ITS News

Minggu, 01 September 2024
15 Maret 2005, 12:03

Soft-skill Lebih Berperan

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Magang beda dengan Co-op(Co-operative Academic Education) itu jelas. Kalau magang siapapun bisa, entah itu mahasiswa yang sudah lulus maupun yang masih duduk di bangku kuliah. Serta tidak ada bimbingan dari perusahaan. Lain halnya dengan Co-op yang mendapat bimbingan dan evaluasi dari seorang mentor. Biasanya program kemitraan ini mesyaratkan peserta minimal mahasiswa semester enam. Dan mereka tak tertutup kemungkinan akan langsung dapat bergabung di suatu perusahaan.

Hal tersebut di ungkapkan Ketut, mahasiswa Teknik Mesin ’98, dalam sosialisasi program Co-op, yang digelar BEM FTI ITS, Sabtu (23/11). Ketut yang telah menyelesaikan program Co-op di Toyota Astra Motor ini lebih menjelaskan masalah teknis program Co-op itu sendiri. Menurutnya, selama program Co-op ada beberapa rangkaian kegiatan yang harus diikuti, misalnya In Class Training diawal pertemuan, "ini semacam IPT sebelum masuk perguruan tinggi," katanya.

"Disini peserta akan diberikan penjelasan mengenai Toyota Astra Motor, gaya hidup disana, dan pengenalan lainnya." Tambah mahasiswa Teknik Mesin ini. Lantas, peserta Co-op berkeliling pabrik dalam kegiatan Plant Tour. "Ada lima pabrik yang dikunjungi," ungkapnya ketut.

Kegiatan yang terpenting selama Co-op di Toyota Astra Motor adalah menyusun dan melaksanakan rencana aktifitas rutin selama Co-op di perusahaan tersebut. "Di sini kita tidak diperintah suatu pekerjaan, tetapi kita diharuskan merencanakan suatu pekerjaan, intinya mau apa kita selama Co-op disini,"terangnya. Setelah itu akan ada progres report sampai mana kecocokan antara rencana dan aktifitas yang sudah dikerjakan. "Laporan hanya seukuran kertas A3, tidak ada kata-kata yang tidak perlu dalam laporan seperti yang sering kita buat sewaktu di kampus," jelasya.

Selain ketut, peserta Co-op yang hadir sebagai pembicara adalah Aditya Rendra, mahasiswa Teknik Industri, yang pernah Co-op di Toyota Astra Motor. Menurutnya,beda sekali kenyataan yang dihadapi di perusahaan dengan apa yang dipikirkan sebelumnya. "Selama ini saya berpikir akan bekerja seperti karyawan umumnya disana, tetapi selama dua-tiga hari kerjaan saya hanya duduk-duduk manis saja," tuturnya.

"Mungkin karena iba mereka akhirnya memberi kerjaan saya sebagai tukang fotocopy dan tukang kirim faks," tambahnya dengan humor.
Ini dimungkinkan karena kurangnya sosialisai dengan karyawan setempat. "Setelah saya mendekati beberapa staff di sana, akhirnya saya dilibatkan juga dalam proyek mereka," terang mahasiswa yang mempunyai segudang pengalaman kerja ini.

Program Co-op ini, sebenarnya bukan hal yang asing di lingkungan ITS sendiri. Tahun 2001 kemarin merupakan tahun yang paling berhasil pelaksanaan Co-op. "Hal ini dibuktikan dengan banyaknya peserta Co-op yang langsung menjadi karyawan di perusahaan tersebut," ujar Ir.Agung Budiono,M.Eng. "Ini sesuai dengan tujuan Co-op itu sendiri, yang memang memperpendek waktu penyesuaian lulusan dalam memasuki dunia kerja." Tambah pejabat yang dikenal dekat dengan mahasiswa ini.

Menurut Pembantu Dekan III FTI ini, industri yang telah melaksanakan program Co-op dengan FTI-ITS cukup banyak, diantaranya PT. Toyota Astra Motor, PT Pembangkit Listrik Jawa Bali, PT Philips Ralin, PT Perklin Elmer, PT Indonesia Power, PT Telkom, PT Exelcomindo Pratama, dan PT Mitrais. "Di awal tahun akan ada beberapa industri lagi yang akan bekerjasama untuk program Co-op ini," tambahnya.

Ketika ditanya kenapa peserta co-op mayoritas mahasiswa FTI,Dosen FTI ini membenarkan. "Dari data SAC, peserta Co-op memang 98 persen adalah mahasiswa FTI dan sisanya adalah mahasiswa teknik informatika yang dulunya juga bergabung di FTI. Jadi memang peserta Co-op adalah mahasiswa FTI." Terangnya. "Ini karena Pembantu Dekan III fakultas lain hanya menunggu bola tidak menjemput bola," tambahnya.

Untuk peserta dari D3 memang program Co-op belum berjalan. "Tapi kita sudah mempunyai rencana untuk Co-op mahasiswa D3 di Toyota Astra Motor, jadi tunggu aja." Jelasnya.

Mantan aktivis kemahasiswaan ini, mengakui banyak sekali keuntungan industri dari program Co-op ini. Selain mendapatkan tenaga kerja yang murah untuk sementara, bagi industri atau dunia usaha Co-op ini memudahkan perencanaan untuk ekspansi di bidang SDM. Mereka juga mempunyai gambaran tentang mahasiswa yang potensial untuk recruitment. "Tapi kita juga menuai banyak manfaat disini, tahu dunia kerja, menerapkan ilmu, menyelesaikan skripsi, kesempatan bergabung sebagai karyawan, ya hubungan mutualisme lha," ucapnya.

Agung juga membenarkan bahwa dunia usaha tidak hanya memerlukan hard-skill, melainkan soft-skill yang lebih memegang peranan penting. Contohnya, pada tahun 2001 kemarin, peserta Co-op yang berangkat mempunyai IPK rata-rata dibawah 3, tetapi mereka lebih banyak diterima dan bergabung di industri, "dibandingkan dengan tahun 2002 ini yang pesertanya mempunyai IPK 3,2 keatas, hanya sedikit sekali yang bisa bergabung dengan industri." Jelasnya.

Kenyataan ini juga diakui oleh ketut dan Aditya. IPK memang penting sebagai kunci seleksi administrasi saja, setelah itu soft-skill mempunyai peran dominan. "Bagaimana kita bisa berkomunikasi, hingga proyek saya diterima. Bagaimana bekerja teamwork dengan orang lain. Bagaimana kita berinisiatif, problem solving, berpikir sistematis, kemampuan leadership, dan juga kemampuan presentasi adalah sebagian kemampuan yang mesti kita punya." Terang Aditya. (lut/rom)

Berita Terkait