ITS News

Minggu, 29 September 2024
24 September 2008, 23:09

Terinspirasi Pertanyaan Bunda, Ciptakan Linux Tuna Netra

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Ide untuk membuat terobosan ini bermula ketika Debi ditanya oleh ibunya yang menjadi pengajar di Sekolah Luar Biasa (SLB) Tunagrahita. ”Ada nggak ya komputer untuk kaum tuna netra?,” ujar Debi menirukan ucapan ibunya. Berawal dari pertanyaan sang bunda itulah akhirnya muncullah niat Debi untuk membuat Linux bagi tuna netra.

Terdorong oleh motivasi untuk membantu sesama, Debi dan Eko tak ingin mengkomersialkan terobosan yang dibuatnya. Karena itulah mengapa mereka memilih Linux sebagai alternatifnya. Dilindungi oleh Genuine Public License (GPL), karya mereka dapat diakses secara gratis oleh masyarakat. Debi dan Eko mempersilakan kepada siapa saja yang ingin memodifikasi, mengcopy, dan menyebarluaskan Linux tersebut.

Diceritakan oleh Debi, setelah mendapatkan ide TA tersebut, mereka memulai perjungan dengan mencari referensi di internet. Dari hasil searching, Debi dan Eko mengetahui bahwa sudah ada orang yang menemukan produk ini sebelumnya. Namun, penemuan itu hanya dalam bahasa Inggris.

Berbekal informasi yang mereka peroleh, akhirnya Debi dan Eko mencari dosen pembimbing. Tak tanggung-tanggung, mereka dibimbing oleh dua dosen pembimbing sekaligus. Kedua dosen tersebut masing-masing membimbing bidang yang berbeda, yakni sistem user interface dan text to speech.

Pembagian kerja akhirnya menjadi solusi alternatif bagi pengerjaan TA mereka. Debi kebagian tugas untuk mengurusi system user interface sedangkan Eko mengembangkan text to speech bahasa Indonesia. Adapun distro Linux yang mereka pilih untuk proyek TA ini adalah Debian karena dirasa mempunyai aplikasi paling lengkap.

Pembuatan Linux tuna netra ternyata membutuhkan perjuangan keras. Selain harus dibuat dari nol, algoritmanya pun harus dibuat sendiri. Tak hanya itu, keyboard yang digunakan juga berbeda dengan keyboard umumnya, yakni bertombol huruf braille. "Keyboard ini pun kita kembangkan sendiri," tutur Debi.

Menurut Debi, secara garis besar cara kerja Linux ini adalah mengkomunikasikan hasil ketikan keyboard ke dalam format suara. "Jadi, bila ada suatu naskah diketik dengan keyboard braille maka akan dihasilkan suara sesuai naskah yang diketikkan," jelasnya. Penanganan yang sama juga berlaku ketika komputer hendak dimatikan.

Adapun tentang kendala dalam pembangunan Linux tuna netra ini, Eko mengaku kerepotan saat membangun database suara. Data base suara tersebut terdiri dari Natural Language Processing (NLP) dan Digital Sinyal Processing (DLP). NLP merupakan kata yang dipotong-potong sesuai bahasa Indonesia. "Kita harus merekam satu persatu konsonan kemudian menggabungkannya sendiri hingga menjadi sebuah kata," tuturnya.(nrf/f@y)

Berita Terkait