ITS News

Selasa, 03 September 2024
16 April 2010, 05:04

Mau Dibawa Kemana Pemerintah Kita?

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

“Masih ada kasus yang lebih besar yang dimakelari pejabat tinggi Indonesia, nilainya malah sampai milyaran rupiah,” tutur pria berseragam polisi di depan anggota dewan legislatif. “Sebut saja dia berinisial Mr X,” tambah pria yang sudah lebih dari paruh baya tersebut.

Video rekaman salah satu petinggi Polri menghadap Komisi III DPR itu sudah diputar berulang-ulang. Bahkan saya yakin, setiap orang sudah hafal dengan perdebatan antar pejabat tinggi tersebut. Pria gemuk itu selaksana jadi seorang pahlawan yang berhasil menemukan harta karun dalam sebuah ruang gelap terselubung.

Sesaat acara televisi tersebut membuat saya tercenung. Sebegini bobrokkah pemerintahan negara Indonesia? Mekelar kasus yang kian marak dan dibuka satu per satu membuat rakyat indonesia semakin menunjukkan keterpurukannya.

Kabareskrim Susno Duaji, yang menjadi tokoh pembawa kartu As dalam meja pertaruhan nama baik kepolisian ini seperti mengatur tempo dan ritme pergerakan. Kapan ia harus bicara dan kapan harus diam. Pemirsa tayangan tersebut yang kebanyakan hanya rakyat yang awam serasa diberi tontonan yang sangat wah dan mencengangkan.

Saya teringat sebuah celetukan seorang teman saya di kampung halaman, Mojokerto yang  mengomentari kasus ini,
“Wah, Indonesia saiki tambah sip ae yo? Beritane seru,” begitu ujarnya polos.
Saya mendengarnya miris. Ingin saya menjawab, “Ini bukan seperti sinetron yang bisa dinikmati, ini negaramu,”. Begitu juga para sesepuh desa yang sedang bicara ngalor-ngidul sambil ngopi di depan teras. Mereka justru terhibur dengan kasus yang ditebarkan para pejabat.

Aksi Mahasiswa
Baru-baru ini di ITS juga marak mengadakan suatu forum yang membahas tentang politik dan pemerintahan Indonesia. Baik formal maupun non formal. Seperti BEM ITS. Dan Susno Duaji masuk dalam deretan yang layak diperbincangkan sebagai isu terkini.

Suatu drama teatrilkal yang tak kunjung usai. Gali lobang tutup lobang, itu kata Roma Irama. Tapi rentetan peristiwa di jagad politik Indonesia malah seperti hangat-hangat tahi ayam. Satu permasalahan diangkat, digembar-gemborkan, sampai masyarakat ikut dalam alur emosi. Kemudian alur masalah akan berjalan antiklimaks. Mati tak terdengar kabar juntrungan-nya.

Century yang beberapa bulan lalu gempar dan membuat banyak orang tercengang, kaget dan hampa hati. Kemudian meredup tertutupi kasus yang lain. Beralih pada kasus Gayus Tambunan. Begitu selanjutnya sampai pemegang kartu As ini memberikan suapan nama baru bertajuk Mr X. Maka polisi akan membentuk tim dan Mr X  menjadi sorotan utama. Dan kasus Gayus akan meredup, dan entah kemana akan berujung.

BEM ITS dalam hal ini, mempunyai Departemen Kebijakan Publik, biasa menanggapi permasalahan yang ada di permukaan lewat forum diskusi. Setelah diskusi, jika dianggap perlu akan melakukan aksi demonstrasi.

Aksi dianggap sebagai bentuk sarana yang sangat real dalam menyuarakan aspirasi. Apalagi sebagai mahasiswa yang menyimpan pemikiran kritis dan idealis, aksi atau yang akrab disebut demo menjadi bentuk penyuaraan paling berkelas.

Seperti saat Bank Century beberapa waktu lalu. BEM ITS mengadakan aksi di Bambu Runcing. Sama sekali tidak ada tindakan anarkis di sana. Tapi, yang saya renungkan, apa dengan demo, suara kita, mahasiswa, akan pasti didengar? Justru yang ada di-cuek-in dan malah dibuyarkan oleh yang pihak yang berwajib. Kalau sudah begitu, akan lebih bijaknya jika mencari jalan lain dalam menyuarakan pendapat agar lebih didengar dan direspon.

Dialog interaktif bersama salah satu tokoh terkait bukan pilihan yang buruk menjadi sarana acuan menunjukkan bentuk partisipasi di dunia politik. Jangan sampai aksi demonstrasi hanya dipakai sebagai sarana menunjukkan eksistensi, apalagi arogansi.

Seperti materi dalam  kegiatan Social Responsibility Training (SOROT) yang digelar BEM ITS, Minggu lalu. Di dalamnya, kami, peserta mahasiswa baru angkatan 2009 benar-benar disadarkan tentang peran dan fungsi mahasiswa. Bahwa perubahan ada pada pundak mahasiswa.

Kami diingatkan pada saat mahasiswa menggulingkan pemerintahan Soeharto. “Siapa yang melakukan kudeta?,” teriak Bapak Daniel Rosyid, yang saat itu menjadi pemateri. “Mahasiswa!,” jawabnya lantang kembali.

Bukan berarti kita sekarang harus menggulingkaan pemerintahan Bapak SBY tercinta, tapi selayaknya sebagi seorang mahasiswa melakukan setidaknya koreksi terhadap kerja pemerintah. Seperti dalam peran kita, social control. Dan untuk tingkat yang lebih tinggi agent of change. Dalam hal ini berarti tidak hanya mengkritisi pemerintah, tapi juga melakukan tindakan yang membuat Indonesia ke arah yang lebih baik.

Orylion fz
Mahasiswa Fisika 2009

Berita Terkait