ITS News

Selasa, 03 September 2024
30 Maret 2008, 07:03

Polisi vs Mahasiswa, Siapa yang Menang?

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Ironis, itulah kata yang pantas diucapkan ketika menyaksikan penyerbuan polisi ke kampus Unhalu Sulawesi Tenggara di televisi (28/3). Polisi terlihat bertindak beringas di sebuah institusi pendidikan. Batin ini pun bertanya, apakah ini menjadi lanjutan peristiwa di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Sulsel atau Universitas Nomensen Sumut. Modusnya pun mirip, intinya pada aksi balas dendam dan culik-menculik.

Masih teringat kejadian 4 tahun yang lalu, ketika polisi menyerbu, mengobrak-abrik bahkan mengeluarkan tembakan di dalam kampus UMI. Dalam suasana yang mencekam, puluhan mahasiswa dipukuli, ditendangi, dipentungi dan diteror, tidak sedikit mahasiswa yang tidak tahu akar permasalahan ikut menjadi korban.

Nasib Universitas Nomensen tak jauh beda, fasilitas kampus pun jadi pelampiasan lusinan aparat. Mahasiswa yang bergelar master of demo dibuat ciut di kandang sendiri, ketika itu polisi benar-benar perkasa.

Peristiwa di Unhalu kemarin bermula dari aksi simpatik yang dilakukan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unhalu yang menolak kebijakan penggusuran Pedagang Kaki Lima (PKL) Kendari. Teriknya matahari membuat demonstran “gerah”, batu dan kayu berterbangan ke arah aparat yang berjaga ditengah negosiasi pimpinan demonstran dan pihak pemkot.

Merasa terdesak, aparat gabungan akhirnya berhasil mengusir mahasiswa dengan water canon dan pentungan. Tidak terima atas terlukanya beberapa temannya, mahasiswa balas dengan menggelar sweeping aparat kepolisian dan pemkot. Alhasil mahasiswa berhasil menculik polisi (Bripda Sumardin) yang sedang berada di dalam kampus.

Mengetahui ada anggota polisi yang diculik, sebagai bentuk solidaritas, satuan Samapta, Pasukan anti Huru-Hara dan pasukan elit Brimob menyerang kampus Unhalu. Bahkan intel-intel polisi sudah masuk ke dalam gedung rektorat, dimana BEM sedang mengadakan konsolidasi dengan pihak rektorat mengenai masalah ini.

Gedung Rektorat tiba-tiba menjadi medan perang, batu dan kayu mahasiswa tak kuat melawan pentungan dan pistol Colt polisi yang memuntahkan peluru ke mahasiswa. Polisi yang kalap pun menghancurkan fasilitas kampus (gedung, kendaraan dinas dll) yang ditemui secara membabi-buta. Tanpa tedeng aling-aling semua mahasiswa yang ditemui dipukul rata, padahal ketika itu Unhalu sedang mengadakan persiapan wisuda keesokan harinya.

Bagaiamana kalau terjadi di ITS
Saya mencoba membayangkan, misalnya kasus itu terjadi di ITS, BEM ITS menculik aparat Polsek Sukolilo. Ketika itu ITS juga tengah disibukkan dengan prosesi wisuda di Graha Sepuluh Nopember. Lalu aparat bersenjata lengkap tiba-tiba menyerang. SKK di pos depan pintu masuk pun tidak mungkin bisa membendung (kalah kekar dan senjata). Kemungkinan pertama yang diserang adalah kampus D3 FTI atau FTSp (bersiap-siaplah). Jadi yang kampusnya di pelosok (bagian belakang seperti FTK) masih ada kesempatan untuk menyelamatkan diri.

Setelah itu aparat mencapai gedung rektorat yang dijaga SKK dengan jumlah yang bisa dihitung dengan jari. Didalam gedung ada Pak Probo yang sedang rapat mengenai GAINPros dengan jajarannya. Lalu ada Nurkholis, Pres. BEM, sedang konsolidasi masalah ini dengan jajarannya di lantai 2. Aparat merangsek masuk dan terjadilah keributan dan bentrokan fisik didalam gedung

Sementara diluar gedung, mobil bernopol L 14 dan beberapa kendaraan berplat merah sudah dirusak. Kaca-kaca rektorat pun berantakan sekaligus merusak mobil panel surya karya mahasiswa ITS. Polisi dan intel juga merazia anggota BEM-ITS. Namun karena tidak berhasil, semua mahasiswa jadi sasaran. Beruntung ITS punya tata ruang yang bagus, dekat rektorat ada masjid manarul ilmi. Jadi, nggak perlu jauh-jauh buat ngungsi ke tempat aman dan nyaman.

Jangan Menyalahkan Satu Pihak
Terkadang mahasiswa terlalu berlebihan dalam menafsirkan kebebasan berpendapat. Mahasiswa juga sering menyertakan tindakan kurang terpuji dalam aksinya, seperti menghina seseorang atau institusi, kata-kata kotor, penyanderaan, menyerang dan merusak menjadi bumbu dalam aksinya.

Aksi demonstrasi sudah tidak murni lagi, lebih banyak ditunggangi kepentingan luar. Naasnya, sekarang banyak organisasi mahasiswa yang berdemo hanya untuk mencari popularitas tanpa mengetahui esensi dari aksi itu.

Dalam UU no. 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan meyampaikan pendapat di depan umum menyebutkan bahwa kebebasan berpendapat merupakan wujud demokrasi dalam kehidupan berbangsa. Pada pasal 6 dalam UU tersebut, pihak yang menyampaikan pendapat di depan umum harus menghormati hak orang lain, aturan moral di masyarakat, hukum yang berlaku dan ketertiban umum.

Sedangkan pasal 12 menyebutkan bahwa penanggung jawab acara ini wajib bertanggung jawab secara keseluruhan aksinya dan tiap 100 pengunjuk rasa harus ada 1-5 penangung jawab. Tiga hari sebelum acara, pelaksana harus menyerahkan surat izin yang berisi maksud, tujuan, lokasi, penanggung jawab, alat peraga dan jumlah peserta.

Sebagai penegak hukum, polisi sudah berusaha menjalakan pasal 15 yaitu pelaksanaan penyampaian pendapat umum dapat dibubarkan apabila tidak memenuhi ketentuan tadi. Bila terjadi tindak pidana, Penanggung jawab atau pelaku dapat dihukum sesuai peraturan yang berlaku ditambah dengan 1/3 dari pidana pokok (pasal 16).

Pesan Untuk Sang Demonstran
Tulisan ini bukan untuk menciutkan nyali para mahasiswa dihadapan aparat. Selama mahasiswa berada di pihak yang benar tidak perlu ragu untuk memperjuangkannya. Namun mahasiswa bukanlah preman yang mendahulukan emosi ketimbang akal, jadilah tauladan di mata masyarakat (moral force).

Kalau yang berpendidikan saja sudah bertindak destruktif dan emosional, bagaimana dengan yang tidak mengenyam pendidikan. Carilah cara yang lebih kreatif untuk menyampaikan pendapat atau kritik. Toh, mahasiswa tidak harus turun ke jalan untuk berpendapat.

Dikutip dari berbagai sumber
Bahtiar Rifai S
Mahasiswa Teknik Perkapalan

Berita Terkait