ITS News

Selasa, 03 September 2024
22 Oktober 2009, 17:10

NUH…

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Dari 34 putra-putri itu, hanya satu nama yang saya tunggu. NUH. Nampaknya memang tak bertepuk sebelah tangan. Pak Beye menunjukknya sebagai Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas). Istilah pedagang THR, barang rusak uang kembali. Sepertinya kinerja Pak Nuh cukup memuaskan di mata SBY. Ia masih berkualitas jadi tidak perlu dikembalikan.

Tak berlebihan pula memang kalau saya bangga. Ia adalah putra asli ITS. Di mata rakyat Jawa Timur, Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jawa Timur ini adalah seorang panutan. Selain punya komposisi akademis yang mumpuni, ia juga cukup terpandang dalam hierarki masyarakat Jawa Timur yang kental dengan nuansa agamanya.

Gelar DEA di belakang namanya sempat jadi pertanyaan di benak saya. Saya kira nama Rektor ITS periode 2003-2007 ini Muhammad Nuh Dea. Ternyata bukan, tidak seperti nama artis Dea Ananda, Dea Mirela, atau Dea Imut. DEA adalah Diplôme d’Etudes Approfondies atau diploma of advanced study, itu gelar Perancis punya. Ia juga anak dari pendiri Pondok Pesantren Gunung Anyar Surabaya, KH Muchammad Nabhani. Boleh dong kalau sekiranya saya memanggilnya Gus Nuh.

Nuh bukan yang pertama. Jauh sebelum itu, Prof Ir Rahardi Ramelan sudah melanglang buana jadi pejabat pusat. Puncaknya sebagai Memperindag. Tapi kemudian terjun bebas sampai pernah menjabat menjadi Ketua Persatuan Narapidana Indonesia. Mungkin juga Pak Ramelan bisa malang melintang di politik papan atas karena keaktifannya di sebuah partai yang memang sangat berkuasa ketika itu. Ia pun sebenarnya bukan lulusan asli ITS. Tapi bagi saya, apa salahnya untuk menghormati dan bangga pada Pak Ramelan. Toh, ia juga anggota keluarga besar ITS dan sudah banyak berjasa bagi ITS. Salam kagum dari saya Pak!

Iseng-iseng saya me-list almamater para menteri. Beberapa alumni universitas bergengsi yang duduk di KIB II. ITB tetap menjadi penyumbang paling banyak dengan empat orang alumninya seperti Purnomo Yusgiantoro, Hatta Radjasa, Jero Wacik, dan Fadel Muhammad. Sementara UI di urutan kedua diwakili oleh Sri Mulyani, Darwin Zahedy Saleh, dan Endang Rahayu Setyaningsih, Suharna Suryapranata (S1 di UI sedangkan S2 di ITB). UGM, IPB dan Unpad masing-masing menempatkan dua orang alumninya. Seperti Djoko Kirmanto dan Andi Mallarangeng (UGM), Mustafa Abu Bakar (Mantan Ketua Ikatan Alumni IPB) dan Suswono (IPB), terakhir adalah Armida dan MS Hidayat dari Unpad.

Jadi Nuh sendirian di kabinet. Mudah-mudahan ia tidak minder mengibarkan bendera ITS-nya. Ia pun dipilih dari jalur professional, bukan alasan politis. Setidaknya kalau saya jadi Pak Beye, ada beberapa pos yang pas untuknya. Menkominfo, Menristek, Mendiknas, Menag atau Menpora juga masih cocok.

Apa Untungnya Bagi Kita?
Minimal kalau Pak Nuh jadi menteri, arus informasi pendidikan jadi lebih cepat sampai ke ITS. Mungkin pula ada orang-orang ITS yang bisa diproyeksikan untuk lebih mengabdi ke negara. Kalau periode ini satu orang, mungkin periode mendatang ada alumni ITS yang juga bisa mengabdi di Jakarta.

Link ini bukan nepotisme tapi ikatan batin. Orang akan lebih percaya pada orang yang memiliki kedekatan, bukan pada orang lain. Kenapa pula banyak alumni UI,ITB,UGM, IPB atau Unpad yang bisa berkontribusi banyak di pemerintahan. Karena Depok, Bogor, Bandung, dan Jogja lebih “kelihatan” dari Jakarta. Coba cari saja menteri asli Uncen atau Unpatti. Bukan tidak ada orang pintar di sana, hanya kurang beruntung saja jauh dari Ibu Kota.

