ITS News

Selasa, 03 September 2024
11 Maret 2010, 12:03

Monarki Indonesia

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Ada di antara mereka yang merasa sistem sekarang yang ada tidak bisa memenuhi apa yang selayaknya dimiliki oleh seorang manusia. Mereka adalah generasi yang secara tidak langsung menyaksikan dengan kacamatanya sendiri tentang negeri seberang dan membandingkannya dengan negeri tempat kaki mereka berpijak. Apa yang sering mereka dengar di negeri lain mereka jadikan acuan dalam melihat negeri ini. Ada kemiripan pola, sistem, dan lain sebagainya. Tapi, mereka tidak menemukan keberhasilan yang dipunyai negeri lain dengan kesamaan pola yang ada.

Katakanlah model republik negara ini. Mereka membandingkan mengapa negeri yang dipimpin oleh raja lebih maju katakanlah dalam bidang ekonomi. Padahal mereka tahu bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Bentuk republik pastilah memiliki kelebihannya tersendiri hingga dia harus dipertahankan mati-matian. Kalau benar demikian mengapa bangsa ini juga tidak maju dengan republik?

Demikianlah pertanyaan-pertanyaan dasar di kepala generasi muda “kritis”. Tapi, sebelum kita terlalu jauh melangkah, ada baiknya kita lihat sejarah masa lalu yang mendasari bapak bangsa ini memilih model republik bagi negara ini.

Jika kita mengingat kembali masa sekolah dulu,  mata pelajaran sejarah merupakan mata pelajaran wajib bagi siswa. Awal masuk kita langsung dihadapkan pada pengertian sejarah. Lalu kita akan memasuki materi mengenai manusia purba. Tidak ada data tertulis mengenai manusia purba. Semua hanya dalam bentuk artefak yang bertebaran di setiap daerah di Indonesia.

Kemudian kita beralih pada zaman “sejarah” yang didefinisikan sebagai zaman ketika kita suatu bangsa sudah mengenal tulisan. Maka muncullah cerita kerajaan-kerajaan yang pernah berdiri di negeri ini. Kerajaan yang  berdiri itu sangat dipengaruhi oleh budaya “impor” sebagai akibat penyebaran agama. Tentu kita tidak percaya bahwa sebelum agama luar masuk ke Indonesia tidak ada sebuah tatanan kehidupan masyarakat seperti halnya kerajaan. Tapi, moyang kita belum mengenal tulisan yang membuat sejarah tidak mencatatnya.

Oleh karenanya, kita mengenal bangsa kita dalam bentuk monarki (kerajaan, kesultanan, dll) itu tadi. Kutai dan Tarumanegara menunjukkan bahwa negeri yang sekarang menjadi Indonesia ini punya tatanan pemerintahan. Tapi, kita tahu kemudian kerajaan itu timbul tenggelam. Muncul suatu kerajaan yang punya zaman keemasan, tapi toh hancur juga diganti dengan kerajaan baru. Sriwijaya yang pernah besar dikalahkan Singosari. Lalu Singosari digantikan Majapahit.  Hingga datang pengaruh Islam dengan model kesultanannya. Demikian seterusnya.

Sampai kemudian bangsa barat mampir ke nusantara yang kaya rempah ini. Mereka mampir dari satu pelabuhan ke pelabuhan yang lain. Tapi tidak ada kekuasaan tunggal. Dari Aceh hingga Ternate, mereka mendapati kerajaan/kesultanan yang berbeda. Didorong oleh semangat 3G ( gold, gospel, glory) mereka pun menghalalkan cara agar menguasai negeri-negeri itu. Mereka menaklukkannya dengan mudah. Sangat gambang mengadudomba untuk selanjutnya menempatkan para raja itu dalam kendali mereka lewat perjanjian yang dilakukan dalam tekanan.

Satu-persatu kerajaan atau kesultanan yang berdiri di nusantara jatuh dalam genggaman penjajah. Aceh yang merupakan benteng terkuat terakhir salah satu monarki Indonesia akhirnya takluk pula. Mungkin tidak terpikir 300 tahun sebelumnya  oleh penjajah itu bahwa mereka kini telah menguasai wilayah yang lebarnya sama dengan jarak London sampai St. Petersburg. Namun itulah yang terjadi. Selama itu pemberontakan muncul, tapi berujung pada kegagalan belaka.

