ITS News

Selasa, 03 September 2024
15 Juni 2010, 09:06

Kapal Majapahit untuk Ulang Tahun ITS

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Kertanegara sukses menghina Kubilai Khan, cucu penakluk masyhur Jengish Khan. Seperti kabar dari Cina zaman dinasti Yuan, seribu armada kapal perang besar pun dikerahkan dan segera mendarat di Tuban. Sampai di Jawa, tentara Mongol kecele. Lawannya ternyata bukan Raja Singosari yang dulu mempermalukan mereka, melainkan Jayakatwang, pemberontak yang tadinya Raja Kediri.   

Raden Wijaya, satu-satunya pewaris Singosari yang selamat akhirnya berkongsi dengan tentara Mongol. Karena sudah terlanjur habis di ongkos, tentara Mongol menerima tawaran Raden Wijaya untuk menghabisi Jayakatwang. “Yah, daripada nggak dapat apa-apa,”. Tak perlu banyak meng-cut adegan saling pukul, pasukan Mongol yang memang unggul di atas kertas, melibas habis pasukan infanteri Jayakatwang, tanpa balas.   

Tiba saatnya berpesta. Semua berkumpul menikmati legen alias tuak Tuban. Mereka tak paham pesan Bang Haji Rhoma,“Apapun namamu, dia memabukkan kawan”. Raden Wijaya yang hanya pesan teh hangat, menunggu mereka tak sadarkan diri sambil mendengar mereka berceloteh tentang kepahlawanan Jengish Khan. Tentu berbeda jauh dengan kepahlawanan Shahrukh Khan di film Asoka atau aksi heroik Oliver Kahn di bawah mistar gawang Jerman.

“Crott…” muncrat darah. Malam itu, ribuan tentara tewas seketika. Hanya sedikit yang akhirnya kembali ke Cina. Beruntung angin muson segera menyapu layar mereka dengan cepat. Sang Jenderal, Shih Phi, dihukum Kubilai Khan sesampainya di Cina. Khan malu untuk kedua kalinya. Majapahit pun berdiri tegak.    
 
Kejadian mirip dan hampir bersamaan juga terjadi di Jepang. Pada abad 13, invasi Mongol juga gagal. Bedanya, Singosari masih berbaik hati. Meng Chi-nama delegasi Kubilai Khan-masih dikembalikan ke Cina walau dalam keadaan cacat. Di Jepang, tiap utusan Mongol yang datang, tak pernah kembali lagi ke negaranya.

Lain hal, Jawa hanya sekali diserang Mongol dan tak pernah berani kembali. Tapi Jepang harus berkali-kali diserang, sampai Kubilai Khan bosan karena tak kunjung menang. Ia dikalahkan bukan karena tentara samurai, tapi alam yang berbicara. Kamikaze atau angin topan super dahsyat membunuh seluruh serdadu Mongol.

Alhasil, tinggal dua negara besar di Asia Timur Raya (istilah Jepang saat Perang Dunia II untuk wilayah Asia yang berbatasan dengan Pasifik) yang tak pernah bisa dijajah klan Khan. Mereka berdiri sebagai dinasti besar di luar dinasti Mongol. Majapahit dengan proyek penyatuan nusantaranya, Jepang juga berkutat pada hal yang sama. Mereka mengirim duta-duta dagang dan persahabatan ke negara lain, membuktikan kedua bangsa itu adalah bangsa besar.

Seluas apapun jarak, akan mampu ditempuh. Kapal-kapal bercadik khas kapal dagang masa lampau yang terekam di lembaran catatan sejarah, telah jauh menjangkau tempat-tempat di Asia. Majapahit, saat itu negara adidaya laut jauh sebelum para admiral Inggris berkoar,”Britannia rules the wave!”. Dan dua negara itu kini bernostalgia. Kebetulan saya menjadi saksi mereka bereuni.

Pantai Slopeng
Jauh perjalanan menuju pucuk timur pulau Madura memang melelahkan. Ditemani suara gemuruh ombak menyisir pasir halus di sepanjang pantai utara Madura, penat itu hilang disambar semilir angin khas pantai. Kedatangan saya bukan untuk berlibur setelah UAS yang cukup membosankan. Tapi untuk melihat kapal kayu di tempat wisata terkenal, Pantai Slopeng.

Tepat di tepi pantai, beberapa pengrajin kapal asal Madura mencoba kembali memutar masa lalu. Kapal dengan panjang 20 meter, lebar 4 meter, tinggi 2,75 meter, dan tinggi garis air 0,8 meter, digadang-gadang menjadi titisan kapal Majapahit yang masyhur itu. Dua tiang layar menjulang dan cadik melebar seperti sayap. Sedikit ornamen khas Majapahit yang terukir di haluan dan buritan kapal seakan menambah lengkap keanggunannya. Termasuk lambang matahari, simbol kebanggaan kerajaan.

Suara kayu bertalu dipukul palu memang sudah tak lagi terdengar. Pengrajin sedang memoles lambung kapal dan memampatkan lambung kapal untuk mencegah kebocoran. Tiga hari lagi kapal itu launching setelah proses pembuatan selama 6 bulan. Di sana, saya berbincang lama dengan beberapa anggota Japan Majapahit Association (JMA), komunitas pecinta nilai sejarah Majapahit asal Jepang. 

