ITS News

Selasa, 03 September 2024
08 Oktober 2009, 11:10

Lesson from Earthquake: Alam Tak Bisa Membunuh

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Sekali lagi kami bersyukur karena diingatkan Tuhan. Ramadhan kemarin Tasikmalaya digoyang. Saya masih ingat betul karena besarnya 7,3 Skala Richter, sama seperti gempa terdahsyat Jepang, The Great Hanshin Awaji Earthquake atau Kobe Earthquake. Kebetulan saya bersama beberapa orang sahabat yang tergabung dalam tim GO-ITS sedang berada di kota Kobe. Bahkan yang memberitahu gempa itu adalah teman saya, mahasiswa Jepang yang ditelpon ibunya karena khawatir dengan keselamatan keluarga tim GO-ITS. Maklum, selama di sana kami jarang lihat TV atau baca koran.

Lalu kapan pula kita sadar kalau ternyata kita sedang berdiri di atas tiga lempeng yang bergerak aktif dan saling mendesak: Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Indonesia pun duduk di posisi dua se-Dunia dalam hal frekuensi gempa. Sementara China yang pernah kehilangan 240 ribu warganya di tahun 1976 menduduki peringkat satu dan Jepang “hanya” peringkat empat. Bersama Filipina, Jepang dan pantai barat Amerika, Indonesia juga dijuluki pacific ring of fire.

Gempa Sumatera yang berkekuatan 7,6 SR dengan jarak 57 Km arah barat daya Pariaman menjadi peringatan. Ia ditinjau sebagai aktivitas gempa menengah yang terjadi pada litosfer dekat dengan bidang kontak antar lempeng Indoaustralia-Eurasia. Menurut catatan sejarah, sudah empat belas kali terjadi gempa kuat yang merusak kawasan Sumatera Barat sejak tahun 1822. Diantaranya ada pula yang menyebabkan tsunami. Sumatera Barat terletak dalam daerah patahan yang sangat aktif. Terutama di daerah barat perairan Sumatera yang menjadi tempat bertemunya dua lempeng benua.

Gempa Bumi
1 September 1923, gempa dahsyat di dataran Kanto meluluhlantakkan kota metropolis Tokyo dan 143.000 tewas. Segera setelah itu para geologis menganalisa bahwa gempa bumi serupa akan terjadi dalam kurun 50-60 tahun ke depan. Penduduk Tokyo pun dirundung kecemasan. Selama berpuluh-puluh tahun mereka khawatir seperti orang yang sedang menunggu eksekusi mati.

Ternyata selang 72 tahun gempa itu akhirnya terjadi. Tapi letaknya berada jauh di sebelah barat daya kota Tokyo: Kobe. Cukup 20 detik, gempa berkekuatan 7,3 SR mampu menyebabkan ratusan ribu bangunan rusak parah. Kerusakan besar terjadi di setiap sudut kota. Kemudian dilanjutkan dengan kebakaran yang disebabkan arus pendek. Hasilnya, 4.600 orang tewas dan 43.000 orang terluka parah.

Siapa yang bisa memperkirakan gempa secara pasti? Kebetulan juga saya pernah melihat peta distribusi gempa dunia. Terlihat Indonesia tertutup semua dengan tanda merah yang berarti sangat rawan gempa. Bahkan yang “tampak bersih” hanya pulau Kalimantan saja yang sepertinya aman dari gempa. Kalau Jepang sama persis dengan Indonesia. Sangat rawan. Kalau begitu, cara satu-satunya adalah dengan mitigasi atau mengurangi kerugian akibat bencana.

Hikmah
Lesson from Kobe Earthquake atau hikmah dari gempa Kobe, itulah kata-kata yang paling sering saya dengar ketika mengikuti kuliah tentang mitigasi bencana di Kobe University. Setiap presentasi, dosen-dosen sana pasti berbicara tentang pelajaran dari gempa Kobe. Terkadang saya sampai bosan. Tapi tertarik juga karena mereka mampu merinci hikmah itu dari berbagai sudut pandang secara detail. Dari mulai evaluasi struktur bangunan, tata kota, irigasi, jaringan listrik, transportasi darurat, kesehatan, pangan, kesukarelawanan sampai pada pendidikan bencana. Mereka belajar dari setiap bencana untuk dasar mitigasi pada bencana berikutnya.

Mengapa mereka begitu mengambil pelajaran dari Kobe EQ. Kobe adalah kota modern dengan pelabuhan terbesar di Jepang. Pada tahun 1995 adalah pada saat puncak berkembangnya perekonomian kota-kota besar di Jepang. Pertumbuhan populasi yang terlampau cepat membuat pengaturan kota dan persiapannya menghadapi bencana agak terbengkalai.

Pada saat itulah Kobe yang terletak di patahan Nojima mengalami gempa. Bahkan Guiness Book of Record mencatat bahwa Kobe EQ adalah bencana paling merugikan di dunia, sekitar 100 trilyun dollar. Sementara itu, kota besar lainnya seperti Tokyo, Nagoya, Osaka dan Sendai memiliki karakteristik yang sama dengan Kobe. Istilahnya mereka diingatkan untuk selalu waspada. Berikut beberapa pelajaran yang mereka ambil dan seharusnya juga kita ambil dari gempa Sumatera Barat.

Scientific and Engineering Lesson, saya dibuat terheran-heran dengan keberadaan Jembatan Akashi Kaikyo sebagai penghubung pulau Honshu dan Awaji. Jembatan dengan span utama terpanjang di dunia ini (hampir 2 Km, Suramadu hanya setengah kilometer) dibangun persis di atas pusat gempa Kobe 1995. Pada saat terjadi gempa memang jembatan ini baru setengahnya jadi. Uniknya, gempa menyebabkan jembatan yang didesain tahan gempa sampai 8,5 SR ini lebih panjang dari rencana. Tiang utamanya bahkan bergeser dan anjlok beberapa centimeter. Rencana pun dirubah dengan perhitungan baru. Dengan keyakinan, satu bulan setelah gempa, proyek ini berjalan lagi dan berakhir sesuai rencana (1998).  

Ada beberapa perubahan fundamental terhadap regulasi konstruksi bangunan terutama dalam pelevelan ketahanan bangunan terhadap gempa. Lalu pemberian “sarung” kepada bangunan tinggi untuk menjaga agar manusia tidak tertimpa beton. Dan pemberian jarak antar gedung tinggi agar tidak menimbulkan efek domino roboh. Sepertinya Indonesia juga punya UU Bangunan dan Gedung tahun 2002. Tapi saya belum tahu update dari regulasi ini khususnya setelah Tsunami Aceh dan Gempa Jogja.

Jepang juga mengerahkan banyak insinyurnya untuk mendesain ulang kota Kobe. Alhasil, Sistem listrik kembali berfungsi selang satu minggu. Distribusi air juga mulai lancar satu bulan kemudian. Jalan layang Hanshin Expressway yang terjungkir menyilang ke jalan utama Osaka-Kobe telah selesai diperbaiki dalam waktu dua tahun. Bahkan tiga bulan setelah gempa, jalur rel Shinkansen yang melintasi gunung Rokko dapat difungsikan.

Di bidang kesehatan, mereka juga mengambil banyak pelajaran. Mereka memformulasikan keterbatasan ruangan dengan rumah sakit lapangan. Bahkan rumah sakit menyebar tenaga medis untuk memberi pertolongan pertama karena sulitnya akses transportasi menuju rumah sakit. Kemudian mengenai jumlah pasien yang datang  ke rumah sakit waktu itu tidak sebanding dengan jumlah tenaga medis. Mereka pun akhirnya merumuskan pendidikan bagi perawat sukarelawan khusus bencana.

Cultural and Educational Lesson, Dalam perjalanannya Tim Go-ITS juga berkunjung ke Disaster Reduction Museum. Saya sempat tidak percaya. Saya pikir gedung tinggi nan elit itu sebuah pusat perbelanjaan dengan keramaian di dalamnya. Gedung itu mencoba bercerita tentang gempa Kobe. Awal perjalanan kami di museum itu disambut dengan cerita pengalaman langsung dari korban gempa Kobe. Ternyata kebanyakan pegawai ramah pada museum ini adalah korban dari gempa tersebut.