Akhirnya tampillah segelintir orang yang mengecap pendidikan barat. Umur mereka masih muda dan memiliki semangat membara. Mereka merasakan ketidakadilan akibat penjajahan asing selama 3 abad. Mereka ingin membebaskan negerinya dari belengu para penjajah. Kesadaran itu muncul tidak lagi dalam lingkup kedaerahan. Tidak ada dalam benak mereka yang berasal dari Jawa untuk mengembalikan kekuasaan Majapahit, Mataram, Demak, atau Cirebon. Pemuda Sumatera juga tidak larut dalam nostalgia Sriwijaya. Sulawesi, Bali tidak mau ketinggalan.

Maka kemudian kita saksikan seorang pemuda dari Sumatera Barat yang sangat memiliki intelektualitas tinggi  bernama Tan Malaka. Dia sudah menerawang ke depan bahwa negeri yang pada zamannya dikuasai oleh bangsa asing itu harus merdeka dalam bentuk republic,  “Naar de Republiek Indonesia”  .Betul dia seorang Marxis yang anti feodalisme yang lazim pada sistem monarki. Dan beberapa negara komunis umumnya bertransformasi menuju republik yang lebih egaliter setelah “revolusi” ala kaum marxis. Tapi, Tan  hanya menggunakan Marxisme sebagai cara perjuangan untuk membebaskan negerinya. Dia pertama-tama adalah seorang nasionalis. Kaum proletar dalam terminologi marxisme oleh Tan diterjemahkan sebagai kaum dari bangsa tertindas untuk melawan “feodalisme” Belanda.

Soekarno, pemuda yang dikaruniai telenta pemimpin. Dia membaca buku Filsuf Negara John Locke dan Montesque yang menginspirasi bapak Bangsa Amerika. Dia juga pengagum Abraham Lincoln. Baginya, Negara Amerika yang Republik adalah bentuk yang cocok untuk bangsa ini. Walau dia juga dipengaruhi oleh Marxisme, Soekarno lebih melihat Republik model negara  Amerika ketimbang Sovyet.

Ada juga M. Natsir menggagas Republik dengan Islam sebagai azas. Selain mereka bapak bangsa lainnya juga adalah ‘republiken’. Maka akhirnya bangsa ini menjatuhkan pilihan model republik yang dipimpin oleh presiden. Dalam perjalanannya, mahal harga yang harus dibayar bagi kelangsungan republik. Ribuan orang rela mati hanya demi tetap terpeliharanya “warisan” kemerdekaan itu. Bahkan hingga sekarang.
Kembali pada pokok persoalan sebagimana di awal tulisan. Ada segelintir anak muda yang mempertanyakan model republik. Pola pikir mereka umumnya dialektis. Jika sistem ini tidak bagus, maka antitesisnya patut dicoba. Anak muda ini dihinggapi nostalgia monarki yang pernah hadir di bumi nusantara dulu dan membawa kejayaan. Semua kemewahan yang ada padanya, raja, ratu, raden, dan semua keanggunan lainnya. Mereka tidak sadar bila dibalik itu semua, manusia tidak berada dalam kesetaraan.  Kalau bisa-menurut mereka- kita ulangi lagi zaman keemasan itu.

Tapi, untuk mengubah itu semua-katakanlah kita asumsikan republik gagal total-berapa harga yang harus dibayar oleh bangsa ini? Sekedar peralihan dari Parlementer ke Presidensial dalam model republik saja harus dibayar dengan 40 tahun kediktatoran. Apalagi dengan menggantinya menjadi monarki? Persoalan mucul kemudian misalnya apakah raja itu dinasti atau model yang dipertuan agung seperti Malaysia? Kalau dinasti apakah bisa diterima oleh seluruh rakyat yang plural? Dan lain sebagainya.

Apa yang telah dilakukan oleh bapak bangsa kita dulu merupakan hasil pergumulan yang tentunya terbaik bagi bangsa ini. Kalau toh masih ada yang kurang, itu tidak lebih hanya karena bangsa ini masih dalam proses belajar. Semoga kita menjadi bangsa pembelajar yang baik!

Samdisara Saragih
Mahasiswa Jurusan Teknik Fisika

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Monarki Indonesia