ITS News

Selasa, 03 September 2024
29 Juli 2010, 10:07

ITS, Kampus Spesialis Turnamen

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Apa gerangan yang mengaitkan Jerman dan judul tulisan di atas? Sepertinya memang tidak ada relevansi antara tim sepak bola dan sebuah kampus teknologi. Tapi, akhir-akhir ini julukan yang melekat ke tim panser sepertinya juga cocok dilekatkan pada kampus ITS. Apa pasal? Tak lain dan tak bukan adalah bertubi-tubinya gelar juara yang didapat oleh para mahasiswa maupun dosen di setiap gelaran kompetisi tingkat nasional maupun internasional. Gelar-gelar itu baik berkaitan langsung dengan kompetensi ITS sebagai kampus teknik dan sains, maupun tidak.

ITS sudah pernah memenangi kontes jembatan tingkat nasional. Begitu juga lomba Pimnas yang meski tidak sampai juara umum – setidaknya karena spesifikasi sebagai kampus teknik – posisi 5 besar dirasa sudah cukup membanggakan. Kontes robot semisal KRI hanyalah sekedar simulasi dan pemanasan robot-robot PENS sebelum bertarung ke tingkat internasional, Abu Robocon. KRCI yang diadakan bersamaan dengan KRI juga tidak pernah lepas dari genggaman. Kontes Roket Indonesia (Korindo) menjadi even yang semakin menunjukkan keteknologian kampus Sepuluh Nopember ini. Terakhir kita menyaksikan teman-teman dari Teknik Mesin menjadi juara lomba hemat bahan bakar tingkat Asia yang cukup bergengsi. Banyak lagi prestasi lain yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.

Semua kontes-kontes rutin yang diadakan Dikti dan lainnya itu turut membuat nama ITS berkibar dan semakin terkenal. Memang tidak semua mendapat liputan media sehingga nama ITS masih sulit didengar gaungnya dari Sabang hinggga Merauke. Keuntungan paling langsung mungkin hanya berupa kekaguman para peserta pihak lawan yang juga berasal dari kampus-kampus mapan sehingga menambah keseganan mereka terhadap kemampuan para mahasiswa ITS.

Meski begitu, apakah gelar-gelar itu sudah cukup membuat ITS sebagai kampus pilihan nomor satu para lulusan SMA? Tidak! Hasil SNMPTN 2010 (dari okezone.com) memperlihatkan kepada kita bahwa kampus ini masih berada di bawah the big three: ITB, UI, dan UGM. Nama ketiga PT BHMN tersebut masih menjadi acuan para lulusan SMA terbaik se-Indonesia di bidang IPA. Mungkin acuan SNMPTN  terlalu tergesa-gesa. Tapi, melihat tradisi selama ini memang ketiga kampus tersebut dalam beberapa hal masih di atas ITS.

Sekarang yang harus menjadi pertanyaan bagi segenap civitas academika ITS adalah, apakah gelar-gelar juara di berbagai kontes itu memang diperlukan sebagai aktualisasi keteknologian ITS kepada bangsa dan negara kita? Saya rasa inilah yang lebih pokok. Bagaimana hasil yang diterima masyarakat atas berbagai produk yang dihasilkan? Sudah cukupkah semua itu sebagai standar riset yang kelak bisa dikembangkan lebih jauh? Entah kenapa, saya merasa jawaban dari semua pertanyaan di atas hampir semuanya  tidak. Semoga jawaban tersebut memang semata-mata karena keterbatasan info yang saya miliki.

Saya takjub ketika membaca surat kabar beberapa hari yang lalu. Disebutkan bahwa UGM mengadakan pameran riset yang nilainya mencapai 60 miliar rupiah. Tentu dana yang diperoleh adalah sebagian  dari hibah. Bagaimana mereka bisa mendapatkan hibah sebesar itu? Jawabannya paling tidak salah satunya adalah karena nama UGM sebagai jaminan mutu dan tentu karena kultur akademik mahasiswa dan lulusannya. UGM memang sudah lebih dahulu terbang tinggi dengan menjadi BHMN dan sekarang berancang-ancang sebagai universitas riset. Bagi yang skpetis, orang bakal mengatakan, “ Itu karena UGM berdiri lebih dahulu sehingga bisa begitu!” Ada benarnya. UGM adalah kampus yang secara de jure menjadi universitas paling tua di negeri ini. Sudah banyak lulusannya dan kuat pula jejaring alumninya.

