ITS News

Selasa, 03 September 2024
05 September 2010, 20:09

Menggali Nurani

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Di Sanggar Alang-Alang, kami disambut oleh puluhan anak-anak yang sebagian besar mengenakan baju berwarna krem kotak-kotak. Jadi ini rupanya anak-anak dhuafa dan anak-anak jalanan yang disebut "anak negeri" itu!

Suasana bertambah ramai ketika sebuah mobil Daihatsu perak berhenti di jalan depan bangunan kecil tersebut. Serentak, anak-anak tersebut bangkit berdiri dan menyalami dengan khidmat Didit Hape, pendiri sanggar yang gondrong tersebut. Bahkan anak-anak remaja kira-kira seumuran dengan saya pun turut mencium tangannya. Saya terharu. Berapa banyak anak seumuran kita yang masih bisa begitu menghormati orang yang lebih tua?

Saya tidak akan bercerita terlalu banyak mengenai jalannya acara, karena bagian itu sebaiknya ditampilkan pada tulisan Lutfia. Saya hanya bisa memaparkan beberapa pertemuan saya dengan anak-anak Sanggar Alang-Alang.

Ada Solihatin (teman-temannya memanggilanya Tin saja). Kulitnya mungkin yang paling cokelat di antara teman-teman perempuannya. Tubuhnya kecil dan kurus untuk seorang anak kelas empat. Saya serasa tercabik-cabik melihatnya.

Di situ saya duduk, bersamanya. Di tangan saya tergenggam sebuah kamera DSLR dan di tas punggung saya adalah beragam harta benda saya. Keduanya saya bawa kemana-mana saat liputan, terkadang berat dan merepotkan. Tapi belum tentu saya membawa apa yang dibawa Solihatin dan teman-temannya kemana-mana tanpa susah payah: hati yang bersih. Hati itu terpancar dari senyumnya yang sungguh aduhai. Matanya berbinar indah. Bintang pun bisa iri dengannya. Ketika tertawa, itu semata-mata karena terhibur dan bahagia. Renyah.

Lalu saya ngobrol dengan Ghea, yang sangat tertarik dengan kamera yang saya bawa. Ternyata dia seorang murid SMK jurusan multimedia. “Kami baru belajar Corel Draw, tapi tidak banyak, karena banyak murid yang tidur di kelas. Akhirnya guruku mengatakan bahwa kami boleh libur selama puasa,” tutur anak yang pernah menjadi pengamen kereta api ini dengan mantap. Ia lantas menceritakan kegiatannya selama tidak bersekolah; ia sangat suka surfing di internet, terutama mencari tahu tentang Michael Jackson, idolanya.

Ghea tidak hanya tertarik pada dance-nya, tetapi juga kehidupannya. “Yang menarik dari MJ itu dia sering disiksa ketika kecil, namun ketika dewasa ia malah menjadi seorang yang begitu mencintai anak-anak,” lanjutnya.

Ia pun tidak segan membantah bahwa MJ mengoperasi tubuhnya. “Itu serangan penyakit,” kilahnya (kalau tidak salah ia menyebutnya vitiligo). Ia percaya, sebab tetangganya ada yang mengalami hal yang sama; kulitnya yang dahulu cokelat legam terasa nyeri di sekujur tubuhnya, lalu tiba-tiba berubah menjadi putih. Ia juga pernah membacanya di internet.

Berapakah orang saat ini yang begitu teguh memegang pendiriannya?

Lanjut ke Zizeh (mungkin dari Azizah, dilafalkan dengan logat Madura, Azizeh), yang kulitnya putih bersih dan sangat, sangat imut. Menjelang kepulangan kami, ia tidak termasuk salah satu dari sekian banyak anak yang datang mengerumuni saya untuk meminta nomor ponsel (ya, sempat berasa artis sedikit ketika itu).

Ia hanya mendekati saya, menyalami dengan gaya salaman mereka yang khas, dan memeluk saya. Di telinga saya ia berbisik, “Semoga lulus ya Mbak,” ujarnya pelan. Saya menangis dan saya peluk dia erat-erat. Betapa banyak yang tidak dia mengerti, pikir saya. Tapi betapa berharganya kata-kata yang begitu mendasar itu, semoga lulus.

Memang, tidak semua anak-anak itu sejujur dan sesantun itu. Ada beberapa remaja laki-laki yang meninggalkan shalat Maghrib berjamaah, malah merokok sambil makan bakso (buka bersama kok masih nyari bakso?). Bagaimanapun, saya sedikit terhibur. Salah seorang anak yang merokok itu, ketika tahu bahwa dirinya difoto, meminta saya untuk menghapusnya. Paling tidak dia masih ada rasa malu ketika ketahuan melakukannya.

Menurut saya, secara prosedural, acara tersebut sukses. Tidak ada yang terlewatkan; semua anak mendapat makanan, kenyang dan bahagia. Semua mendapat giliran tertawa dan berfoto ria. Tapi apakah hanya sampai di situ saja tolak ukur keberhasilannya?

