ITS News

Selasa, 03 September 2024
06 Maret 2008, 14:03

Kisah Lawas THR

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Taman Hiburan Rakyat adalah sebuah paradok dari Hi Tech Mall. Seperti langit dan bumi. Jika Hi Tech Mall menawarkan kebaruan dan kecepatan –seperti hidup dalam sebuah gasing yang berpusing dalam kecepatan quanta- maka THR menawarkan sebuah masa lampau dan kemalasan. Sepertinya teori relativitas Einstein benar, waktu serasa berjalan lambat di THR. Karena dengan mudah Anda menemukan nenek yang duduk di ayunan tua dan kakek yang cangkruk di jungkat-jungkit karatan.

Sebagai sebuah hiburan rakyat, THR memang sudah kehilangan pamornya. Ia tak lagi dirindukan oleh kaum muda dan remaja yang mabuk cinta. Hamparan mall dan televisi menjadi primadona baru saat ini. Primadona yang selalu menawarkan kebaruan dan ekstase duniawi setiap detiknya. Sedangkan THR, sejak zaman sepur lempung masih saja menawarkan stamboel-stamboel lawas dan gending-gending malas. Nggak gue banget deh!

***
Satu hal yang paling menarik perhatian saya adalah gedung tua milik Srimulat yang gagah berdiri. Di dalam THR sendiri ada beberapa gedung pertunjukan yang sampai saat ini masih bisa dipakai. Selain gedung Srimulat, ada juga gedung ketoprak Pringgondani dan semacam padepokan tari yang cukup lebar.

Gedung Srimulat sendiri adalah sebuah gedung tua dengan arsitektur modern di zamannya. Dua buah pintu besar dan tulisan capslock Srimulat dengan font Helvetica warna merah menyisakan wajah kejayaan masa lalu. Sayang gedung ini sekarang sudah tak terurus. Lampu warna-warni yang seharusnya berpendar indah saat malam tiba banyak yang pecah. Jika Anda masuk lewat pintu belakang yang hanya diganjal dengan kayu maka Anda akan menemukan satu set gamelan keemasan yang penuh sarang laba-laba. Sama kiranya dengan nasib perangkat gamelan di gedung Rektorat, mangkrak.

Panggungnya sendiri adalah sebuah panggung yang megah. Karpet tebal abu-abu melindungi pemain Srimulat yang jumpalitan. Kursi penontonnya ratusan, ditata berundak seperti sebuah stadium tua romawi. Saya jadi merinding sendiri berdiri di panggung yang sakral ini. Panggung tua yang sudah melahirkan nama-nama seperti Asmuni, Bambang Gentolet, Basuki, Kadir, Tarzan, hingga Tessy dan Tukul yang melegenda. Pastilah gedung ini dulunya adalah gedung yang ramai dan sesak oleh tepuk dan tawa manusia yang ngakak nggak keruan. Sedang para lakon yang dimainkan adalah sebuah imaji yang menyihir para penontonnya.

Aih saya kok jadi merindukan lawakan-lawakan Mataraman itu lagi ya. Lawakan rakyat yang selalu saya tonton tiap Kamis malam dengan keluarga. Lawakan yang dengan arif mengajarkan bahwa batur pun dapat duduk sama tinggi dengan majikannya dan abdi pun dapat mengkritik tanpa meninggalkan luka di hati priyagung. Semua larut dalam canda dan glenyengan yang egaliter. Saya pun merindukan kata-kata makbedunduk khas Mamiek Prakoso dan Gogon yang selalu duduk melorot.
***
Menuntaskan perjalanan singkat ke THR, saya sempatkan mampir ke sebuah kantor kecil milik Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang berada di dalam THR. Maka mengalirlah cerita tentang sebuah perjuangan hidup: bagaimana THR harus survive di tengah budaya yang semakin pop dan peran pemerintah yang dirasa sangat kurang. Sebagai seorang pimpinan THR, Tri Broto mengaku ini bukan pekerjaan yang mudah dan mendatangkan banyak uang. “Tapi harus tetep ada orang seperti saya mas, biar kesenian kita ndak punah,” ujarnya bersahaja.

Saat akan pulang, saya tertegun sejenak di depan pintu masuk gedung ketoprak Pringgondani. Di sana tertulis beberapa kata yang membuat hati saya miris; Ajining bangsa saka luhuring budaya, ojo lali karo budayane dewe!

Ayos Purwoaji
Mahasiswa Despro ITS

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Kisah Lawas THR