Ternyata, para pengungsi tidak bisa bertahan di tempat pengungsian terlalu lama. Sebagai hunian, tempat tersebut kurang layak dan nyaman. Karena begitu tidak tahan dengan kondisi di pengungsian, sebagian korban mencoba untuk membangun kembali rumah mereka dari bahan-bahan reruntuhan.
Padahal, bahan-bahan tersebut tidak layak lagi untuk dijadikan material bangunan. Kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh bangunan-bangunan baru tersebut berpotensi lebih parah daripada sebelumnya.
Hal ini juga terjadi karena faktor mobilitas yang cukup susah. Untuk di daerah pedalaman, jarang ada kendaraan yang membawa bahan bangunan dapat masuk hingga ke daerah-daerah tersebut. Ketika pemerintah mulai membangun di daerah pedalaman, terlebih dahulu akses jalan yang baru harus dibangun. Pembangunan ekstra ini membutuhkan waktu yang cukup lama.
Keprihatinan tersebut mengusik Tavio dan sembilan rekannya dari jurusan Teknik Sipil. Mereka pun menggagas model rumah beton tahan gempa tersebut. Ide tersebut mendapat hibah penelitian dari Dikti sebagai penelitian hibah kompetisi untuk tiga tahun, yaitu hingga tahun 2011.
Rumah tersebut terbuat dari material beton ringan, didesain sangat sederhana tetapidengan sambungan-sambungan yang dirancang khusus untuk tahan terhadap goncangan gempa. Tahun 2009, mereka membuat model analitis rumah tersebut. Tahun 2010 ini, mereka mmenguji sambungan-sambungan pada rumah tersebut, sehingga model sambungan yang paling maksimal bisa ditemukan.
“Fokus kami memang pada rumah tinggal,†kata Tavio. Hal ini karena ia melihat bahwa kerusakan yang terbesar memang terjadi pada rumah-rumah tinggal dan rumah toko (ruko).
Sayang, di ITS tidak alat uji dynamic yang tepat untuk menguji ketahanan bagian-bagian tersebut. Mereka harus melakukan pengujian di Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Cileunyi, Jawa Barat.
Akan tetapi, hasil-hasil yang didapatkan memang cukup memuaskan bagi Tavio. Sambungan-sambungan tersebut teruji tahan terhadap goncangan setara dengan gempa skala 7.6 Richter.
Dengan adanya rumah beton tahan gempa tersebut, keadaan tersebut tidak akan terjadi lagi. Pembangunan rumah dapat dilaksanakan oleh beberapa orang saja dalam waktu 2-3 hari. Bahan-bahan pendiri rumah dapat dibawa menggunakan truk kecil atau pick-up, dan disambung di lokasi.
Seperti sebuah mainan bongkar pasang, pemilik rumah hanya perlu menaymbung bagian-bagian rumah tersebut sesuai instruksi. Bagian-bagian tersebut terdiri dari pondasi, balok-balok, kolom, dinding, plat lantai, sloof, hingga rangka atap dari baja ringan dan genteng dengan lapisan untuk insulasi.
Nantinya, Tavio bagian-bagian tersebut dapat terdiri dari berbagai macam model. Sehingga pembeli dapat melakukan mix and match untuk bagian-bagian rumahnya.
Desainnya memang sangat sederhana. “Memang itulah yang diprioritaskan dalam sebuah bangunan tahan gempa,†lanjut pria berkaca mata ini. Ukurannya juga cukup kecil, luasan tipe 45m2. Ada pilihan untuk bangunan satu dan dua lantai. Harga untuk model satu lantai diperkirakan sekitar Rp 50 juta, sementara untuk dua lantai minimal Rp 80 juta.
Semua hasil penelitian tersebut sedang dalam tahap penggabungan dalam sebuah buku. Di tahun 2011, model rumah tersebut diharapkan untuk sudah disempurnakan, disosialisasikan ke berbagai pihak, termasuk industri, hingga siap diproduksi.
Sebenarnya, tim Tavio juga mempertimbangkan untuk mengaplikasikan umah tersebut di daerah rawan tsunami. Tapi membangun rumah untuk dua kondisi tersebut ternyata sangat berlawanan. Rumah di daerah rawan gempa membutuhkan konstruksi yang ringan dan fleksibel. Sementara rumah di daerah rawan tsunami membutuhkan konstruksi yang berat agar tidak mudah terbawa ombak berkekuatan besar.
“Kami tengah berusaha untuk mencari kompromi antara kedua kondisi tersebut,†kata Tavio. Untuk konstruksi rumah tahan gempa ini, pilihan material yang digunakan adalah beton ringan yang kandungan agregatnya bukan kerikil melainkan batu apung. Sehingga beratnya dua kali lebih ringan daripada beton pada umumnya.
Tetapi ternyata beton tersebut masih cukup berat. Tavio berharap beratnya masih dapat diturunkan hingga sekitar setengahnya lagi. Namun apabila memang akan diaplikasikan di daerah rawan tsunami, keringanan beton tersebut patut diperhatikan, agar tidak mudah terbawa arus tsunami.
Tantangan lainnya bagi tim ini adalah menentukan metode perawatan rumah tersebut. Membangun adalah sebuah hal yang cukup mudah. Namun belum tentu para pemilik rumah tersebut akan merawatnya dengan baik. Terutama untuk bagian sambungan-sambungannya yang terbat dari metal, yang rawan berkarat.
Tavio dan timnya masih mempertimbangkan metode yang cocok untuk menjaga ketahanan sambungan-sambungan tersebut. Pilihannya adalah dilapisi dengan cat ataupun coating. Kendalanya, cat mudah terkelupas, sementara bila diberi coating, harganya cukup mahal meskipun lebih tahan lama.
Proses penelitian rumah tahan gempa ini memang masih cukup panjang. Gabungan antara ringan, kuat dan murah adalah kombinasi yang rumit. Namun Tavio dan timnya masih terus optimis untuk mengembangkannya. “Untuk hal yang sempurna memang dibutuhkan waktu yang tidak sedikit,†tutupnya sembari tersenyum. (lis/bah)
Kampus ITS, ITS News — Memperingati Hari Santri Nasional (HSN) 2024, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) bersama Pengurus Wilayah
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi kompleksitas pasar kerja nasional, Institut Teknologi Sepuluh
Kampus ITS, ITS News — Tim Sapuangin dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali mengenalkan mobil urban edisi terbarunya
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali dipercaya Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu