ITS News

Selasa, 03 September 2024
07 Januari 2010, 07:01

Kampus Bebas Rokok, Why Not?

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Di sawah petani merokok, di pabrik pekerja merokok, di kantor pegawai merokok, di kabinet menteri merokok, di reses parlemen anggota DPR merokok, di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok, hansip-bintara-perwira nongkrong merokok, di perkebunan pemetik buah kopi merokok, di perahu nelayan penjaring ikan merokok, di pabrik petasan pemilik modalnya merokok, di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok, (Tuhan Sembilan Senti, Taufiq Ismail)

Kutipan puisi yang ditulis Taufiq Ismail di atas tampak menggelitik hati dan seakan menunjukkan kepada kita bahwa rokok benar-benar telah menguasai semua orang. Tidak ada batasan umur, jenis kelamin, latar belakang pendidikan, pekerjaan, atau status sosial. Semuanya menghisap berhala-berhala kecil seperti dianalogikan Taufiq, sembilan senti panjangnya, putih warnanya, dan dibawa kemana-mana dengan setia. Ataukah rokok memang lebih penting daripada makan? Entahlah…

Bagai menegakkan benang basah yang tidak jelas kapan tegaknya, begitulah problematika rokok di kalangan masyarakat. Tidak dipungkiri bahwa pengetahuan tentang bahaya merokok dan kerugian yang ditimbulkannya telah diketahui oleh banyak orang. Sebatang rokok mengandung lebih dari empat ribu zat kimia. Salah satunya amonia, bahan pembersih lantai. Ironisnya, 62 juta jiwa atau 31,4 persen penduduk negeri ini memilih membasahi bibirnya dengan “cairan kain pel” itu saban harinya, sebab mereka adalah perokok.

Kalau target dari industri rokok semakin meningkat signifikan, siapa yang harus disalahkan? Jujur saja, Industri rokok memang pintar mengumbar kata-kata di berbagai media elektronik ataupun media massa. Sebut saja pesan, “Apa Obsesimu?” disertai dengan slogan “Bikin Hidup Lebih Hidup” , “U are U !” (kamu adalah kamu,red), “X-presikan Aksimu!”dan masih banyak lagi yang lain. Pesan-pesan tersebut merupakan pesan-pesan hidup yang juga mencerahkan, bermakna, berguna dan bermanfaat.

Tak pelak semua masyarakat semakin terjerat oleh tipu daya benda kecil yang mematikan ini. Terjerat dan sulit untuk lepas hingga butuh lingkungan yang memiliki andil baik dan usaha yang sangat keras untuk benar-benar 100% lepas.

Mengapa harus merokok?

Pertanyaan tersebut selalu menjadi pertanyaan pertama seseorang kepada perokok. Dan sampa kapanpun para penanya itu akan selalu dibuat bingung oleh perokok dengan alasan mereka yang menjenuhkan. Selalu sama.

“Rokok memiliki kenikmatan tersendiri,” tutur orang pertama.

“Rokok memberi ketenangan. Jadi enak ngilangin stress dengan merokok,” ucap orang kedua.

“Kalau merokok saya bisa berpikir dengan rileks,santai dan penuh perasaan,” tegas orang ketiga yang jujur membuat saya semakin bingung.

“Kalau tidak merokok, saya tidak bisa bicara depan publik,” tambah orang keempat.  Jadi secara tidak langsung orang ini mengangap rokok sebagai benda peningkat percaya diri. Oh, tidak!

Yang saya tahu dari semua alasan tersebut adalah semua berawal dari keisengan. Iseng yang lama-lama mengikat. Disinilah kita diuji untuk memilih. Hidup sehat atau menikmati sensasi rokok sejenak kemudian terkena berbagai macam penyakit. Seperti yang pernah digambarkan pelukis terkenal dunia berkebangsaan Belanda, Vincent van Gogh, dalam lukisannya tentang tengkorak dan rokok.

Fakta lain yang cukup menggugah saya adalah ketika melihat seorang perempuan yang bingung bagaimana membeli beras karena uang yang akan diguanakan digunakan suaminya untuk membeli rokok. Tak jauh-jauh saya melihat fakta itu. Tetangga saya sendiri yang mengalami.

Kampus Bebas Rokok

Saya baru tersadar sebuah hal baru saat belajar di kampus ITS. Sejenak mata saya menangkap spanduk besar yang kira-kira terdapat tulisan ”Dilarang mengedarkan, menjual, membawa rokok..” Saya merasa hal inilah yang saya tunggu sejak menginjakkan kaki di ITS. Jujur saja saya tak suka dan teramat tak suka dengan asap rokok. Sepertinya saya yang terlambat sadar bahwa kampus tercinta ini memang telah bersikap tegas terhadap rokok sejak dulu.

Bahkan, kampus tetangga kita yaitu Universitas Hang Tuah juga turut sosialisasi untuk menjadikan kampus menjadi kawasan bebas rokok. Terbukti sebuah spanduk besar bertengger manis di halaman depan kampus bertuliskan hal serupa.

Sebenarnya, sudah sejak 22 Oktober 2009 Kota Surabaya menerapkan Perda No 5 Tahun 2008 mengenai Kawasan tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok. Jelas pula pemerintah Surabaya menabuh genderang perang untuk benda yang bernama rokok. Hal yang harus ramai digalakkan untuk memperkecil angka kematian yang disebabkan rokok.

Melaksanakan memang tidak semudah mengatakannya. Beberapa kampus di Surabaya memang menunjukkan respon yang sigap terhadap peraturan perda tersebut. Memang kalau dilogika, tidak mungkin sebuah universitas menyediakan semacam “smooking room” bagi mahasiswanya, hal ini akan memberatkan pihak universitas juga mahasiswa sendiri. Karena pasti akan menghabiskan banyak dana dan banyak problematika. Serta keefektifannya yang nanti mungkin dipertanyakan.

Nah, bagaimana sebuah universitas dapat mengimplementasikan perda ke dalam internal kampus. Salah satunya adalah dengan pemasangan banner-banner eperti yang dilakukan kampus ITS tentang pemberitahuan bahaya merokok bagi kesehatan, larangan merokok di tempat-tempat tertentu seperti lorong gedung, sekitar musholla dan ruang kuliah. Selain itu juga, larangan berjualan rokok di dalam kampus juga perlu diperbanyak. Hal-hal di atas kemungkinan akan mengurangi prosentase jumlah mahasiswa yang merokok.Oleh karena itu, ayo kita gaungkan budaya kampus bebas rokok ke segala penjuru.

Para pecinta rokok, aku tak benci padamu, tak menyuruhmu harus menjauhi rokok

Tapi cobalah sedikit saja kurangi mengonsumsi rokok

Lalu jadikan ITS sebagai kampus bebas rokok.

Eka Setyowati

Mahasiswa Teknik Kimia angkatan 2009

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Kampus Bebas Rokok, Why Not?