Bagi para mahasiswa, untungnya adalah ketika mengadakan seminar. Tidak perlu sulit-sulit amat untuk mengundang keynote speaker setingkat menteri. Belum lagi yang sedang cari rekomendasi, beasiswa atau cari biaya buat mendukung aktivitas dan kegiatan akademis mahasiswa. Paling tidak kucuran bantuan dari Depdiknas bisa lebih mudah. Kalau yang hobi demo masalah pendidikan, sekarang juga lebih mudah. Bawa spanduk yang besar terus tunggu saja di bandara Juanda atau langsung ke rumahnya. Tapi itu bukan saran.

Mungkin suatu saat nanti ada dering telepon di kantor Mendiknas,
“Kriiinnggg..,”
“Assalamualaykum, malam Pak, saya Brodin, mahasiswa ITS,”
“Waalaykumsalam Dik, ada perlu apa?” suara lirih membalas
“Pak Nuh, saya mau protes! Kenapa kuliah di ITS sekarang semakin mahal? Gimana nasib mahasiswa yang tidak mampu?” nada Brodin mulai meninggi. Maklum anak muda.
“Maaf Mas, saya Pak Hun asistennya Pak Nuh. Pak Nuh sekarang lagi sibuk,” jawabnya sopan
“Ah, sombong sekali Pak Nuh. Dulu pas jadi dosen saya, beliau gampang ditemui dan ramah pada mahasiswanya,” timpalnya sedikit berargumen.
“Ya ampun Mas, beliau lagi sibuk sekarang, masih nggak percaya?”
“Nggak percaya!”
“Nggak percaya juga?”
“Iya Pak!”
“Pak Nuh lagi di ruangannya. Dari tadi beliau mikirin gimana caranya sekolah di Indonesia dari play group sampai universitas, bisa gratis dan berkualitas,” balasnya dengan nada yang semakin lirih. Dari pagi ia menemani Pak Nuh berkeliling Indonesia. Mencari solusi untuk masalah pendidikan di Indonesia.
Alhamdulillah.
“Ya sudah deh Pak, salam saja dari saya. Bilang saja dari mahasiswa bimbingannya dulu,” tutur Brodin sambil mengelus-elus rambut gondrongnya.
“Lho…Dik Brodin, sekarang masih mahasiswa?”
“Brekkkk..,”. Telepon langsung ditutup.

Tuhan tidak pernah melarang hamba-Nya untuk bermimpi. Saya jadi teringat dosen-dosen saya yang kebanyakan jebolan master atau doktor dari Amerika dan Eropa. Beliau-beliau sering bercerita tentang kehebatan sistem pendidikan dan kemajuan IPTEK di sana. Terkadang dibumbui perbandingan dengan yang ada di Indonesia. Ya, ujung-ujungnya Indonesia yang jadi terdakwa, disuruh evaluasi diri dan disuruh mencontoh mereka (negara-negara maju). Kalau sudah dengar cerita itu, saya cuma bisa menelan ludah. “Yah..di sana itu makannya daging segar. Lah…saya saja masih langganan tempe penyet di Keputih,”. Lho apa hubungannya.

Mimpi saya satu,”Saya nggak perlu jauh-jauh sekolah master atau doktor di luar negeri apalagi luar angkasa. Cukup di tanah air tercinta,”. Mungkin dengan adanya Pak Nuh sebagai Mendiknas, mimpi ini terwujud. Tapi juga jangan mimpi terus nanti basah (Banyak yang Salah). Lima tahun, waktu yang panjang untuk berusaha dan berdoa. Masih pesimis? Jangan harap Indonesia bisa jalan bareng dengan negara sekelas Amerika Serikat. Mudah-mudahan ia bisa membawa pendidikan Indonesia lebih baik seperti Nabi Nuh yang sabar ketika membawa umatnya ke jalan yang benar dan direstui Tuhan walaupun ia juga dicerca banyak orang.

Syair untuk Pak Nuh
NUH: Namamu Ungkapan Harapan pendidikan Indonesia
NUH: Nyawamu Untuk Hidupnya pendidikan Indonesia
NUH: Nasib pendidikan jadi Urusan berat Hatimu
NUH: Nasihatmu dan Usulanmu tentukan Hasil pendidikan ke depan
NUH: Nilai Ulangan Harian (lho)

Bahtiar Rifai Septiansyah
Mahasiswa Teknik Perkapalan

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > NUH…