ITS News

Selasa, 03 September 2024
01 November 2009, 22:11

Sumpeh Lo?

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Buktinya? Sumpah pejabat sudah tidak mempan lagi. Korupsi masih merajalela. Sumpah palapa malah jadi satelit. Sumpah pocong hanya pocong-pocongan. Sumpah mahasiswa hanya teori saja. Kalau sudah tidak menjadi mahasiswa, ya sudah. Dan terakhir, sumpah pemuda.

Aneh! saya baca di berita, Karenina, Sang Miss Indonesia 2009 tidak hafal Sumpah Pemuda ketika ditanya wartawan-wartawan iseng. “Ngapain juga, saya kan Miss Indonesia, bukan Miss Sumpah Pemuda,” itu jawaban saya kalau saya yang jadi Miss Indonesia. Maksud saya, Mas Indonesia. Jangankan Sumpah Pemuda, bahasa Indonesia pun ia terbata-bata. Kelamaan tinggal di Amerika. Masih pantaskah kalau ia kita sebut Miss Indonesia?

Salah satu pertanyaan besar dari sumpah pemuda adalah sejauh mana kita mencintai dan menghayati bahasa persatuan Indonesia. Raja Ali Haji dalam Gurindam Dua Belas-nya berkata,”Jika hendak mengenal orang berbangsa, lihat pada budi dan bahasa,”. Kalau bangsa tak punya bahasa berarti tak punya jati diri.

Indonesia beruntung, walaupun berabad-abad dijajah, bahasa nasional kita bukan bahasa Belanda. Tidak seperti Suriname yang banyak berbahasa belanda, Singapura yang dijajah Inggris kemudian punya bahasa Singapore English (Singlish) atau negara-negara Afrika Utara yang jadi pengguna bahasa Perancis tulen.

Tapi perkembangan berubah. Ambil satu contoh, saya melihat dari institusi pendidikan yang kebanyakan bangga dengan motto berbahasa Inggris atau Latin. ITB punya motto In Harmonia Progressio yang artinya Kemajuan dalam Keselarasan. Sementara Universitas Indonesia punya motto Veritas, Probitas, Iustitia yang artinya Kebenaran, Kejujuran, Keadilan. Moto dua perguruan tinggi terbaik di Indonesia itu memang sekilas terlihat lebih gagah. Saya tidak mengritik institusinya tapi memandang bahasanya.

Sepertinya kita banyak mengikuti tren luar negeri. Oxford University punya motto Dominus Illuminatio Mea atau Tuhan Adalah Cahayaku. Kemuddian Cambridge University dengan Hinc Lucern et Pocula Sacra atau Dari Tempat Ini Kita Memperoleh Pencerahan dan Pengetahuan yang Berharga.

Lalu Harvard University memakai kata Veritas atau kebenaran. Sementara MIT dengan Mens et Manus atau pikiran dan tangan. Tapi sekarang kita lihat universitas terbaik di Spanyol, Barcelona University. Mereka memakai motto Libertas Prefundet Omnia Luce atau kebebasan menyebarkan cahaya bagi setiap orang. Kalau tidak salah itu bahasa asli mereka.

Saya setuju kalau latin dalam hal ini bangsa Yunani dan Romawi yang meletakkan pondasi keilmuan dunia. Tapi sejarah menyatakan bahwa bangsa Eropa yang sekarang menjadi kiblatnya ilmu, pernah mengalami masa kegelapan (Dark of Ages). Di masa itulah keilmuan dari Timur Tengah dan China juga turut mewarnai perjalanan berkembangnya ilmu pengetahuan. Sehingga tidak harus kita selalu berlatin-latin ria untuk menunjukkan sisi akademis kita.

Nah, ITS? Saya bisa sedikit berbangga dengan ITS CAK! (Cerdas, Amanah, Kreatif). Minimal menemani IPB yang punya motto berbahasa Indonesia: Mencari dan Memberi yang Terbaik. Tapi yang saya sayangkan, sampai sekarang saya belum tahu arti dari Vivat!. Inilah kekurangpintaran saya, saya teriak-teriak vivat tapi tidak tahu artinya.

Di tingkat jurusan khususnya organisasi kemahasiswaan, penggunaan motto dengan bahasa asing juga jadi tren. Saya mengenal Uber Alles, Mein Kampf, Together Forever, Victory! Venceremos dan terakhir himpunan jurusan saya: Finno Alla Vescias. Walaupun sudah tua di kampus, sampai sekarang saya belum tahu arti sebenarnya dari motto himpunan saya itu.

