ITS News

Selasa, 03 September 2024
26 Desember 2006, 15:12

Indonesia, Negri 1001 Televisi

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Seperti itulah gambaran kondisi bangsa kita saat ini. Sebuah negri yang hampir setiap rumah memiliki televisi, sebuah negri yang tak pernah kehabisan bahan siaran untuk dinikmati, dan sebuah negri yang berjuta umatnya tergila-gila akan menonton televisi. Budaya nonton ini, entah mengapa sudah menjadi budaya, sangat jelas tercermin pada manusia Indonesia. Kita dapat melihat rumah kita, rumah sekeliling kita, dan hampir disetiap rumah tak pernah tidak terdengar suara televisi.

Mulai dari anak-anak yang lebih rajin bangun pagi karena ada kartun kesayangannya, ibu-ibu yang rela menunda pekerjaan rumahnya demi telenovela atau drama percintaan, sampai bapak-bapak yang tahan melek sampai pagi takut terlewatkan pesepakbola idolanya mencetak gol. Dari sini saja kita dapat memperkirakan, berapa jam televisi menyala dalam sehari.

Ya, beginilah kondisi negri merah putih kita. Negri yang rakyatnya mudah terpengaruh terutama oleh media, terutama media yang berkembang pesat melalui televisi. Sampai saat ini, televisi merupakan media elektronik yang banyak digemari konsumen media itu sendiri. Pertanyaannya adalah apakah televisi dapat memberikan informasi yang baik, dalam arti yang positif? Apakah penyiaran kita sudah mampu untuk memberikan kontribusi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa? Apakah masyarakat akan menjadi lebih baik dengan acara-acara yang disiarkan?

Padahal, menonton saja mempunyai efek samping yang buruk. Menurut Jane M Healy Ph.D dalam jurnal AAP News mengemukakan bahwa kuatnya anak menonton televisi berhubungan erat dengan merosotnya prestasi akademik anak. Salahsatu sebabnya, anak yang terbiasa menonton televisi, maka otaknya cenderung ‘banyak istiarahat’, karena menikmati tayangan televisi tidak perlu usaha yang ekstra, sehingga otak terlatih untuk malas. Sedangkan menonton televisi pada masa balita dapat mempengaruhi sistem ekskutif otak atau prefrontal cortex yang bertanggung jawab pada pencernaan, pengorganisasian, perhatian, penilaian akhlak, dan perilaku sekuensing untuk kendali diri. Ringkas kata, menurut M Fauzil Adhim, ada satu pesan yang sangat jelas dari televisi, yakni membuat otak anak tidak biasa berpikir, dan membuat anak kelebihan bahan yang tidak seharusnya. Ini menjadikan kendali otak anak menjadi lemah, dan pada waktu yang sama, otak anak mengalami kelelahan sehingga tidak siap belajar.

Berdasarkan itu semua, Maria Conroy menyerukan agar orang tua membatasi anaknya menonton televisi atau komputer yang difungsikan untuk game. Dr. Healy menyarankan cukup seminggu sekali, atau jika terpaksa satu jam sehari, karena jika berlebihan anak akan menjadi sangat pasif. Padahal untuk mengembangkan kualitas diri dan kepribadiannya, anak harus aktif. Dr. astrid S. Susanto juga mengemukakan bahwa maraknya tayangan televisi dapat menumbuhkan kebiasaan menonton yang pasif sehingga menggeser kebiasaan lain yang positif.

Akan seperti inilah generasi penerus kita nantinya. Mereka akan tetap berkutat pada tayangan-tayangan mereka. Orangtualah yang sangat berperan dalam mengatur dan mengawasai buah hatinya dalam menonton, orangtua harus lebih peka terhadap bahaya yang bisa ditimbulkan oleh televisi. Tapi, terlihat jelas di Indonesia bahwa orangtua juga gandrung akan televisi. Lalu, bagaimana anaknya tidak mengikutinya?

