ITS News

Jumat, 27 September 2024
15 Maret 2005, 12:03

dr. Lies: Mahasiswa ITS Itu Manja

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Ditengah musim ujian, bergulat dengan angka-angka, mendadak gigi sakit. Tak dapat dibayangkan bagaimana rasanya. Penulis pun tak mau membayangkannya lagi. Malam itu, akhirnya diputuskan bahwa penulis harus pergi ke dokter gigi, dan poliklinik ITS adalah jawabannya. Maklum, selain paling dekat, berobat disana katanya gratis untuk mahasiswa.

Jadilah penulis berangkat jam 6 sore. Karena Dokter gigi disana buka praktek mulai jam 5, penulis mengira pasti belum terlalu ramai. Namun prakiraan tinggallah prakiraan. Sudah ada 6 orang yang masuk daftar tunggu. Tak hanya dari mahasiswa saja, pasien dari warga sekitar juga turut masuk dalam antrian.

Bukan ke dokter gigi namanya kalau tidak menunggu lama. Untuk satu pasien yang sekedar periksa gigi saja sudah cukup menyita waktu, belum lagi yang cabut gigi. Bosan menunggu, penulis lalu beranjak ke ruang dokter umum.

Setelah mengenalkan diri pada dokter disana, dan memperoleh izin untuk wawancara tentunya, penulis kemudian terlibat obrolan seru dengan beliau. Dokter Ny Lies Hoedijono, dengan ramah menceritakan kondisi poloklinik ini. "Ibu disini bersama 2 dokter lain yang praktek secara shift atau bergantian," ujar beliau. Dua dokter yang disebutkan beliau disini adalah Dokter Eny Setyorini dan Dokter Ratna Kurnia D.P. Konthen. Jadwal jaga mereka antara lain jam 9-1 siang, jam 1-4 dan jam 5 -8 malam.

Mengenai ongkos periksa dan obat gratis, beliau menjelaskan bahwa dana tersebut didapat dari Ikoma (Ikatan Orang Tua Mahasiswa) yang dibayar mahasiswa tiap semesternya. Namun "sumbangan" terbesar ternyata justru berasal dari mahasiswa baru. "Jadi sebenarnya mahasiswa lama berutang pada mahasiswa barunya," ujar beliau sambil tersenyum. Sedangkan untuk pengobatan tertentu yang membutuhkan biaya tinggi, kadang kala mahasiswa ITS tetap harus merogoh koceknya sendiri.

Sebuah pernyataan yang cukup mengejutkan dari beliau saat itu adalah, poliklinik ITS paling baik dan paling murah diantara poliklinik universitas lain di Surabaya. Melihat ekspresi penulis yang cukup terkejut, dokter yang mengenakan batik kuning ini lalu menyebutkan perbandingannya dengan Unair. Disebutkannya bahwa dokter jaga disana kadang tidak ada ditempat. "Namun jangan bandingkan dengan milik kedokterannya,ya! Jelas beda," ujar beliau, sekali lagi, sambil tersenyum.

Ingin tahu penyakit yang paling banyak "hinggap" di tubuh mahasiswa ITS? Ternyata, status "terhormat" itu disandang oleh penyakit thypus. Penyakit pencernaan yang disebabkan oleh Salmonella Thyphosa dan Salmonella Parathyphosa ini berhubungan dengan tingkat kebersihan penderita itu sendiri. Secara umum, lanjut beliau, kondisi di kos atau tempat tinggal mahasiswa lainnya cukup memprihatinkan. Terutama masalah penyucian alat makan. "Kuman penyakit dapat berpindah disitu, apalagi jika tidak memakai air yang mengalir," disini nada beliau cukup serius mengingatkan.

Pembicaraan terhenti sesaat, seorang pasien masuk. Penulis yang tidak enak mengganggu jalannya proses periksa-memeriksa ini tetap dipersilahkan duduk ditempat oleh Bu dokter. Seperti biasa, keluhan dari pasien ditanyakan. Mual? Pusing? Buang air besar encer? Pertanyaan demi pertanyaan diiyakan oleh si pasien. "Nah! Ini juga sakit thypus, tapi yang masih ringan. Kurang istirahat, ya?" tanya dokter berkacamata ini kepada pasien. Yang ditanya akhirnya tersenyum dan menjelaskan bahwa dirinya tengah melakukan KP (kerja praktek), memasuki minggu terakhirnya. "Istirahat total 5 hari,ya?" Begitulah, perintah dokter harus dijalankan.

Dipandang dari luar, Mahasiswa ITS terkesan lebih "kuat" dari yang lain. Namun tidak menurut dokter kita yang satu ini. "Mahasiswa ITS itu manja, saat mendapat gejala sakit sedikit saja, mereka akan langsung pergi ke poliklinik," ujar beliau. Namun hal itu justru lebih baik, sehingga penyakit yang diderita tidak akan bertambah parah.

Setelah lama berbincang, dokter akhirnya pamit karena harus pulang, tugas jaga telah selesai. Penulis pun kembali ke tujuan semula, dokter gigi. Sebuah papan putih kecil bertuliskan nama sang dokter gigi, drg Ny.Titiek Berniyanti, M.Kes. Terbersit harapan bahwa beliau akan menjadi dokter gigi yang ramah dan baik hati. Terus terang, penulis paling takut ke dokter gigi.

Nama telah dipanggil, dengan perasaan was-was, penulis masuk ke ruangan berukuran 7X3 meter itu. Pemerikasaan di kursi "panjang" dilakukan. Sebuah pesawat televisi kecil yang diletakkan tepat di hadapan penulis tak berhasil membujuk hati penulis untuk tetap tenang. "Pertunjukan" dimulai dan penulis hanya berharap tidak akan ada acara cabut gigi kali ini.(ftr/har)

Berita Terkait