Di lantai 4, kami diajak merasakan gempa itu. Tak ada percakapan manusia. Yang ada hanya ruangan gelap, lantai yang bergetar, suara gemuruh dan layar yang menyelimuti pengunjung. Kami disajikan ilustarsi gempa 1995. Ada pula teater yang mengisahkan seorang gadis bersama keluarganya yang menjadi korban gempa. Ia berpisah dengan kakaknya yang menyuruhnya segera meninggalkan rumah. Tetapi beberapa hari kemudian ia bertemu dengan kakaknya dalam keadaan sudah tak bernyawa di rumahnya. Kisah itu diceritakan dengan dramatis sampai ia mngungkapkan cita-citanya menjadi seorang perawat agar kemudian hari ia bisa membantu orang-orang yang terkena bencana dan akhirnya kesampaian.

Lalu kami juga diajak untuk mengujungi ilustrasi-ilustrasi lain baik dalam bentuk audio, visual maupun sebuah alat canggih untuk memperjelas keterangan. Ada sejarah gempa di Jepang, diorama proses recovery gempa Kobe, brosur tentang cara menyelamatkan diri dari gempa, prototype bangunan-bangunan modern anti gempa.

Begitu juga ketika kami mengunjungi Nojima Fault Prevention Museum di pulau Awaji. Di sana ada sebuah rumah yang benar-benar dibiarkan asli sejak gempa itu terjadi. Semua retakan, pergeseran tanah (sampai setengah meter lebih). Kemudian ada sebuah ruangan bernama “Kitchen after Earthquake”. Di sana perabotan dapur yang hancur berantakan masih diperlihatkan secara natural sebagai bukti keganasan gempa tersebut.

Kita pun bisa merasakan gempa 7,3 SR dengan suasana mirip gempa Kobe 1995. Kami duduk manis di sebuah ruang tamu buatan. Simulator bergoyang mulai dari 4 SR setelah itu selama 20 detik digoyang dengan 7,3 SR. Lumayan bikin panik. Tapi kabarnya masih lebih seru pusat bencana di Tokyo. Selain digoyang simulator, para peserta ditugaskan untuk mematikan gas di kompor yang sudah menyala, mematikan listrik, membuka pintu, mengambil bantal lalu lari ke bawah meja. Dari dua musium itu, saya mendapat pelajaran penting bahwa ilmu pengetahuan dan informasi sejatinya dikelola untuk menyelamatkan jiwa manusia.

Pendidikan seperti ini yang seharusnya ada di negara kita. Bangun gedung-gedung tinggi bukan hanya untuk pusat perbelanjaan, tapi untuk museum informasi juga. Contoh lain adalah pendidikan bencana yang sudah diaplikasikan di berbagai tingkat pendidikan. Salah satu buku panduan dan CD berjudul Bring in Happiness at Kobe City. Buku panduan itu berisi tentang pengenalan jenis bencana dan tindakan yang harus dilakukan ketika hal itu terjadi. Kalau mau tinggal di Jepang, mau tidak mau wajib tahu.

Selama sekolah, jangankan melihat buku panduan keselamatan ketika bencana, seumur-umur saya pun tidak pernah ikut pelatihan menyelamatkan diri ketika bencana. Apa mungkin gara-gara saya tidak masuk (absen) ketika ada pelajaran itu? Atau memang suku dinas pendidikan di daerah saya (Depok) merasa tidak perlu melakukan itu (menghabiskan uang)? Memang sih Depok tidak pernah kena bencana alam secara langsung. Tapi apa harus menunggu ada korban yang mati karena bencana baru kita belajar tentang mitigasi?

Social and Governmental Lesson, Berbaik-baiklah dengan tetangga. Buktinya, 80 % korban selamat Kobe EQ karena keluarga terdekat dan para tetangga mereka. Banyak warga Jepang mengeluhkan ketidaksigapan pemerintah terhadap Kobe EQ. Jadi penyelamat pertama adalah warga kota itu sendiri. Hal itu yang menunjukkan pentingnya kesiapsiagaan suatu masyarakat terhadap bencana.

Koordinasi antar pihak yang berkepentingan juga tadinya tidak berjalan dengan baik. Mereka pun mencoba memperbaiki koordinasi antara pemerintah pusat dan lokal. Pemerintah mengoordinasi para sukarelawan dalam proses recovery. Sistem komunikasi darurat langsung diperbaiki. Hasilnya, ketika gempa Niigata tahun 2004, tujuh menit setelahnya angkatan bersenjata langsung bisa bertindak.

