ITS News

Sabtu, 28 September 2024
15 Maret 2005, 12:03

Cahaya, "Kekuatan" Ahli Astronomi

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Bermata sipit, berkulit kuning, dengan kemeja lengan pendek dan dasi garis-garisnya, itulah Dr. Yuji Ikeda. Setelah memperkenalkan dirinya, wakil dari Genesia Corporation, Jepang ini kemudian menjelaskan dengan gamblang perkembangan alat optik terkini. Alat optik yang disebutkannya ini tentulah berhubungan dengan bidang astronomi, bidang yang digeluti perusahaannya. Direktur astronomical optic departement ini juga menyebutkan beberapa instrumen terbaru di bidang spektrometri dan polarimetri yang digunakan untuk mendapat hasil pengamatan terbaik melalui teleskop.

Dalam ringkasan presentasi yang dibagi dalam 3 bab itu, ia menyebutkan bahwa cahaya adalah hal yang paling dibutuhkan oleh ahli astronomi. "Light is the only clue of information for astronomers," tegasnya.

Pernyataan yang disebutkan pemilik rambut hitam lurus ini berulang-ulang tentu mengundang tanda tanya dari beberapa peserta. Fitri misalnya, mahasiswi Teknik Fisika ’03 ini menanyakan perihal keberadaan black hole (lubang hitam). "Jika cahaya dari sebuah lubang hitam tidak pernah keluar dari horizon peristiwanya, lalu bagaimana para ahli astronomi menangkap keberadaannya," ujarnya.

Pertanyaan itu langsung dijawab oleh Dr.Ikeda dengan mengatakan bahwa keberadaan black hole dapat diprediksi karena adanya beberapa peristiwa sebelum dan sesudahnya. Lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa kerja para scientist di bidang astronomi, tidak akan dapat berkembang tanpa bantuan para engineer. Dibutuhkan kerjasama antar keduanya untuk lebih banyak mengungkap "misteri" di alam semesta ini.

Hal ini juga disepakati oleh Dr. Hakim L. Malasan. Ahli astronomi di observatorium Bosscha ini juga mengatakan bahwa pemgembangan jaringan atau networking untuk mendapat hasil pengamatan gabungan, membutuhkan bantuan dari para teknisi. "Dengan networking, pengamatan dari seluruh bagian bumi dalam waktu bersamaan dapat digabungkan," ujar lulusan astronomi ITB tahun 1985 ini. Dengan perkembangan ini pula, ungkapnya, ahli astronomi Indonesia bisa melihat bintang utara yang selama ini hanya bisa dilihat oleh negara di bagian utara bumi, Jepang misalnya.

Adanaya kesulitan dalam penggunaan teleskop berdiameter besar di Indonesia, juga dapat ditolong dengan sistem jaringan ini. Seperti diketahui, bahwa Indonesia cenderung beriklim lembab. Hal ini dapat membuat lensa teleskop mudah kotor dan berjamur. Biaya perawatan pun semakin tinggi.

"Untuk itu, kita hanya menggunakan teleskop kecil dan menengah saja, seperti di Bosscha," ujar alumni Universitas Tokyo ini. Dan dengan adanya pemgembangan sistem jaringan antara teleskop kecil yang dipasang di berbagai tempat, didapati hasil yang sama baik dengan penggunaan sebuah teleskop berukuran besar. Bahkan lebih efektif dan efisien. Dan biaya dapat dikurangi.

Selain membahas perkembangan instrumentasi optik untuk kepentingan astronomi. Kuliah umum ini juga mengulas kemungkinan penerapannya di bidang lain, Biologi misalnya. (ftr/har)

Berita Terkait