ITS News

Selasa, 03 September 2024
16 Februari 2006, 13:02

Surabaya Macet, Bagaimana Solusinya?

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Di usianya yang makin tua ini, Surabaya telah banyak berubah. Surabaya telah tumbuh menjadi kota metropolitan. Seperti tak ingin ketinggalan dengan Jakarta, kota ini telah memetamorfosis menjadi lahan manis bagi setiap pendatang.

Gedung-gedung bermunculan dimana-mana, pohon-pohon ditembangi untuk di ganti dengan beton. Sungai-sungai berubah menjadi “kakus” raksasa. Ekses negatif metropolis seolah tertumpah ruah di sudut-sudut kota. Sepeda, kendaraan sahabat lingkungan yang dulu sempat menjadi primadona harus rela tersisih oleh kerasnya deru kendaraan bermotor. Hampir tidak kita temui lagi warga kota yang memanfaatkan sepeda untuk kepentingan publik.

Justru disini lah masalah timbul. Mobilitas kendaraan bermotor yang tinggi, tanpa di imbangi infrastruktur jalan raya yang memadai malah menimbulkan kemacetan luar biasa. Pola pengambilan kebijakan transportasi yang terlalu menganakemaskan jalan darat, justru di pakai oleh orang-orang tertentu untuk menguatkan lobi-lobi ekonomi demi meraih keuntungan semata.

Ibaratnya, Surabaya dan kemacetan merupakan saudara kandung. Solusi-solusi transportasi yang ditawarkan oleh pemkot tidak pernah memberikan jalan keluar, justru menimbulkan polemik dan kontra produktif dengan kepentingan masyarakat.

GAYA HIDUP

Persoalan kemacetan surabaya secara tidak sadar disebabkan oleh gaya hidup warga kota sendiri. Gaya hidup yang cenderung pragmatis, konsumeris, hedonis, dan mau menang sendiri secara tidak langsung menjadi pemicu lahirnya kemacetan. Kerry H, dalam bukunya “Sociolgy in developmnet city” (1997) menjelaskan terjadinya regresi sosial pada masyarakat yang sedang berkembang menuju tatanan yang lebih modern. Masyarakat pada kondisi “transisi” mudah terbawa pada arus informasi sehingga mudah untuk di pengaruhi (dikutip dari buku ”Menuju masyarakat kota”, Indra L, 2000).

Tesis yang disampaikan oleh Kerry H mungkin bisa menjelaskan fenomena yang terjadi pada warga kota. Pendeknya warga kota sedang mencari identitas, butuh pengakuan sehingga cenderung individualistik dan mengabaikan kepentingan umum. Warga lebih memilih memakai mobil pribadi daripada menggunakan angkutan massal. Bagi mereka lebih terhormat terjebak macet dengan mercy, sedan dan kijang dari pada naik angkutan kota dan bis.

Padahal jika warga kota mau mengubah pola hidup demikian, saya yakin keberdaan angkutan massal dapat lebih dioptimalkan. Tentunya dengan peningkatan servis dan pelayanan.

SOLUSI ALTERNATIF

Di satu sisi peran pemerintah untuk mereduksi kemacetan cukup besar. Perubahan gaya hidup masyarakat tidak akan efektif jika tidak ada upaya konkret dari pemkot untuk menyediakan angkutan massal yang murah, bersih, dan aman.

Coba perhatikan angkutan kota dan kereta api. Kesan kumuh, jorok dan penuh kriminalitas tidak mampu dihilangkan. Dalam kondisi demikian, jika pemkot lepas tangan, perubahan apapun yang dilakukan oleh publik hanya bertepuk sebelah tangan.

Di samping itu, ada baiknya mencari transportasi alterantif lainya. Misalnya angkutan sungai. Pasalnya dengan mengandalkan mobiltas jalan raya, problem kemacetan tidak akan teratasi. Dari data yang ada panjang jalan di kota Surabaya adalah 2.035.95 kilometer. Menurut penelitian dari Dosch Consult (1998) pada tahun 2010 nanti jumlah warga yang menggunakan kendaraan pribadi mencapi 77 persen dari total populasi.

Alternatif angkutan sungai merupakan anugerah. Sebagai bagian dari ekologi yang khas, selain memiliki mobilitas yang tinggi dari tinjauan biosfer air dapat di personifikasikan seperti halnya makhluk hidup.

Akan banyak keuntungan komparatif yang di peroleh jika transportasi sungai di jalankan. Antara lain, pertama memberikan pilihan bagi warga kota untuk menentukan transportasi pilihan. Jenis-jenis transportasi yang lebih bervariasi akan memudahkan warga kota untuk memilih angkutan yang lebih mudah dijangkau. Sehingga keberadaan angkutan sungai dapat melengkapi angkutan darat. Misalnya daerah tertentu yang sulit diakses oleh angkutan darat dapat dijangkau oleh angkutan sungai.

Kedua, gairah pariwisata. Hampir dapat dipastikan, gairah transportasi air akan meningkat. Pihak perhubungan dapat menjalin kerjasama dengan dinas pariwisata, sehingga keberadaan angkutan sungai bukan hanya sebatas alat transportasi, melainkan sarana untuk menggairahkan kembali pariwisata Surabaya. Air yang bersih, pengelolaan yang profesional tentu akan menarik minat wisatawan lokal dan asing untuk melakukan perjalanan air. Warga kota yang jenuh dengan aktivitas dan pekerjaan kantor tidak perlu jauh-jauh keluar kota.

Ketiga, kesinambungan ekologi. Selama ini, kehadiran sungai di tengah kota sekedar menjadi “kakus” raksasa belaka. Kesadaran warga tentang kebersihan yang rendah mengakibatkan sungai-sungai di kota merana, penuh sampah dan penyebab timbulnya banjir. Jika kebijakan transportasi sungai di berlakukan, mau tidak mau harus tindakan konkret untuk memperlancar mobilitas. Artinya, sungai harus terbebas dari sampah dan kotoran. Dalam jangka panjang, kebijakan ini akan mendorong terciptanya ekologi lingkungan.

Akhirnya, kita berharap kemacetan di Surabaya dapat direduksi seminal mungkin. Untuk itu harus ada kerjasama yang baik antara warga dan pemkot. Setiap kebijakan mengenai transportasi hendaknya di lakukan secara transparan dan terbuka, sehingga warga dapat turut serta menyumbangkan pemikiranya. Disatu sisi warga harus “berani” mengubah pola hidup yang konsumeris dan pragmatis, karena sikap demikian cenderung melahirkan individulisme yang turut memperkeruh kemacetan di jalan raya. (*)

Penulis :
Nurhadi, Mahasiswa di Jurusan Teknik Fisika ITS
Email : nurhadi@ep.its.ac.id

Berita Terkait