Saya pikir, mengapa tidak pakai bahasa Indonesia atau yang lebih ada rasa Indonesia bahkan Suroboyoan seperti rawe-rawe rantas, malang-malang putung. Saya teringat ketika saya menulis berita yang cukup mendapat kritikan tajam karena salah menulis arti dari sebuah motto sebuah himpunan mahasiswa yang katanya berasal dari bahasa Kuba. Saya mengaku salah walaupun ketika saya menulis saya berusaha melakukan kroscek terhadap kata asing. Yah…wajar saya bukan orang Kuba. Saya tahunya cuma kubah masjid. Memang tidak semuanya fanatik terhadap bahasa asing. Salah satunya adalah motto FTSp: Tradisi Juara.

Bagaimana Seharusnya Berbahasa?
1.
Berusaha berbahasa dengan tepat
Bangsa ini terdiri dari banyak suku dan bahasa. Banyak sekali terjadi adaptasi bahasa. Pemimpin kita juga terkadang lupa berbahasa formal. Seperti dulu zaman Pak Karno dan kemudian dilanjutkan oleh Pak Harto dengan sufiks –ken yang terkenal dengan bahasa pejabat itu. “Orde Baru bertekad melanjutken perjuangan bangsa. Dan kemudian daripada itu, tugas kita adalah untuk melaksanaken cita-cita perjuangan kemerdekaan,”. Logat dan struktur bahasa di masing-masing daerah berbeda. Seperti suku Batak dengan huruf “E” yang tegas. Atau warga keturunan yang banyak salah dalam struktur kalimat,”Barang bagus ini, Tanah Abang punya,”.

Bahasa harus ditaruh pada tempat yang tepat, bukan selalu baik dan benar. Misalnya kalau menghentikan mobil Angkot: “Kiri Pak!”. Kata itu sebenarnya salah struktur, tapi tepat makna. Jangan sampai kita memaksakan diri: ”Bapak Supir yang saya hormati, saya minta tolong agar sekiranya engkau dapat menghentikan mobil ini supaya saya bisa mencapai tempat tujuan. Atas kesediaannya saya ucapkan terima kasih,”. Bisa jadi, minta berhenti di Wonokromo, tapi baru turun di Bungurasih.

2. Cintailah bahasa sendiri dengan memakainya di kehidupan sehari-hari
Kadang-kadang kita kurang percaya diri kalau pidato tanpa menyelipkan bahasa asing. Biasanya kalau berbicara intelek, bahasanya jadi keminggris. Tapi saya tahu diri. Kulit saya sawo setengah busuk, muka saya muka orang desa walau besar di kota, hidung saya tidak mancung-mancung amat, rambut saya memang pirang, tapi itu pun gara-gara kebanyakan main layangan. Saya tetap orang Indonesia.

Cinta Laura, boleh lah karena dia punya paras bule. Tapi juga tidak pantas kalau cari makan di Indonesia tapi masih bangga dengan bahasa asing. Jadi ingat kata-katanya Cinta,”Udah ujan becek nggak ada ojek,” sambil mulut sedikit di-monyong-kan untuk memenuhi syarat berlogat native. “Bahasa Indonesia saya buruk sekali, jadi Cinta will be going to Australia to improve Bahasa Indonesia Cinta,” kata Cinta Laura pada kesempatan yang lain. Mbak…ngapain jauh-jauh ke Australia. Cukup ke luar rumah terus cangkrukan di Warkop tiap hari, pasti lama-lama bisa bahasa Indonesia.

Bahkan Budi Utomo saja masih bermasalah atas keabsahannya sebagai tonggak kebangkitan nasional hanya karena AD/ART organisasi ini pakai bahasa Belanda. Bahasa yang dipakai dalam keseharian pun bahasa Belanda. Sampai sekarang, ahli sejarah terpecah karena permasalahan ini.

3.Jangan terbiasa merusak bahasa
Di bawah ini contoh kudeta terhadap bahasa (saya termasuk pelakunya).
Isi sms balasan dari teman saya,“Sory men gue baru bales, hahaha, gocap tambah gocap cepe deh…Eniwei matur tengkyu banget ya bro, salam buat Bonyok, ganbatte!”
Sory : Maaf
Man : Kata sapaan akrab
Gocap : Lima puluh
Cepe : Seratus
Eniwei : anyway
Matur (suwun) : Terima Kasih
Tengkyu : Thank You
Bro : Brother
Bonyok : Bokap-Nyokap (Ayah-Ibu)
Ganbatte : Semangat!

