Sebelum Indonesia merdeka dan masih menjadi jajahan Belanda, sudah banyak industri yang didirikan. Industri tersebut umumnya diorientasikan untuk mengolah komoditas pertanian supaya lebih mudah diangkut ke Belanda dan pasar Eropa. Bahkan pada jaman tersebut beberapa komoditas hasil olahan pabrik yang dimiliki dan dikelola Belanda dikenal di seluruh dunia.
Gula dari Jawa, misalnya, pernah tercatat sebagai gula yang unggul dalam hal kualitas dan jumlah produksi yang besar sehingga mampu menjadi pemasok dunia kedua setelah Kuba. Hal ini membuktikan bahwa sesuai tantangan dan permasalahan pada saat itu, Belanda mampu meningkatkan nilai tambah komoditas Indonesia untuk dijual ke pasar internasional meskipun penjajah memaksa buruh pribumi bekerja dalam suasana penindasan dan kemelaratan.
Di masa Orde Lama persis setelah Indonesia merdeka, Indonesia mulai membangun industri-industri hulu seperti industri baja di Cilegon dengan semangat Berdikari. Namun sayangnya langkah ini mendapat kendala dalam memperoleh modal serta situasi politik di dalam dan luar negeri. Terlebih lagi pada saat itu ideologi anti-imperialis tengah mengakar kuat di benak rakyat Indonesia akibat traumatis jaman penjajahan. Karena ideologi inilah pemerintah Indonesia enggan meminjam modal kepada Amerika maupun negara-negara sekutu yang lain.
Ketika pemerintahan Orde Baru menggantikan pemerintahan Orde Lama, politik luar negeri yang dianut bangsa Indonesia telah berubah, modal asing pun mulai masuk. Pabrik-pabrik mulai didirikan untuk meningkatkan nilai tambah komoditas lokal serta memenuhi kebutuhan pasar di dalam dan luar negeri. Saat itu perekonomian Indonesia membaik, keuntungan absolut meningkat, namun keuntungan relatif terhadap modal justru menurun sehingga pabrik-pabrik tersebut belum bisa bersaing di kancah internasional.
Permasalahan inilah yang kemudian dikaji oleh Budisantoso melalui orasi ilmiahnya, Industrialisasi di Indonesia: Sebuah Retrospeksi Menuju Kesadaran Berpikir Sistem. Orasi ini disampaikan pada pengukuhannya sebagai guru besar dalam bidang Ilmu Penyelidikan Operasional dalam Permodelan Sistem Industri beberapa waktu lalu.
"Hal semacam ini terjadi karena perusahaan-perusahaan tersebut disetir oleh multinational corporation dengan menempatkan departemen riset dan pengembangan di daerah asal mereka. Sementara itu yang ada di Indonesia hanya pabriknya saja tanpa ada sistem industri. Artinya, permasalah tidak pada lantai produksi melainkan pada sistem," papar dosen Teknik Industri yang gemar membaca tulisan-tulisan Arswendo Atmowiloto ini.
Menurut Budisantoso, pabrik yang didirikan pemodal asing di Indonesia hanya ingin memperoleh tenaga kerja yang murah dan sumber daya alam yang mudah diperoleh. Padahal murahnya tenaga kerja Indonesia merupakan bumerang bagi bangsa Indonesia sebab belum ada kebijakan pemerintah yang mensejahterakan mereka.
Hal serupa terjadi pula pada Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang berada di luar negeri. Walaupun mendapat apresiasi dari pemerintah sebagai pahlawan devisa, namun perlakuan yang mereka terima sebagai tenaga kerja sekaligus pahlawan sangat tidak sebanding dengan upah yang diperoleh.
"Sekita 1,8 juta TKI di Malaysia digunakan untuk meningkatkan nilai tambah Malaysia. Namun dengan meninggalkan Indonesia, keluarga mereka malah hancur, anak mereka terlantar sehingga ada efek psikologis yang harus mereka terima," lanjut pria kelahiran Yogyakarta ini.
Permasalahan lain yang dipaparkan Budisantoso dalam orasi ilmiahnya adalah mengenai belum adanya transfer teknologi dalam perindustrian di Indonesia. Ketika Indonesia mengimpor suatu teknologi (teknologi eksogenus), umumnya tidak ada reverse engineering untuk menghasilkan teknologi industri baru yang diyakini berkinerja lebih baik.
Akibatnya, Indonesia seperti kecanduan mengimpor barang-barang berteknologi tinggi dari luar negeri. Sebaliknya, teknologi endogenus yang dimiliki Indonesia pun tidak diproteksi dengan baik sehingga dapat diambil dengan mudah oleh bangsa lain seperti pembuatan tempe, batik, sarang semut, dan sebagainya.
Namun berbagai permasalahan dunia perindustrian tersebut bukan tanpa solusi. Menurut Budisantoso, dengan memberikan pelatihan pada tenaga kerja Indonesia, maka harga tenaga kerja Indonesia dapat meningkat seiring dengan produktifitas kerja dan keahliannya. Selain itu, pemerintah pun perlu memberi sedikit tekanan supaya perusahaan-perusahaan asing menempatkan departemen riset dan pengembangannya di Indonesia dengan memanfaatkan tenaga ahli dari Indonesia pula. (taw/mtb)
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)