Kampus ITS, Opini – Lantang suara buruh kembali memekik, meneriakkan keadilan kepada penguasa. 1 Mei di setiap tahunnya selalu menjadi simbolisasi harapan terhadap kesejahteraan para pahlawan tonggak perekonomian ini. Namun, hingga dunia dikuasai raksasa teknologi, hidup buruh masih penuh mimpi yang entah kapan terpenuhi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), buruh diartikan sebagai orang yang bekerja untuk orang lain dan mendapatkan upah. Buruh menduduki hampir seluruh sektor dalam roda ekonomi. Mulai perkebunan, transportasi, industri, hingga jasa. Berbagai sebutan digunakan untuk melabelkan buruh sebagai pekerjaan. Buruh berperan besar dalam menjamin keberlangsungan ekonomi dan tujuan pembangunan negeri.
Sayang seribu sayang, roda ekonomi terus berjalan tetapi kesejahteraan buruh masih diam di tempat. Berbagai masalah pelik tak berhenti melilit kehidupan sang pemilik tangan terampil. Salah satunya, permasalahan upah yang tak kunjung usai. Bahkan Badan Pusat Statistik mencatat, pada 2022 sebanyak 29,11 persen atau setara dengan 14,8 juta buruh di Indonesia menerima gaji yang rendah. Jangankan menuntut kenaikan, kelayakan pun belum mereka dapatkan.
Belum selesai masalah upah, eksistensi buruh pun dianggap bagai kapur yang mudah digantikan bila sudah tak lagi punya tenaga. Pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak menjadi momok menakutkan bagi mereka yang menaruh harapan pada mata pencahariaan satu-satunya untuk menghidupi keluarga. Pun hak-hak setelah keputusan itu dilakukan, jangankan dipenuhi, diminta pergi tanpa dituntut denda, dan segala alibi tengik penguasa pun sudah syukur.
Di tengah pedih upah tak layak serta bayang-bayang PHK, buruh tetap harus bekerja untuk menjamin eksistensinya tetap ada. Tak peduli waktu yang melewati batas, tanpa ada jaminan kesehatannya terjaga. Buruh selalu dipandang sebagai spesimen tahan banting yang tak perlu dipedulikan kerentanannya. Buktinya, BPJS Ketenagakerjaan tahun 2023 merekam 370.747 kasus kecelakaan kerja di berbagai sektor industri yang bukan sekadar statistik tetapi melibatkan manusia di dalamnya.
Banyak aturan bahkan konstitusi dan undang-undang yang menuliskan rentetan hak yang layak untuk diberikan kepada buruh. Naas, aturan hanya menjadi kiasan. Realitas yang menghantam para pekerja justru jauh dari semua kalimat yang tersusun indah dalam label penjaminan kehidupan. Transformasi dunia yang semakin elit, nyatanya tak mampu membuat buruh berhenti menjeritkan tangis.
Melakoni profesi sebagai buruh atau pekerjaan apapun di dunia merupakan pilihan. Namun, tidak semua orang memiliki kesempatan untuk memilih. Permasalahan struktural yang menjerat sedari dini membuat banyak individu hanya bisa menggantungkan diri pada pekerjaan yang mengandalkan fisik dan keterampilan memenuhi pemerintah atasan. Sayang, di era dengan dengan gaungan kemanusiaan yang lantang, banyak buruh yang masih terpasung oleh rantai ketidakadilan.
Sinergi pemerintah sebagai pembuat aturan yang seharusnya memprioritaskan kesejahteraan buruh dengan pemilik usaha tempat buruh bekerja sudah seharusnya berjalan seirama. Isu upah, PHK, dan kesehatan buruh terus langgeng menjadi tuntutan di jalanan. Mengabulkan atau mengabaikan, buruh tidak punya kuasa untuk mendikte penguasa. Namun, penguasa punya mata dan nurani untuk membebaskan buruh dari jurang kematian.
Ditulis Oleh:
Shafa Annisa Ramadhani
Mahasiswa Teknik Kimia
Angkatan 2022
Reporter ITS Online
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)