ITS News

Selasa, 03 September 2024
14 Januari 2008, 10:01

Memaafkan Pak Harto

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Tapi pertanyaan besar yang masih menyangkut dalam benak jiwa rakyat Indonesia. Selain berbaring dalam pesakitan di RSPP, Soeharto juga masih harus menghadapi kursi pesakitan di meja hijau. Pro dan kontra status hukum Soeharto akan menjadi masalah besar. Jangan sampai terulang kembali peristiwa ketika Soekarno sakit keras di rumah pengasingannya, ketika itu kunjungan terhadap Soekarno dipersulit karena status hukumnya. Status hukum Soekarno setelah peristiwa G30S/PKI seakan menghapus citranya sebagai seorang pejuang dan proklamator kemerdekaan RI. Apakah hal itu juga harus terjadi pada diri Soeharto. Dilematis…Apakah bangsa ini lupa dengan pameo “bangsa besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya”???. Atau apakah setiap pemimpin bangsa akan bernasib serupa???.

Berbagai pendapat pun bermunculan mengenai kelanjutan status hukum Soeharto. Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa jasanya terhadap bangsa indonesia tidak boleh diabaikan. “Beliau memang bersalah, tapi beliau juga memiliki jasa bagi bangsa Indonesia”ujarnya dalam wawancara di kantor PBNU. Tapi Gus Dur juga menyerukan agar proses hukum tetap diteruskan. Prof Dr Amien Rais mengungkapkan bahwa kasus Pak Harto “diikhlaskan” saja mengingat jasa-jasanya terhadap bangsa.

Wakil ketua MPR,AM Fatwa yang juga pernah menjadi tahanan politik Orde Baru memaafkan kesalahan Orde Baru yang pernah menahanya tanpa alasan yang jelas. Pernyataan juga datang dari ketua DPR yang meminta kepada Presiden SBY untuk mendeponir (mengesampingkan) kasus Soeharto dengan pertimbangan kemanusiaan. Azyumardi Azra juga menyatakan bahwa jasa-jasa baik beliau tidak bisa dihapus begitu saja. Berbeda dengan pendapat sebelumnya, BEM-UI meminta presiden SBY untuk tetap menghormati hukum yang berjalan dan tidak mengintervensi hukum (Metro TV).

Menurut penulis, pernyataan mahasiswa memang wajar. Luka lama belum saja kering, 12 Mei 1998 menjadi peringatan gugurnya empat aktivis dari Universitas Trisakti. Setelah itu tidak terhitung lagi banyaknya aktivis yang hilang selama “Revolusi 1998”. Selama orde baru pun mahasiswa yang vokal terhadap kebijakan dibungkam sedemikian rupa. Teringat 15 Januari 1974 dimana Hariman Siregar mendekam di penjara karena pergerakannya pada peristiwa Malari. Sejak itu mahasiswa “diplester” mulutnya dan digiring untuk berkutat di dalam kampus. Baru tahun 1998, semua elemen mahasiswa bersama rakyat bergerak ke Senayan untuk menggulirkan reformasi.

Bersandar pada Tap MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang ”Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme”. Penulis berpendapat bahwa di setiap negara hukum (rechstaat) berlaku prinsip ”setiap orang sama di muka hukum”. Jadi, jika Indonesia betul-betul konsisten sebagai negara hukum, maka Soeharto dan siapa pun seharusnya diperlakukan sama secara hukum. Arti Idealnya, kalau ia bersalah, maka hukum harus ditegakkan dan karena itu sanksi hukum harus dijatuhkan kepadanya – tak peduli ia pernah berjasa besar bagi bangsa ini. Hanya dengan begitulah kepastian hukum dapat terwujud. Dengan demikian pulalah niscaya kewibawaan hukum makin diakui dan dihormati oleh setiap warga negara. ”toh, peradilan kan bisa berjalan secara in-absentia”. Belajar dari Hu Jiantao (Perdana Menteri China) yang menyatakan dalam pidato diawal kepemimpinannya bahwa dia menyediakan seratus peti mati, 99 diantaranya untuk bawahannya yang korupsi, sedangkan satu peti lagi untuk dirinya apabila menyalahgunakan wewenang. Setelah itu beberapa gubernur yang terbukti korupsi masuk dalam peti matinya. Dan hal itu membuat China sebagai negara yang sukses membrantas ”kanker korupsi”.

Penulis setuju dengan pendapat dari Jaksa Agung Hendarman yang menawarkan win-win solution untuk kasus ini. Dengan memberikan amnesti kepada Mantan Presiden Soeharto, namun tetap segera mengembalikan harta yang bermasalah (apabila terbukti) kepada negara. Selanjutnya, jangan hanya mengincar harta keluarga cendana, tapi juga harta ”kawan-kawannya” yang ikut andil dalam korupsi ini.

Manusia mempunyai naluri dan perasaan, semua orang pernah melakukan kesalahan "Tak ada gading yang tak retak". Hal yang terbaik dan terberat adalah memaafkan orang lain. Semua pendapat diserahkan kembali kepada pembaca, semoga Indonesia bisa bangkit dari keterpurukan akibat korupsi. Jadikanlah bangsa ini bangsa yang terhormat dengan menaati hukum.
Alhaqqumirobik,wallahu’allam bishowab…

Bahtiar Rifai Septiansyah (4106100033)
Mahasiswa Teknik Perkapalan, Reporter ITSOnline  

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Memaafkan Pak Harto