Saya harap, ketika para anggota BEM FTK berkumpul dan menundukkan kepala mereka untuk melakukan evaluasi, mereka membicarakan lebih dari itu. Saya harap, masih ada sisa pertanyaan dalam diri mereka. "Mengapa, sepanjang acara berlangsung, mereka tidak duduk membaur dan bermain-main dengan anak-anak Sanggar Alang-Alang itu?"

Ini Masalah Kita Semua

Bukan maksud saya untuk menjatuhkan BEM FTK. Ini tidak hanya terjadi pada mereka. Ini hanya salah satu contoh dari sekian banyak mahasiswa, dari ITS bahkan dari universitas lain yang pernah saya liput juga, melakukan hal serupa.

Ketika mengadakan acara di luar, mereka gagal berinteraksi dengan masyarakat bimbingan maupun undangan mereka. Akibatnya, acara itu hanya sekedar acara saja. Hore-hore, menurut istilah ibu saya. Terjadi, selesai, dan akhirnya berlalu seiring waktu.

Sebenarnya saya setuju sekali kalau mahasiswa mengadakan acara di luar. Tidak hanya di ITS saja. Selain dikit-dikit promosi, mahasiswa juga dituntut untuk tidak jago kandang. Tidak hanya berani dan sukses di kalangan almamater sendiri, tapi juga bisa menempatkan diri di tengah seluruh kalangan masyarakat.

Peristiwa Sanggar Alang-Alang hanyalah contoh. Membuat acara untuk anak-anak usia sekolah dasar hingga SMK, kita harus keluar dari bahasa dan sikap kaku seperti text book. Mereka tidak mengerti! Lalu hilanglah seluruh esensi dari kegiatan itu. Sangat disayangkan sekali, padahal anak-anak itu begitu antusias ingin berinteraksi dengan para mahasiswa panitia.

Mereka paling kagum melihat Yuda Apri, Presiden BEM FTK. “Wah, dia presiden juga ya, seperti SBY,” celetuk salah satu dari mereka. Andai saja Mas Yuda bisa lebih terbuka dengan mereka. Andai saja ia bisa bergurau dan menjelaskan kepada mereka apa tugasnya sebagai "Presiden". Anak-anak itu akhirnya harus puas hanya dengan lambaian tangan Mas Yuda saat berpamitan.

Tampaknya ini bukan masalah yang lazim dibahas di pengaderan manapun. Atau di screening organisasi sekalipun. Saya yakin saya dan sebagian besar mahasiswa pembaca pasti sudah mengalami paling tidak LKMM Pra-TD. Kita ahli berbicara dan bisa berdebat dengan sesama mahasiswa, maupun dosen. Tapi mengapa kita bisa kagok dan bungkam ketika berhadapan dengan anak-anak kecil seperti di Sanggar Alang-Alang itu? Kenapa Ghea yang belum pernah mengikuti pelatihan "secanggih" sistem kita pun lebih berani untuk berbaur dan bercerita?

Rasulullah (ini karena saya seorang muslim, maka saya berkaca pada tokoh besar dalam agama saya) pun bisa bermain-main dengan anak Balita. Padahal ia seorang pemimpin peradaban. Sementara kita sebagai mahasiswa, paling banter menduduki posisi pemimpin BEM pusat.

Beberapa orang mungkin akan mengatakan ini masalah emotional quotient, EQ, yang jauh lebih penting daripada IQ alias kecerdasan. Kalau saya pribadi lebih setuju menyebutnya nurani.

Seluruh kompetensi kita dalam berpikir ilmiah dan berbicara hanyalah alat. Nurani yang menggerakkan kita untuk berkata dan berlaku secara jujur. Ia menjadi benteng kita untuk tidak merusak sendiri diri kita, apapun keadaannya, karena ia mendasari emosi; rasa malu, empati, saling menghargai dan kasih sayang kita. Dengannya kita bisa menempatkan diri di manapun kita berada. Dan hanya kita sendiri yang bisa mendengarnya.

Kalau kita selama ini tak mengacuhkannya…bukan berarti masih tak bisa memperolehnya kembali. Karena di Sanggar Alang-Alang, nurani saya kembali tergali.

Epilog

Setelah saya puas mendekap Zizeh, giliran saya untuk bertatap muka dengan Siti Rodyah. Dia gadis manis kelas 2 SMK jurusan administrasi perkantoran. Matanya sayu namun guncangan tangannya mantap saat bersalaman dan tanpa ragu ia berkata pada saya, “Mbak, doakan saya lulus ya.”

Ya Tuhan, apakah Engkau akan lebih mendengarkan doaku daripada doanya?

Nurani saya mengatakan, bahwa saya harus kembali lagi ke sana suatu hari nanti.

 

26 Ramadhan 1431 H

Lisana Shidqina

Mahasiswi Arsitektur 2009

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Menggali Nurani