Atau teman saya yang dari Malang pernah bilang kepada saya,”Bah…kamu duluan saja, aku bawa libom kok!,”. (libom: mobil)
“Apa?!?!Bom!” jawab saya setengah bodoh.
Atau teman saya yang fasih berbahasa walikan kera ngalam (arek Malang).
“Eyip e’rabak hebak?” (Piye kabare kabeh: Bagaimana kabarnya semua?)
“Wis nakam?” (Wis makan?: sudah makan?).
“Ayas ewul!” (Saya luwe: saya lapar)
“Oges lecep campur rolet enak pol iki!” (Sego pecel (nasi pecel) campur telor sangat enak)
Saya cuma bisa balas,”Kadit itreng. Osob kiwalan kera ngalam ancen garahi ayas ngingub oy!” (Tidak mengerti. Bahasa kebalik anak Malang memang membuat saya bingung ya!)

Lain lagi cerita temannya teman saya yang katanya memang sudah kelihatan aneh dari kecil. Katanya sekarang ia kerja di Salon.
“Eh Bo kesindang! Kanua lambreta nek! Ya Ampyuun…Akika tadi liat berondong lho. Cucok deh!”. (Eh kesini! Kamu lama deh! Ya Ampun, aku tadi lihat…, cocok deh!.
“Diana kemindang sekarang? Akika sutra tinta sabrina,” jawab temannya satu perguruan, perguruan silat lidah. (Dia kemana sekarang? Aku sudah tidak sabar)
“Kesandro jeng! Yuk yak Yuuuk!” balasnya sambil menunjuk suatu arah. (Kesana, ayo!).

Masya Allah…Bahasa Indonesia semakin rusak saja.
Remy Sylado, jagoan puisi mbeling ini menyindir lewat kumpulan esai berjudul 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia Adalah Asing. Ia mengkritik bahwa para sastrawan juga ternyata turut andil dalam penyerapan bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Pada kesempatan lain, pengarang Ca Bau Kan ini menyindir. Secara tidak langsung, sebenarnya para penggiat bahasa seharusnya bisa menjadi Polisi Bahasa Indonesia. Tapi tidak adil rasanya. Ini tugas kita bersama.

Para ilmuwan juga harus berkutat untuk mencari padanan sebuah kata yang pas sepertinya agak sulit. Karena kebanyakan literatur berasal dari luar negeri. Disinilah ilmuwan harus memiliki kepekaan berbahasa. Karena semakin mudah logika bahasa yang dipakai dalam ilmu tersebut maka semakin mudah pula untuk dipahami.

Saya ini contoh orang yang tidak tahu tata bahasa Indonesia apalagi tata kesopanan dalam berbahasa. Terbukti dari artikel ini. Saya tidak menafikkan yang namanya akulturasi budaya dan bahasa. Itu wajar. Tapi kalau dipakai secara berlebihan dan kesannya malah menganggap bahasa asing atau bahasa gaul atau bahkan bahasa daerah lebih prestise dari bahasa persatuan Indonesia, itu juga salah.

Minimal, jangan sampai bahasa Indonesia “dicuri” negara tetangga. Saya pernah dengar cerita kalau di Filipina dan Thailand sudah banyak lembaga bahasa Indonesia karena sebentar lagi era perdagangan bebas. Bahkan UGM meluncurkan Test of Indonesia as Foreign Language. Bukan tidak mungkin bahasa Indonesia jadi bahasa dunia. Dan kalau bukan kita yang menjaga kemurniannya, siapa lagi?

Inilah hebatnya Indonesia. Sampai sekarang saya masih menyebut verboden (Belanda) untuk rambu lalu lintas yang berarti dilarang melintas di suatu jalan. Saya juga masih beli pangsit (Cina) kalau sudah lapar. Saya pun masih sekolah (Escola-Portugal) di ITS. Dan saya sekarang tinggal di kota Pahlevan (Persia).

Sudahkah kita berbahasa Indonesia dengan tepat?
Sudah!
Sumpeh lo?

Selamat Hari Sumpah Pemuda,
Wassalamualaikum Wr Wb (kalau ini jelas bahasa Arab)

Bahtiar Rifai Septiansyah
Mahasiswa Teknik Perkapalan

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Sumpeh Lo?