ITS News

Jumat, 27 September 2024
29 Mei 2008, 10:05

Interupsi

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Sampai suatu hari Chava tidak dapat menahan kesabarannya untuk mengangkat tanganya, mengintrupsi sang dosen.

”Pak! Kenapa harus ada perkuliahan lagi di minggu tenang, bukankah baiknya sisa materi yang ada diberikan kepada kami agar dipelajari di rumah!”

Semua mata mahasiswa di kelas terpaku menatapknya. Bagaimana tidak, seolah-olah kata-kata barusan terkesan menggampangkan materi yang berakhir pada meremehkan sang dosen. Namun sorot mata teman-temannya Chava yakini penuh dengan persetujuan. Mereka tidak lagi heran, sebab tindakannya ini bukan yang pertama kalinya. Sedangkan bapak dosennya hanya tersenyum sinis.

”Materi terakhir itu penting untuk dijelaskan, karena akan masuk dalam soal ujian nanti.” jawab dosennya sedikit sabar.

”Tapi bukan berarti harus di minggu tenang, kan pak? Bukankah di minggu tenang seharusnya tidak ada kegiatan akademik?” balas Chava

”Mau bagaimana lagi, hanya itu waktu yang ada,”

”Tapi pak….?”

”Kalau kamu tidak bisa datang, ya tidak apa-apa! Untuk yang lain, saya tidak memaksa untuk datang di kuliah tambahan nanti!” kata sang dosen sedikit marah.

Semua isi kelas terdiam. Tapi semua jauh dari puas bagi Chava. Namun ia pun tak mampu lagi untuk melanjutkan kata-katanya. Kebingungan dan kekecewaannya pada sistem pengajaran yang diberikan dosen pun tidak kali ini saja. Memang ada beberapa dosen yang masih sesuai ”jalur”, tapi tidak sedikit yang berlaku seenaknya.beberapa hari lalu, Chava juga sempat kesal dengan dosen yang memberikan tugas di minggu tenang untuk dikembalikan saat ujian.

”Lantas apa bedanya dengan memberi kuliah di minggu tenang, pak? Bahkan sebenarnya mengerjakan tugas besar jauh melelahkan dan menyita banyak waktu. Kapan kami punya banyak waktu untuk menenangkan diri sebelum ujian?” ucap Chava.

”Minggu tenang itu gunanya memberikan waktu belajar lebih untuk mahasiswa, tugas-tugas itu diberikan agar mahasiswa mau belajar dan siap ujian.” balas sang dosen

Belum sempat Chava membalas, sebuah tangan menariknya untuk menenangkan diri, yang ternyata teman sebelahnya. Padahal Chava hanya ingin mengatakan yang namanya minggu tenang itu yah untuk menenangkan diri, bukan justru menambah beban tugas. Kalau memang untuk belajar kenapa namanya bukan ”Minggu Belajar” atau yang lainnya. Selain itu, Chava juga sedikit berang jika penugasan diberikan untuk mendorong mahasiswa untuk belajar. Bukankah sebenarnya belajar itu adalah hak dan kewajiban tiap inividu. Bukankah mahasiswa sudah dewasa, terserah dirinya mau belajar atau tidak sebelum ujian.

Pun begitu pada minggu-minggu pertamanya merasakan perkuliahan di kampus. Hampir semua dosen yang mengajar mata kuliah 3 SKS selalu memberikan materi di kelas lebih dari 150 menit dalam sepekan.

”Bu! Satu SKS kan 50 menit, jadi dalam satu pekan mata kuliah ibu seharusnya 150 menit. Dua hari lalu kita kuliah 1 jam 40 menit, lalu kenapa tadi juga seperti itu. Berarti kita kuliah 4 SKS donk bu?” tanya Chava seusai perkuliahan.

Bu dosen pun hanya menjawab, ”Memang biasanya seperti itu, dosen yang lain juga sama.”

Sebuah jawaban yang konyol bagi Chava. Namun sebagai angkatan baru, ia ingat betul salah satu ajaran seniornya saat pengkaderan yang baru ia sadari bahwa mengerjakan hidup itu harus berpikir, bertanya apa yang tidak dimengerti, dan kemukakan jika terasa mengganjal pada diri. Sampai pada suatu saat, dimana kejengkelannya benar-benar memuncak.

”Satu pekan lagi sudah ujian, kita kurang satu kuliah lagi karena saya gak masuk kemarin. Diganti besok malam di ruangan yang sama! bisa semua kan?” tanya seorang dosen kali ini.

”Yah gak bisa gitu, pak!” Chava berdiri. ”Kalu bapak tidak bisa mengajar waktu itu, yah sudah. Haruskah kuliah tersebut diganti?”

”Karena masih ada materi penting belum tersampaikan.”  

”Dan itu bukan salah kami! Kenapa bapak yang tidak bisa mengajar lantas waktu kami yang dikorbankan? Dan kenapa untuk memenuhi kewajiban bapak mengajar sekian kali dalam satu semester harus menggunakan waktu kami yang seharusnya kami gunakan untuk aktivitas lain?”

”Wah sebenarnya itu bukan urusan saya, karena sebenarnya tugas mahasiswa itu kan belajar.”

”Tapi kan sudah ada waktu yang ditentutakan?!”

”Begini saja! Yang tidak bisa hadir, silakan! Saya hanya mengingatkan ada materi penting yang harus dijelaskan.”

Sekali lagi kata-kata itulah yang membuat Chava seperti terkapar. Kata-kata itu pulalah yang membaut kebanyakan teman-teman sekelasnya mau tidak mau harus mengikuti.

”Lalu bagaiman dengan presensi yang tidak hadir, pak? Chava berkata lagi.

”Nama kamu siapa? Saya catat saja, saya anggap hadir!”

Chava sedikit ragu menyebutkannya, terutama karena pertanyaan dosen serasa hanya untuk dirinya.

”Chava, Chava Saffana Fairuza! NRP 07….026,” jawabnya pelan namun tegas. Entah kenapa ia merasa ada tanda hitam di belakang namanya.

Begitulah Chava. Hingga dalam sebuah perkuliahan ia mencoba untuk bersabar. 5 menit berlalu, sang dosen belum juga mengakhiri kuliahnya. 10 menit…….15 menit……..20 menit.

”Pak! Waktunya sudah lewat!”

”Oh maaf, bisa nambah beberapa menit lagi? Soalnya saya tadi kan telat datang,” kata dosen yang kali ini agak sabar.

”Kami kan juga butuh istirahat pak, setelah ini ada kulaih lagi,”

”Yah sudah, kita lanjutkan lusa! Cuma saya ingin bertanya pada anda, jika ada dosen yang menyudahi perkuliahan semisal 30 menit sebelum waktu yang ditentukan, apakah anda juga akan menyela kenapa kuliah sudah selesai padahal waktunya masih banyak?”

Deeg! Chava terdiam. Terduduk seolah ada Jab keras mengenai wajahnya.

Emal Zain MTB

Berita Terkait

ITS Media Center > Profil > Interupsi