ITS News

Selasa, 03 September 2024
31 Oktober 2010, 18:10

Da Vinci

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Banyak pendapat berkata, sains tidak akan pernah naik pelaminan bersama seni. Argumennya sederhana sekaligus fundamental. Konon, sains menuntut hal yang pasti, sementara seni justru nyaman pada lingkungan tak pasti nan multi-persepsi. Kalau dipaksakan, sama saja menjodohkan pelacur dengan santri. Katanya begitu.

Seni tak butuh laboratorium. Rumput yang bergoyang saja bisa dengan sendirinya membentuk balok-balok not. Dan sains sangat butuh laboratorium untuk legalisasi sebuah karya. Seni tak butuh gelar kepangkatan. Sedang sains, terkadang, menentukan strata sosial berdasar banyaknya gelar tambahan di belakang nama. Seni tak butuh pakaian resmi berdasi. Dengan modal celana dalam pun, ia bisa bercerita. Seni tak butuh cara berpikir runtut. Karena, “lukisan anak TK” pun bisa bergelar “dengan pujian”.

Sulit memahami? Sama, saya juga. Akhir-akhir ini saya belajar bagaimana memandang dunia dari perspektif mereka. Sebuah idiom pernah berkata nyaring. Semua orang bisa dibeli dengan uang, hanya satu golongan yang selamat: seniman. Mereka punya dunia sendiri, tempatnya bersenang-senang, tanpa peduli orang berbisik apa tentangnya. Absurditas seakan jadi ideologi penggerak utama.

Anda kenal Sutardji Calzoum Bahri? Penyair nyentrik yang (dulu) suka bermain di wilayah-wilayah “nakal”. Bayangkan, banyak seniman –yang notabene “gila”- menganggap Calzoum lebih gila. Kurang gila apa Presiden Penyair Indonesia itu. Ia menantang tuhan kala tangan kanannya merangkul sajak dan tangan kirinya meraba minuman keras.

Wajahnya teler, suaranya melengking, mencerca segala sesuatu di hadapannya. Gaya panggungnya edan tenan, jumpalitan, tidur-tiduran. Namun, mayoritas seniman menganggap itu suatu hal yang “keren”. Suara pemberontakan, katanya.

Sebab itu, Selasa malam, saya tidak heran kalau Arman Maulana menjadi seperti penderita epilepsi ketika di panggung. Itulah seniman, atraktif adalah salah satu poin penilaian. Secara keseluruhan, Gigi masih lebih baik, karena saya masih bisa menangkap pesan-pesan yang mereka sampaikan.
 
Dua pekan lalu, saya menonton konser metal underground di Balai Pemuda. Gaya Arman belum ada apa-apanya. Selain kepala saya pusing, selama konser di Bapem itu, saya hanya mendapati vokalis yang kumur-kumur bersama mik-nya (growling). Dan, orang-orang yang menganggukan, memutar, dan melepas kepalanya mengikuti hentakan drum super cepat.

Saya juga tidak heran, melihat Butet Kertaradjasa nyocot sak karepe dewe, seakan dirinya paling benar. Monolognya menyindir semua orang. Dari presiden sampai mahasiswa. Dari Kapolri sampai polisi yang waktu itu sedang menjaga parkiran. Nah, di sanalah nilai seninya. Kalau diperhatikan seksama, tiap kata dari Butet, dan tiap lirik dari Djaduk, mengandung sindiran mendalam. Selain guyonan segar nan cerdas.

“Bagaimana kalau presidennya dari mahasiswa?” tanya Butet dalam bagian monolog yang mencoba mencari tahu, siapakah golongan yang paling pas memimpin negeri ini.
“Bisakah menyelesaikan masalah bangsa?” tanyanya lagi.
“Wah…kalau itu sih tergantung dosen pembimbingnya. Ya toh?” tuntasnya.

Bisakah sains melakukan itu? Misal, ilmuwan bergaya seperti Calzoum ketika mempresentasikan hasil karyanya. Bayangan mudahnya, presentasi ilmiah di depan dosen penguji dengan gaya atraktif seperti Arman Maulana. Tidakkah posisi seniman di atas panggung sama seperti posisi mahasiswa di depan dosen penguji? Bukankah penonton punya hak menilai baik-buruknya suatu karya?