Tapi bukan itu yang paling utama. Kita bisa mengalahkan UGM dan lain-lain jika kultur akademik (bukan dilihat dari IP) dan penelitian  kita bagaikan orang yang “tak makan kalau bukan nasi”. Artinya jika segenap mahasiswa dan dosen dalam kehidupan sehari-harinya memikirkan dan terjun dalam bidang ilmiah untuk mengejawantahkan siapa dirinya. Seorang mahasiswa sosialis melakukan untuk umat manusia semata-mata. Mahasiswa yang kapitalistik (meski cenderung dibenci) dilandasi demi memperoleh keuntungan pribadinya. Bagi yang agamis, sebagai perwujudan iman kepada Tuhan dan pembuktian atas eksistensi-Nya. Tapi yang lebih utama adalah kita melakukan hanya demi bangsa Indonesia yang masih terperosok di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.  

Jika kita adakan survei, timnas manakah yang lebih disukai, Jerman atau Argentina? Jawaban orang -orang di luar negara itu paling banyak adalah Argentina. Mengapa? Karena Argentina menghasilkan pemain-pemain dengan skill indah dan enak ditonton. Meski gelar juara Argentina lebih sedikit, mereka mengeluarkan orang-orang semisal Mario Kempes, Diego Maradona, Gabriel Batistuta, Juan Riquelme, dan Lionel Messi yang memikat. Bandingkan dengan Franz Beckenbauer, Lothar Matheus, Juergen Klinsman, Oliver Bierhoff yang meski berprestasi tapi dinilai bermain seperti mesin diesel. Apa yang membuat kedua negara berbeda? Kultur! Di Argentina sepak bola dimainkan oleh semua khususnya di  wilayah kumuh yang  menghasilkan tipikal pemain leluasa dan kreatif. Bandingkan dengan Jerman yang pemainnya sangat disiplin, khas binaan kelompok elit sepak bola.

Meski terkesan memaksa, begitulah perbandingan ITS dengan kampus the big three. Prestasi di kontes yang bergengsi mungkin ITS jagonya. Tapi, soal tradisi, kultur ilmiah, citra, kita bagaikan Jerman yang permainannya kurang menarik. Barangkali kampus-kampus tersebut tidak mempersiapkan diri ketika mengikuti pentas dan menyediakan dana yang cukup besar. Namun ITS, entah demi nama besar kabarnya mempersiapkan semua dengan sedetail mungkin. Tujuannya, Juara!

Timnas Jerman memang disiapkkan untuk menjadi juara turnamen. Entah itu bisa menaikkan moril generasi mudanya untuk bermain sepakbola itu soal lain. ITS bukanlah timnas. Kampus yang didirikan oleh almarhum Angka Nitisastro dan rekan-rekannya adalah mempersiapkan insinyur dengan semangat 10 Nopember. Semangat 10 Nopember itu adalah keikhlasan berkorban bagi negara. Kita bisa saja menyisipi “mengharumkan nama bangsa” di setiap kemenangan yang diperoleh dari berbagai kompetensi.  Tapi sudahkah kita ikhlas jika kemenangan itu diwarnai “kesombongan” yang tak perlu semisal SBY seharusnya menyesal keluar dari ITS hanya gara-gara sebuah gelar juara? Kita yang punya akal sehat barangkali bisa mengira bahwa nama harum bangsa hanya sekedar tempelan. Motivasi utamanya tentu nama diri, jurusan, kampus, daerah, dll.

Apresiasi tak terkira kita sampaikan pada mereka yang juara itu. Tapi, saya masih lebih berharap budaya ilmiah setiap mahasiswa yang melekat di dalamnya kejujuran, ketekunan, rela berbagi, optimisme, dll. Dengan itu semua, saya pikir prestasi selama kuliah yang empat tahun (atau lebih)  itu bukan yang paling penting tapi sesudahnya manakala para alumni membawa karakter itu dalam bidang di mana ia berkecimpung kelak. Tentu berharap semua perguruan tinggi melakukan yang sama. Andaipun kampus Sepuluh Nopember tercinta yang menjadi pemimpinnya, why not?
 

 *Ditulis oleh mahasiswa yang belum melakukan “apa-apa”.

 

Oleh: Samdysara Saragih
Mahasiswa Teknik Fisika ITS angkatan 2007
 

Berita Terkait