Peran KPI
Seorang dokter akan mencari tau sebab si pasien menderita suatu penyakit. Begitu pula teknisi akan menelusuri hal-hal yang menyebabkan kerusakan pada sebuah mesin. Begitu pula dengan fenomena “Gandrung Nonton yang terjadi pada masyarakat Indonesia. Jika kita telaah maka Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) turut ambil bagian dalam “membodohi” bangsa ini. Memang, kita tidak bisa menganggap rumah produksi dan konsumen tidak bersalah dalam hal ini. Namun, KPI merupakan faktor terbesarnya karena komisi inilah yang mengatur hal-hal mengenai penyiaran.

Dalam pasal 8 ayat 3 butir (a) dalam UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran disebutkan bahwa KPI menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia. Kenyataannya, tayangan-tayangan yang ada saat ini prosentase yang tidak bermanfaat lebih besar daripada tayangan yang bermutu. Tidak hanya itu, saat ini masih ada tayangan yang tidak layak. Sebut saja infotainment yang kebanyakan mengurus kehidupan pribadi orang, yang jelas-jelas hanya akan menjadi bahan gosipan para wanita ini lebih marak tayang di televisi ketimbang acara berita yang mengulas informasi dan fakta-fakta yang mana ini akan lebih bermanfaat. Menjamurnya berbagai sinetron ditengah layunya acara-acara yang lebih mencerdaskan seperti dialog, diskusi, dan tayangan–tayangan lain yang mempunyai unsur wawasan dan pendidikan. Belum lagi tayangan yang berbau seksual dan kekerasan yang kerap kali ditonton oleh anak-anak. Lalu dimana keberadaan KPI dalam hal ini? Untuk apa undang-undang yang selama ini ada? Seolah semua ini hanya formalitas saja.

Di tayangan televisi, khususnya sinetron kerap terdangar kata-kata yang tidak layaknya seperti makian, hinaan yang merendahkan martabat. Padahal dalam pasal 52 dalam SK KPI No. 009-2004 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program siaran (P3-SPS) dijelaskan bahwa lembaga penyiaran dilarang menggunakan kata-kata yang merendahkan martabat manusia dan memiliki makna jorok atau serta bermaksud menghina agama dalam bahasa apapun dan dalam bentuk apapun. Tayangan infotainment pun telah dijelaskan di pasal 19, bahwa lembaga penyiaran harus menghormati hak privasi subyek berita tersebut. Pasal 34 yang menyatakan bahwa rekonstruksi kejahatan tidak boleh disiarkan secara rinci. Kenyataannya? Dan yang paling jelas ketidak seriusan KPI ada pada pasal 5 butir f, “lembaga Penyiaran melindungi anak-anak, remaja, dan kaum perumpuan.” Lalu bagaimana dengan tewasnya seorang anak setelah menirukan gaya kekerasan yang ada di televisi beberapa waktu lalu? Bagaimana dengan rusaknya kehidupan remaja yang kebanyakan meniru budaya barat? Televisi berperan dalam semua ini. Jangan lupa! Lembaga penyiaran juga turut andil dalam hal ini.

Terlihat seakan KPI tunduk pada rumah produksi. Segala tayangan tidaklah mencerminkan adanya KPI, seolah ada permainan dengan umah produksi. Seolah rumah produksi yang berkuasa untuk mengatur bahwa tayangannya layak disiarkan. Ada apa dengan ini? Padahal dalam UU No. 32 Tahun 2002 Pasal 8 ayat 2, KPI berwenang menetapkan standar program, menyusun peraturan, menetapkan pedoman perilaku penyiaran, dan mengawasinya.

Bangsa ini akan selalu terpuruk jika manusianya tidak berubah. Selama ini kita hanya membangun fasilitas fisik saja, “pembangunan manusialah” yang dibutuhkan bangsa ini. Terbukti, negara yang besar ini indeks prestasi manusianya jauh di bawah negara yang lain. Miris sekali saat saya melihat Singapura yang penduduknya hanya “secuil” itu bisa meraih emas lebih banyak pada Asian Games Qatar beberapa waktu lalu dibandingkan Indonesia dengan berjuta-juta rakyatnya yang hanya bisa menjadi penonton, melalui TELEVISI.

Penulis:
Emal Zain MTB
Mahasiswa Teknik Sipil ITS

Berita Terkait