Bisakah tiap kata dalam paper ilmiah bermakna bias? Jelas tidak. Bisakah retorik ironis-sinis masuk dalam laporan-laporan teknis? Jelas tidak mungkin. Sains terkungkung dalam terminologi yang dirangkainya sendiri. Tiap makna harus sepadan, semakna, dan sepemahaman. Sedang seni, kata Calzoum dalam manifestonya, “Membebaskan kata dari penjajahan makna,”. Prinsip ini yang kemudian terkenal dengan nama “kredo puisi”.

Wajar. Sains, suka tidak suka, harus bermain di ranah “serius”. Sedang seni, semaunya sendiri, terserah. Walaupun dalam realita, sikap terserah itu sering bergesekan dengan kepentingan lain. Lantas, bagaimana menikahkan mereka, yang sebenarnya tidak begitu bertolak-belakang itu? 

***
“Banyak orang menuduhku,” tulis Da Vinci dalam esai berjudul “True Science”. Kata-katanya secara gamblang berisi kekesalan. Segala penemuannya diragukan banyak pihak. Permasalahannya sederhana, hanya karena ia bukan sarjana sains. Selebihnya, ia melakukan lompatan hebat dalam bidang pemikiran, terutama usahanya menelusuri keunikan alam yang ia tinggali.

Mungkin kita hanya kenal dia lewat lukisan. La Joconde yang bertahta di Museum Louvre atau The Last Supper yang menghiasi dinding Biara Santa Maria? Tentu, mahakarya yang tak henti-hentinya dibicarakan orang. Ia memang lahir dan besar di Firenze, pusat peradaban seni-budaya, cikal bakal kemajuan Eropa. Ia pula sedikit-sedikit mewarnai corak bermusik jaman renaisans melalui beberapa karya.

Di luar itu, ia telah memperkirakan keteraturan gerak planet sebelum Kepler membuat formulasi. Soal bumi bulat dan matahari sebagai pusat semesta, sebelum Galileo menjadi tahanan rumah dan mati di dalamnya, ia lebih dulu meyakini. Maklum, ia rajin memandangi bintang di gelap malam.

Suatu ketika, ia pergi ke sebuah sungai, mendapati ikan-ikan kecil berenang lincah. Segera ia ambil sebuah kertas. Beberapa menit kemudian, ia selesai merancang sebuah kapal selam yang bentuknya mirip dengan kapal selam Jerman di Perang Dunia II. Mengenai hewan ia memang cinta. Da Vinci telah terbang bersama “burung” imajinasinya, jauh sebelum Wright bersaudara terbang bersama Kitty Hawk.

Di kala membedah mayat adalah hal tabu, ia secara sembunyi-sembunyi membelah seonggok jenazah. Segera ia ambil kertas. Beberapa menit kemudian, ia sukses merintis kodifikasi anatomi tubuh manusia. Di bidang sosial, ia cukup cerdik mengoreksi teori kepemimpinan absolut yang dicetuskan sahabatnya sendiri, Machiavelli.

Kurang lebih, ada 7000 khayalan Da Vinci. Lebih dari setengahnya, ada di dunia nyata saat ini. Mulai dari bidang arsitektur sampai militer. Mulai dari mekanisme sepeda sampai robot.  Masih banyak hal-hal ”gila” yang ia lakukan. Semuanya sekedar memuaskan rasa ingin tahu. Pantas, sejarawan Eropa menyebut Da Vinci, bapak dari manusia-manusia renaisans. Ia berhasil mendobrak penjara berpikir yang dipenuhi doktrin murahan.

Sebenarnya, apa yang sedang ia cari? Da Vinci sadar, sains bukan habitatnya. Ia juga tak pernah mempelajari textbook seperti mereka para sarjana. Belum pula mengenal cara berpikir ilmiah yang dicetuskan Francis Bacon. Tapi kemudian ia menggugat,”Apa memang kita harus menelan mentah-mentah masa lalu?”.

“Barangsiapa membatasi ilmu pengetahuan,” tulisnya kemudian, “Ia telah membunuh cinta,”. Baginya, cinta berbanding lurus dengan pengetahuan manusia pada keajaiban kerja alam. Rasa bencinya tertuju pada manusia yang hanya bersandar pada ilmu tercatat dalam buku, tanpa ada rasa ingin tahu lebih tentang hal itu.

Padahal, sains tak lebih dari salah satu cara mengenali eksistensi manusia. Sedikit yang berbuah kepastian, kebanyakan hanya berisi klaim atau sekedar spekulasi. Pada akhirnya, sains memang harus dimodifikasi tiap waktu. Harus diperdebatkan tiap konklusinya. Juga harus dipertimbangkan tiap efeknya.

