ITS News

Selasa, 03 September 2024
05 Agustus 2010, 21:08

Sudah Kokohkah Jembatan Kita?

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Namanya institusi pendidikan kita ini, ITS. Sudah pernah dengar tentang jembatan ini?

Untuk sedikit introduksi, saya kutip sedikit di sini, dari "Kita Tidak Harus Menjadi Soe-Hok Gie", opini karya Ni Luh Putu Satyaning Pradnya Paramita beberapa bulan lalu:

Ya, jika boleh saya melebih-lebihkan, mahasiswa (baca : kita) bukan manusia biasa. Saya ingat perkataan seorang pembicara pada acara School of ITS Leader (diberitahu oleh seorang teman saya yang berpatisipasi sebagai peserta) bahwa ada tiga lapisan penduduk Indonesia, yaitu rakyat, mahasiswa, dan pemerintah. Lapisan itu sebenarnya sudah menjelaskan satu hal, bahwa mahasiswa seharusnya bisa menjadi jembatan antara masyarakat dan pemerintah. Mahasiswa-lah yang bertugas memperjuangkan kepentingan rakyat di hadapan wajah-wajah petinggi negara kita.

Ya, saya sedang bicara mengenai jembatan yang dibentuk oleh semua masyarakat ITS. Namun dari kutipan itu, saya harus menambahkan, bahwa bukan hanya mahasiswa yang terlibat sebagai pembentuk jembatan.

Seperti apa tugas jembatan itu, salah satunya disimpulkan dengan ringkas oleh Ir Daniel M.Rosyid PhD MRINA dalam suatu kegiatan pengaderan massal yang pernah saya ikuti. “Institusi pendidikan seharusnya rajin memberikan koreksi terhadap pemerintah,” dia berkata.

Institusi pendidikan adalah jembatan antara masyarakat dan pemerintah. Bukan dalam arti diinjak-injak untuk bisa sampai ke seberang. Tapi dalam menjembatani pola pikir. Bagaimana dua pulau yang berseberangan bisa saling bekerjasama (termasuk dalam mempertahankan kekokohan dan keawetan jembatan mereka). Sebuah jembatan tidak berat sebelah, ia terus menyeimbangkan antara dua kepentingan yang berbeda. Terkadang harus ada give and take, tapi hasilnya harus tetap seimbang.

Apakah ini berarti mendukung pemerintah? Padahal katanya tadi mengoreksi pemerintah?

Institusi pendidikan menganalisa kebijakan-kebijakan pemerintah, secara ilmiah, secara intelek. Berikan green light bila kebijakan itu memang pantas diberlakukan. Jangan takut pula untuk menyanggah atau sama sekali menolak, atas dasar pertimbangan yang sama, tetapi berikan juga sebuah solusi. Entah siapa yang lebih dulu menanggapi, dosen, pihak birokrasi maupun mahasiswa, asal saling bahu-membahu.

Untuk itu, di mata saya, ada tiga hal penting yang harus dilakukan oleh sebuah institusi pendidikan. Tiga jalan menuju jembatan yang kokoh.

Yang pertama, dekat dengan rakyat. Tidak sepatutnya para akademisi untuk meninggikan diri sendiri sekalipun menyandang predikat manusia intelek. Tidak peduli ia seorang rektor, presiden BEM, ketua himpunan, maupun mahasiswa biasa. Malah justru semakin tinggi posisi seseorang, seharusnya semakin pintar ia menjangkau orang-orang di bawahnya. Mari berkaca pada Umar bin Khattab, yang rajin menyamar di malam hari, hanya untuk mendengar keluh kesah rakyatnya.

Yang kedua, kerjasama antara seluruh pihak di ITS. Diskusi rutin antara birokrasi, dosen dan mahasiswa seharusnya menjadi kegiatan rutin. Bahkan di luar kegiatan formal sekalipun, bukan tidak mungkin. Tercapainya pengertian antara semua pihak semakin menguatkan tujuan bersama. Perlu ditekankan pula, adanya saling apresiasi dan kritik yang sehat.

Yang ketiga, cepat tanggap. Ini merupakan sinergi dari dua hal sebelumnya. Seperti arus listrik yang dengan cepat menjalar. Bila ada sepercik kilatan dari kubu rakyat, mari kita cepat menganalisa permasalahan dan memberikan solusi, sebelum diteruskan kepada pihak pemerintah. Demikian juga sebaliknya.

Apakah ini berarti rektor juga turut dalam aksi demo mahasiswa? Sebenarnya bukan tidak mungkin hal itu terjadi kelak, untuk suatu masalah yang sangat darurat. Namun ada cara yang lebih efektif, yaitu melalui media. Tidak perlu dijelaskan lagi cepatnya media merambah masyarakat luas. Sekarang saja, 140 karakter sudah cukup untuk merubah pandangan seseorang.

Saya tidak menganggap ini sekadar angan-angan. Selama pihak dosen, birokrasi kampus dan mahasiswa saling mempercayai dan melakukan ketiga hal di atas. Bukan masalah bila ITS sebuah kampus teknik dan jauh dari dunia politik. Justru di sini kita bisa memberikan solusi dengan menciptakan produk baru, misalnya.

Meski ini juga berarti bahwa institusi pendidikan sedikit banyak harus bisa mandiri dari pemerintah. Menurut saya, di sinilah peran mahasiswa bisa masuk. Saya memang bukan (belum?) seorang ahli bisnis, tetapi saya melihat banyak karya PKM maupun usaha enterpreneur mahasiswa ITS yang bisa dikembangkan dan dijadikan sebuah bisnis bersama dalam institusi.

Lalu, kapan hal ini bisa terwujud? Saya rasa, saat ini masih banyak yang harus dibenahi oleh ITS untuk mencapainya. Tetapi yang jelas, kita tidak harus menunggu diangkatnya seorang rektor yang juga insinyur "jembatan".

Lisana Shidqina
Mahasiswi jurusan Arsitektur 2009

Berita Terkait