Kampus ITS, Opini – Memasuki tahun ajaran baru, sistem zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di sekolah Indonesia kembali menjadi sorotan. Pasalnya, sistem yang menjunjung keadilan dengan mendorong peserta didik untuk studi di sekolah terdekat ini tidak dieksekusi dengan baik. Hal ini memaksa pemerintah untuk mengambil langkah evaluasi yang tegas.
Sistem zonasi besutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Indonesia, Muhadjir Effendy ini bertujuan untuk mengurangi kesenjangan kualitas sekolah antara daerah perkotaan dan pedesaan. Sistem yang telah diterapkan ini mulanya dirancang untuk memperbaiki disparitas yang ada antarsekolah. Namun nyatanya, implementasi zonasi belum sepenuhnya dapat mengatasi akar permasalahan tersebut.
Dalam pelaksanaannya, sistem zonasi diliputi berbagai kecurangan sehingga mencoreng upaya pemerintah untuk menciptakan atmosfer penerimaan siswa yang lebih baik. Misalnya saja jual beli kursi, manipulasi data Kartu Keluarga (KK), hingga kasus penitipan calon siswa oleh pejabat setempat. Padahal mestinya sistem ini memastikan setiap calon siswa berkesempatan meraih pendidikan berkualitas di sekolah terdekat.
Tak henti di situ, sejumlah penolakan dan kondisi lapangan yang kurang mendukung juga ditemui oleh beberapa kepala daerah, salah satunya Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi. Ia menyebutkan bahwa infrastruktur dan jumlah guru masih belum merata di daerahnya. Selain itu, masalah terkait kebingungan penafsiran terhadap penerapan Peraturan Mendikbud Nomor 1 Tahun 2021 sebagai landasan sistem zonasi juga muncul.
Beleid ini pun menimbulkan banyak korban karena ketidakadilan sistemik yang masih terjadi dalam prosesnya. Banyak calon siswa yang seharusnya mendapatkan kesempatan untuk bersekolah di sekolah terdekatnya, namun terpaksa harus terpisah jauh dari rumah atau malah terpaksa menempuh pendidikan di sekolah swasta. Alhasil, mereka harus menempuh perjalanan yang jauh dan mengeluarkan biaya lebih untuk transportasi setiap harinya.
Meskipun terdapat tantangan dan masalah serius dalam pelaksanaan sistem zonasi sekolah, Mendikbud juga menemukan beberapa praktik baik yang berhasil diadopsi oleh pemerintah daerah. Sejumlah daerah telah berhasil mempertimbangkan kriteria prioritas berdasarkan usia dan jarak tempat tinggal, sejalan dengan ketentuan yang ada.
Perdebatan tentang sistem zonasi juga mencerminkan dilema antara keadilan dan meritokrasi. Keinginan yang didasari pada tujuan untuk memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang tanpa memandang latar belakang mereka eksis berkembang. Namun, di sisi lain, juga ingin menghargai upaya dan dedikasi seseorang untuk meraih keberhasilan. Adakah cara untuk menemukan titik temu di antara keduanya?
Sementara menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, satu hal yang pasti adalah perlunya evaluasi dan penyempurnaan lebih lanjut. Lantaran, pada akhirnya, keberhasilan sistem zonasi tergantung pada sejauh mana kita menjaga integritas dan semangat keadilan, sambil tetap membuka pintu bagi kemajuan. Tantangan dan kebutuhan masyarakat selalu berubah, dan kita harus siap beradaptasi untuk mengatasi setiap kendala yang muncul. (*)
Ditulis oleh:
Lathifah Sahda
Departemen Teknik Informatika
Angkatan 2022
Reporter ITS Online
Kampus ITS, ITS News – Perayaan Natal merupakan momen istimewa bagi umat kristiani yang merayakan kelahiran Tuhan Yesus Kristus.
Kampus ITS, ITS News — Departemen Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali menggelar pameran karya mahasiswa yang
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya mendukung efisiensi pengelolaan data spasial, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) meluncurkan inovasi di
Kampus ITS, ITS News — Mengokohkan diri sebagai pusat teknologi, riset, dan pendidikan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) meresmikan