ITS News

Senin, 31 Maret 2025
27 Maret 2025, 12:03

Trial by Social Media, Antara Keadilan dan Penghakiman Massa

Oleh : itsdif | | Source : ITS Online
Ilustrasi ketimpangan antara opini media sosial dan hukum, di mana penghakiman publik sering kali lebih dominan dibandingkan proses hukum yang adil

Ilustrasi ketimpangan antara opini media sosial dan hukum, di mana penghakiman publik sering kali lebih dominan dibandingkan proses hukum yang adil (Sumber: todayonline.com)

Kampus ITS, Opini – Bayangkan Anda terbangun dan mendapat ribuan orang asing di internet mencap Anda sebagai pembohong atau penipu tanpa bukti apa pun. Ini lah fenomena trial by social media yang membuat media sosial seperti Twitter, Facebook, dan TikTok dapat mengakibatkan seseorang dianggap bersalah karena sebuah unggahan.

Fenomena trial by social media bukan lagi hal yang baru. Menurut jurnal Casey Anthony and the Social Media Trial, fenomena ini terjadi ketika televisi, surat kabar, atau media sosial membentuk opini publik tentang bersalah atau tidaknya seseorang sebelum ada keputusan resmi dari pengadilan, seringkali tanpa bukti yang jelas. Namun, apakah fenomena ini selalu berdampak buruk?

Di satu sisi, media sosial bisa menjadi alat yang ampuh untuk mengungkap kebenaran. Salah satu contohnya adalah dugaan kasus korupsi yang melibatkan istri seorang pejabat negara pada Agustus 2024. Unggahan di media sosial yang menampilkan gaya hidup mewahnya memicu kecurigaan publik dan mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut.

Namun, di sisi lain, trial by social media seringkali menjatuhkan sanksi sosial bahkan sebelum ada kepastian. Kasus Willie Salim adalah contoh nyata bagaimana warganet langsung mengecam warga Palembang tanpa memahami situasi secara keseluruhan. Meski Willie sudah memberikan klarifikasi, stigma yang terbentuk sulit dihapus. Ini menunjukkan betapa cepatnya opini publik bisa menghancurkan reputasi seseorang yang sebenarnya belum tentu bersalah.

Perkara Willie Salim diperparah oleh efek ruang gema (echo chamber) yang ada di media sosial. Mengutip laman GFC Global, efek ini terjadi ketika seseorang hanya menerima informasi yang sejalan dengan pandangannya. Satu narasi akan dengan mudah mendominasi dan mengurungkan perspektif lain terhadap peristiwa tersebut. Hal ini menyebabkan opini yang diutarakan bertentangan dengan prinsip keadilan dalam konteks hukum karena didasari oleh kesimpulan tanpa bukti yang jelas.

Di mata hukum, seseorang akan dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah di meja hijau. Hal ini ditegaskan dalam Konstitusi Federal Republik Indonesia Serikat tahun 1949, yang menyatakan bahwa setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana, termasuk pidana pencemaran nama baik, berhak mendapatkan proses hukum yang adil sebelum dinyatakan bersalah. Namun, trial by social media sering kali mengabaikan prinsip ini.

Akibatnya, trial by social media tidak hanya mengabaikan prinsip keadilan, tetapi juga menciptakan dampak nyata bagi individu yang menjadi sasaran. Riuh konten yang tersebar di dunia maya menciptakan opini publik yang dapat menyudutkan orang yang masih dalam tahap penyidikan. Sayangnya, meskipun nantinya terbukti tidak bersalah, kerusakan reputasi dan dampak psikologis yang mereka alami akan kekal dalam naungan internet.

Ilustrasi dampak psikologis akibat Trial by Social Media, di mana seseorang bisa menjadi sasaran hujatan dan tekanan publik di internet

Ilustrasi dampak psikologis akibat Trial by Social Media, di mana seseorang bisa menjadi sasaran hujatan dan tekanan publik di internet (Sumber: freepik.com)

Untuk menghindari jebakan trial by social media, kita harus lebih bijak dalam menyikapi informasi yang beredar. Sebelum mempercayai atau menyebarkan suatu berita, penting untuk memeriksa fakta dari berbagai sumber agar tidak terjebak dalam narasi yang belum tentu benar. Apalagi, opini publik di internet bersifat anonim, tanpa adanya kurasi yang jelas, dan setiap pengguna internet tanpa terkecuali bisa turut ambil menyuarakan pendapatnya. 

Trial by social media mungkin sulit dihindari, tetapi kita bisa memilih untuk tidak memperkeruh keadaan. Kemampuan untuk menahan jari menjadi salah satu keahlian yang harus ditanamkan pada setiap orang, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Sebelum ikut menyebarkan atau berkomentar kita perlu berhenti sejenak dan menanyakan apakah kita benar-benar tahu seluruh fakta dan kebenaran yang ada. (*)

 

Ditulis oleh:
Nadhifa Raghda Syaikha
Departemen Teknik Mesin
Angkatan 2024
Reporter ITS Online

Berita Terkait