ITS News

Selasa, 03 September 2024
16 November 2008, 08:11

Karena Orang Indonesia Terbiasa dengan Oral

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Ya, karena budaya di Indonesia lebih banyak mengajarkan pelampiasan hasrat berpendapat dan berargumen dengan ceramah dan pidato daripada dengan menulis. Biasanya nada kesal muncul kalau sudah geram dengan perkataan, ceramah, pidato orang lain yang bertele-tele tidak sesuai realita dan ngalor-ngidul.

”Wah, anda ini bisanya ngomong doang (jawa: omong to’)!”. Biasanya ditambah dengan kata, ”Kebanyakan teori!, prakteknya mana bung?”. Tong kosong nyaring bunyinya, itulah peribahasa yang pantas disematkan. Di lain pihak, apakah para pembaca pernah dengar komentar yang berbunyi, ”Wah, anda ini nulis doang!, mana kontribusinya?”.

Sepertinya kejadian tadi sangat jarang. Tapi Kalau anda (yang rajin menulis, Red) ”dilempar” pernyataan itu. Langsung saja jawab, ”Dengan tulisan ini saya bisa merubah dunia, hanya anda yang belum bisa saya rubah!”. Pandangan orang banyak berujar bahwa penulis itu terlihat lebih cendekia dan bijak dibanding orator.

Memang tak bisa dipungkiri, kemampuan berbicara dan menulis merupakan sebuah karunia besar dari Allah SWT yang patut disyukuri. Keduanya merupakan jalan untuk mengekspresikan diri. Mereka juga yang turut memetakan dunia dalam hegemoni komunitas kuat dan lemah. Disana, intelektualitas masing-masing kelompok jadi taruhan.

Budaya Menulis dan Karakter Bangsa
Sekarang kita bisa menjawab, mengapa negara-negara maju bisa jalan petantang-petenteng, labrak sana-labrak sini. Ya, karena kemampuan pidato dan lobbying para pemimpinnya dikombinasikan dengan kemampuan menulis para cendekiawannya. Tapi kita harus cermat, karena terkadang ”kebiadaban” berbicara bisa membantai potensi menulis.

Beginilah filosofi barat mengajarkan tentang budaya menulis di kalangan perguruan tinggi. All Profesors are the same until one of them writes a text book. Semua profesor adalah sama. Yang membuatnya berbeda adalah karya-karya tulis yang tak lekang dimakan zaman. Atau dengan kata lain, guru besar tinggal memilih ”Publish! or Perish!” (menerbitkan karya tulis atau mati).

Namun bukan berarti semua orang Indonesia tak punya semangat itu. Malah para founding father mencontohkan pada kita ketika mereka berdebat lewat tulisan di dalam media atau buku. Contoh perdebatan sengit tentang prinsip kebangsaan antara M. Natsir dengan Ir Soekarno selama dekade tahun 30-an. Atau ketika Tan Malaka mengkritik dan berargumen dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional yang menurutnya mulai ”lembek”. Semuanya lewat tulisan!

Kalau boleh meminjam istilah agama, kita menemukan kata iqra’! dan qalam! (membaca! dan menulis!). Berarti seharusnya sudah menjadi kewajiban di kalangan para penganutnya. Sekali lagi, kita harus bicara budaya. Kebanyakan orang Indonesia pakai sistem jiping alias ngaji kuping. Masuk kuping kanan lalu menggetarkan gendang telinga. Namun sayangnya cairan di rumah siput (koklea) tidak ikut bergetar. Alhasil, gelombang suara malah kebablasan keluar ke kuping kiri.

Dipecut Dulu, Baru Mau Menulis
Coba lihat guru-guru sekarang. Jangan harap dapat kenaikan pangkat kalau malas menulis. Semangat guru untuk menggali dan menuangkan ilmu lewat tulisan terus dipacu. Mereka tak mau lagi dilecehkan. Pak Oemar Bakri siap membawa sepeda kumbangnya ke museum. Lalu menggantikannya dengan motor atau mobil terbaru. ”Ngontel, sudah nggak zaman!” teriaknya. Tak ada lagi kesengsaraan atas nama pendidikan. ”Sudah 40 tahun mengabdi, biar tidak selamanya guru itu nelangsa,” gumam Iwan Fals sambil tersenyum simpul (mungkin).

Harga sertifikasi guru pun jadi iming-iming. Gaji guru SMP dan SMA negeri bersertifikasi sudah menginjak angka 5-6 juta per bulan (dikutip dari Kadikmenti DKI Jakarta). Cukup menggiurkan bukan?.

Tapi syaratnya satu Pak Oemar Bakri. ”Anda harus rajin menulis untuk kemajuan pendidikan!” ujar sang pemegang kebijakan. Tidak cukup hanya berkoar-koar di kelas. Ya mending kalau muridnya perhatian dan mendengarkan semua. Lain cerita kalau sang murid pasang MP 3, direkam, lalu tidur. Atau malah ada yang terang-terangan tidur.

Sulit Memulai (Tapi Bukan Mustahil)
Pernyataan klise bagi para debutan (termasuk saya). Tapi ada satu prinsip yang biasa dipegang para penulis. ”Beri jalan otak kanan untuk tampil”. Otak kiri yang suka berpikir, penuh analisis dan pertimbangan harus dikubur sejenak.

Biarlah otak kanan menari-nari dengan penuh kreativitas, kebebasan, dan spontanitas. Ketika memulai menulis, jangan langsung benturkan dengan aturan-aturan penulisan. Tuangkan semua yang ada di pikiran sebebas-bebasnya.

”mmhhh..kalau pakai kata yang ini, apa enak dibaca?,”. ”Terus kalau yang baca tulisan saya seorang tukang becak, kira-kira pas nggak ya?”. ”Apa sudah sesuai EYD?”. Yang terakhir, ”Kira-kira, apa tulisanku layak dimuat?”. Wah, kapan selesainya kalau terus dibenturkan?. Teruslah mencoba untuk mengalir (sama seperti orang berbicara). Dan segera tuntaskan cerita (jangan dipotong-potong).

Setelah itu, terjadilah pergantian pemain. Otak kanan istirahat, otak kiri siap beraksi. Sekarang waktunya mengingat-ingat aturan penulisan. Kemudian teliti ulang kata per kata mengacu pada EYD serta ketepatan pemilihan kata. Kuatkan karakter tokoh atau kuatkan landasan teori argumentatif dan data-datanya.

”Akhirnya tulisan itu siap disajikan,”. Segera cari kawan anda untuk mengomentari tulisan itu. Semakin banyak menulis dan dikomentari, semakin bermutu tulisan itu. Dan jangan lupa terus membaca untuk menambah wawasan. Membaca itu pintu gerbang menuju penulis masyhur.

Ayo Budayakan Menulis!
Sumber:BelajarMenulis.com, Rahasia Terbesar Dunia Penulisan
Yudinopriansyah.blogspot.com, Opini dalam Sepuluh Menit
Foto :Photobucket.com

Bahtiar Rifai Septiansyah
4106100033
-Semoga Bermanfaat-

Berita Terkait