Sebelumnya pemerintah juga  tidak pernah memberikan bantuan finansial langsung kepada para korban. Namun tahun 1998, dibuat undang-undang yang mengatur pemberian bantuan dana langsung dari pemerintah. Bahkan pada tahun 2007 ditegaskan bahwa Pemerintah wajib memberikan bantuan dana langsung sebesar 30.000 US dolar kepada para korban.

Bahkan Pemerintah juga mendorong terbentuknya komunitas-komunitas siaga bencana serta membentuk beberapa posko bencana. Masing-masing memiliki jaringan komunikasi yang baik. Bahkan biasanya, TV. Radio atau media lainnya di Jepang selalu memberikan warning apabila bencana akan datang termasuk mengingatkan kembali tentang tindakan mitigasinya. Jangan heran kalau lihat koran umum Jepang yang isinya kebanyakan tentang bencana alam.

Unik juga kisah koran Kobe Shinbun yang berusaha menuliskan berita Kobe EQ ke penjuru Jepang. Dengan keadaan kantor yang amburadul, wartawan berusaha menuliskan kejadian dan menampilkan banyak foto kejadian. Mereka mengerti betul arti informasi ini bagi warga dunia. Seandainya tak ada koran ini, mungkin jatuhnya korban bisa lebih banyak lagi karena seluruh warga Kobe pada saat itu memang sedang butuh bantuan dari luar.  

Volunterisme
, bencana ini juga memunculkan ide self help-mutual help-public help, intinya selamatkan diri sendiri dan saling tolong menolong. Bayangkan, 1,4 juta sukarelawan dari seluruh penjuru Jepang langsung datang ke Kobe. Bahkan tanggal terjadinya gempa Kobe (17 Januari) dijadikan sebagai hari nasional pencegahan dan kesukarelawanan bencana.

Suatu ketika Tim Go-ITS berbagi informasi tentang bentuk aksi sukarelawan. Ada sebuah kelompok sukarelawan bernama Foot Spa Team. Saya menyebutnya tim ahli pijat. Mereka berasal dari berbagai daerah yang dekat dengan kota Kobe. Setelah sampai di daerah pengungsian, mereka melakukan pekerjaan: memijat kaki orang dan merendamnya di air panas. Sederhana kan?

Tapi bukan disana intinya. Hal yang paling utama adalah mereka melakukan komunikasi intensif. Pemuda-pemudi yang ramah itu memberikan harapan baru untuk para korban. Setiap pagi mereka berkunjung ke rumah-rumah darurat hanya untuk sekedar berbagi cerita. Ya, tentu sambil mijeti kaki orang-orang yang kebanyakan setengah baya. Ternyata kinerja yang sederhana itu mampu menghapus trauma para korban. Karena sakit secara tampak mata mungkin bisa disembuhkan tuntas. Namun apabila sakit psikis butuh proses yang panjang.

Alam Tak Akan Pernah Membunuh
Dua minggu di kota Kobe, tim GO-ITS diajak berkeliling untuk mengenang kedahsyatan gempa. Satu kalimat yang menurut saya menjadi oleh-oleh tersendiri dari Kobe,”Sampai kapan pun alam tak akan pernah bisa membunuh,”. Ada benarnya juga. Korban tewas biasanya karena tertimpa bangunan, kurangnya fasilitas medis, kurangnya tanggung jawab sosial masyarakatnya atau bahkan mati karena panik mendengar kabar burung tentang tsunami.

Saya bukan orang yang selalu kagum dengan orang pintar di luar sana. Saya masih tetap yakin Indonesia tidak kekurangan orang pintar untuk menangani alam ini. Mungkin contoh Jepang terlalu ketinggian bagi kita, tapi silahkan anda searching bagaimana India menangani Tsunami 2004. Sepertinya kita juga masih harus belajar dari India.
 
Ingat, gempa bumi di Sumatera Barat bukan akhir dari gempa di Indonesia.

Bahtiar Rifai Septiansyah
Mahasiswa Teknik Perkapalan
Disarikan dari banyak sumber 

Berita Terkait