Konon, dulu kala para pedagang dari Kerajaan Ryuukyu Okinawa (Jepang) sering berkunjung ke Majapahit. Namun tak satu pun ekspedisi perdagangan berbalas ke kepulauan yang baru-baru ini mampu menggulingkan Perdana Menteri Hatoyama itu. Kabarnya, hubungan ini selalu diingat-ingat rakyat Jepang khususnya Okinawa sebagai hubungan persaudaraan erat. Bahkan secara kebetulan, perawakan orang Okinawa lebih mirip bangsa melayu hanya saja bermata sipit.

Setelah penelitian panjang, akhirnya desain kapal Majapahit disandarkan pada deskripsi catatan sejarah yang ditulis Antonio Galvao pada abad 16 dan relief di Candi Borobudur. Disimpulkan bahwa pembuatan kapal Majapahit menggunakan teknologi pasak, lambung berbentuk V (double ended) yang membuncit di bagian tengah, memakai dua kemudi di samping kanan dan kiri, dan ciri khas utama yaitu cadik ke arah luar dari kedua sisi lambung sebagai penyeimbang. Madura dipilih karena dulu masih wilayah kekuasaan Majapahit dan salah satu daerah dengan kapal tradisional yang masih asli.

Kedekatan historis ini diharapkan bisa memenuhi mimpi untuk mengulang ekspedisi Majapahit ke beberapa negara Asia. “Dulu orang Okinawa sering ke Majapahit, tapi orang Majapahit tak pernah ke sana. Anggap saja sekarang waktunya orang Majapahit ke sana,” celoteh Yoshiyuki Yamamoto, perwakilan JMA. Bersama 15 crew, ekspedisi ini akan berlayar mengarungi rute Jakarta-Brunei-Manila-Jepang (ada banyak kota yang dikunjungi)-Shanghai-Hong Kong-Ho Chi Minh-Pnom Penh-Singapura-Jakarta. Presiden SBY secara resmi akan melepas kapal ini.
 
Hadiah Ulang Tahun
Mungkin tak banyak yang tahu dan mungkin juga kesalahan saya tak mengabarkan di website ini jauh-jauh hari. Di balik kemegahan proyek “Spirit of Majapahit” itu ada sosok alumni ITS yang berjasa dalam proses mendesain ulang kapal Majapahit yang tak bersisa lagi bekasnya. Bahkan sepertinya lebih banyak yang tidak tahu kalau kapal ini menjadi hadiah spesial dari IKA ITS (khususnya wilayah Jakarta Raya) untuk ulang tahun emas ITS. Ekspedisi Asia Timur Raya rencananya pula akan mengabarkan ulang tahun ITS ini ke banyak negara.

Muhammad Habibie dari Departemen Kreatif IKA Jakarta raya cukup konsisten di jalur sub-mainstream ini. Kenapa sub-mainstream? Maklum, kapal kayu tradisional tidak lagi mendapat tempat spesial di jurusan perkapalan. Saya menyadari, dari sisi komersial, keberadaan kapal kayu hampir nihil. Kapal baja jauh lebih menarik di pasaran dan lebih konkret menyulam lautan nusantara. Tapi dari sisi sosial, kalau ini hilang dan tak ada lagi sarjana kapal (kayu) yang peduli, cucu-cucu kita nanti akan gegar sejarah. Hanya tersisa nyanyian,”Nenek moyangku seorang pelaut,”.  

Habibi juga sepertinya tak kesulitan mendesain ulang kapal ini. Dengan sedikit berkhayal, bekas crew ekspedisi Kapal Borobudur ke Afrika tahun 2003 lalu yang juga tergolong dedengkot UKM ITS Maritime Challenge ini menumpahkan idenya. Melalui studi yang cukup rumit mengenai kapal tradisional, Kapal Majapahit akhirnya dibangun dengan sokongan kuat dari pemerintah melalui Dirjen Sejarah dan Purbakala Depdiknas.

“Kalau mereka (orang Jepang) peduli, kenapa kita tidak?” Habibi berargumen. Ah, kata-kata itu menggorok nurani saya. Kenapa pula ada organisasi bernama Japan Majapahit Association (JMA) yang berkantor pusat di Tokyo. “Kami sudah habis 10 juta Yen untuk membangun JMA ini,” aku Yamamoto. Seumur-umur saya tak pernah dengar komunitas peduli majapahit di Indonesia. Bahkan, Mr. Takajo, salah satu donatur JMA, mengaku sudah mencintai kisah tentang kebesaran Majapahit sejak 20 tahun lalu. 

Rasanya di ulang tahun emas ITS, kita tak bisa lupa naluri kebaharian ITS yang terlanjur tersemat ini. Mumpung, ada angka cantik di momen dies tahun ini, 50. Dengar-dengar, Dies tahun ini juga akan dirayakan jor-joran. Yah..saya hanya bisa urun rembuk. Sedikit saja apresiasi untuk kebaharian pada perayaan dies. Syukur-syukur kalau ditanggapi. Tapi kalau tidak, ya tidak mengapa. Pokoknya, saya tidak ingin jadi bagian orang-orang yang diteriaki,“Di laut kita jaya, di darat (ternyata) kita buaya!”.

Jalasveva Jayamahe!

Bahtiar Rifai Septiansyah
Mahasiswa Teknik Perkapalan
“Kita tidak ingin beromantisme dengan masa lalu. Tapi kita ingin bernostalgia dengan masa depan,” kata Pramoedya Ananta Toer

 

Berita Terkait