“No true science,” tutur Da Vinci di ujung tulisan. Tak ada profesor dalam ilmu pengetahuan. Itu hanya gelar yang turut dikubur setelah empunya bertemu ajal. Manusia berhak mempelajari tanpa harus didakwa kepantasannya. Semua kepala berhak mendebat, sampai konsensus menjatuhkan putusan, ini benar atau ini salah. Namun, bukan berarti pintu pertanyaan sudah tertutup. Hak itu masih luas.

Lantas, bagaimana mengawinkan Seni dan Sains?
Cintailah keduanya, baru kita mengerti betapa selarasnya mereka.

***
“Agama membuat hidup terarah, seni membuat hidup indah, ilmu membuat hidup mudah,”

Kirun berhasil membuat penonton terbahak-bahak, termasuk saya (nonton ketoprak sampai sesak nafas).  Agenda pitung dino, pitung bengi, melepas dahaga saya akan seni. Rencana ITS mengawinkan Sains, Teknologi, dan Seni patut diapresiasi. Yah…mudah-mudahan bukan sekedar slogan.

Saya ingat pesan Kirun. “Semoga ke depannya, yang berada di depan panggung saat ini, mahasiswa-mahasiswa ITS,”. Saya jadi ingin tahu kabar teman-teman Teater Tiyang Alit, yang terakhir kali saya tonton pementasannya setahun lalu, tepat di hari Pahlawan. Sampai sekarang saya masih ingat dan terkesan dengan tema, ekspresi, latar, serta aksesoris mereka.

Iya, iya, kapan kita bisa mengapresiasi seni. Saya dulu mencari-cari komunitas pecinta seni terutama sastra. Penasaran dengan kabar angin, kalau dulu, WS Rendra pernah tampil di ITS. Hmmm, bukankah gejolak gerakan mahasiswa biasanya dimulai dari sajak-sajak bebas, drama treatikal yang heroik, orkes musik kreatif berisi sindiran sosial, dan banyak lagi. 

Telaah kembali. Dari tujuh hari-tujuh malam itu, berapa persenkah jatah civitas ITS tampil di depan panggung? Memang sih, ini kampus bukan seperti IKJ atau ISI yang masyhur itu. Tapi yo mosok nggak ono blas. Ya, apa susahnya sih mukul-mukul gamelan. Atau apa susahnya sih nyocot seperti Butet Kertaradjasa? Bukankah mahasiswa ITS banyak yang ahli nyocot? Terutama saat pengaderan.

Agaknya kita harus berpikir ulang. Kita masih jadi penonton di rumah sendiri. Tentang seni? Kita masih seperti seorang bocah yang baru belajar menikmati gambar. Belum ada kehendak kita memegang kuas apalagi memamerkannya. Kita hanya bisa berjingkrak saat Gigi tampil, hanya tertawa saat Kirun berkelakar, hanya terkesima saat Ki Manteb memegang lakon Gatot Kaca. Sungguh jauh dari angan mengawinkan teknologi, seni, dan sains.

***
Terlepas dari hingar bingar tujuh hari-tujuh malam. Dengan rasa bersalah –karena tertawa, berjingkrak, terkesima- saat saudara sebangsa yang lain menderita, saya mewakili orang-orang yang merasa terwakili, mengucapkan bela sungkawa atas bencana yang menimpa Indonesia akhir-akhir ini. Semoga Allah SWT memberikan ketabahan. Amin. Ayo rek, kotak donasinya digilir.

Jutaan kali kami membangkang
Kali ini, Engkau benar-benar berang
Sekejap, Kau tebar tulang belulang
Di balik reruntuhan, Jasad kami mengerang

Tuhan,
Inikah Engkau yang penuh kebijaksanaan?
Tuhan,
Mengapa Kau lekas hadapkan?
Hantaman, ledakan, guncangan datang bergantian
Mengantar kami pada nisan-nisan mengerikan

Kami kerdil
Kau bilang jadi, jadilah…
Kau bilang hancur, hancurlah…
Kami lemah

Tuhan, beri kami waktu
Sedikit saja
Sekedar menampar wajah kami yang sombong
Setelah itu,
Cabutlah nyawa kami, sesuka-Mu
Kami ikhlas

Tribute to Mbah Maridjan. Dosen luar biasa mata kuliah seni kehidupan.
Atas nama Perasaan dan Kemanusiaan
Bahtiar Rifai Septiansyah
 

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Da Vinci