi ini terus menjadi permasalahan yang tidak ada ujungnya.
Dari berbagai sistem yang ada, realitanya belum ada langkah nyata yang diterapkan untuk “menghargai” proses tersebut. Alih-alih “menghargai”, hasil akhir selalu dipilih menjadi kunci penilaian. Padahal, kecurangan yang semakin membabi-buta bisa saja memanipulasi hasil pengerjaan. Tak ada jaminan maupun kepastian. Yang ada hanya ketidakadilan akibat dari angan-angan bertajuk “proses”.
Demikian, melahirkan dilema yang cukup menyakitkan. Pemuda harus memilih antara terus meneguhkan kejujuran atau abai demi mencapai keuntungan. Kejanggalan yang lahir dari oknum pun terus mencederai moral yang kini sudah hampir di ambang batas. Maka, siapakah yang bertanggung jawab atas meluasnya kejadian yang memangsa moral para penerus bangsa? (*)
Ditulis oleh:
Hibar Buana Puspa
Departemen Teknik Transportasi Laut
Angkatan 2022
Reporter ITS Online
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) tak henti-hentinya melahirkan inovasi baru guna mendukung ekosistem halal di
Kampus ITS, ITS News — Sampah plastik sampai saat ini masih menjadi momok yang menghantui lingkungan masyarakat. Untuk mengatasi
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus memantapkan komitmennya dalam berkontribusi menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan