ITS News

Senin, 02 September 2024
20 November 2010, 14:11

TPB

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Melalui pemandangan Gazebo itu, saya diajak merenung oleh mereka, kumpulan anak muda yang menenteng-nenteng buku Kalkulus dan Fisika Dasar. Sesekali mereka saling melempar ide, mencari jawaban dari kumpulan soal UTS tahun-tahun sebelumnya. Begitu sudah “klik”, tangan mereka lincah merayap pada tiap halaman buku acuan yang tebal itu. Mereka luar biasa antusias, seakan tidak peduli bagaimana notasi matematika beramai-ramai mengejek otaknya yang mulai lelah beranalisis. Mereka sedang asyik berada dalam jalur mengejar cita-cita.

Lantas, berapa banyak mahasiswa baru yang datang jauh-jauh ke ITS, lalu punya cita-cita lulus cum laude? Prediksi saya 80 %, dan saya terdaftar di dalamnya. Ketika IPK semester satu di bawah tiga, seketika itu pula cita-cita tersebut harus di-burned alive. Kata mutiara bijak,”If only. Those must be the two saddest word in the world,”. Bahasa sederhananya,”penyesalan selalu datang terlambat”.

Ada sebuah postulat berkata,”Gagal TPB, gagal cum laude,”. Menurut saya ada benarnya, walau tidak selalu. Banyak kawan saya yang akhirnya cum laude, memiliki karir akademik yang mulus. Sejak TPB, potensi mereka terlihat jelas. Bahkan, nilai C dalam transkrip bisa jadi hukumnya haram. Bandingkan saja, sejak semester dua saya sudah “terlatih” mengulang mata kuliah. Kebiasaan yang berlanjut sampai sekarang. So, bagi saya saat ini, kemewahan kata cum laude sama saja seperti kegaduhan kalimat “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Utopis.  

TPB sendiri sebenarnya diciptakan untuk memberi pondasi awal bagi mahasiswa baru. Sekaligus penyamaan persepsi dan cara pandang dalam sebuah bidang studi. Biasanya TPB diberikan pada kampus-kampus yang punya keseragaman bidang studi, atau yang biasanya menyebut dirinya Institut. Namun, tidak menutup kemungkinan universitas mengadopsinya. Tentu saja dengan adaptasi dan pembagian kelompok sesuai bidang yang digeluti. Maklum, universitas punya keragaman lebih ketimbang institut.

Bisa jadi ia mirip matrikulasi, namun lebih berat kadarnya karena cakupannya yang mendalam. Kata kawan saya,”TPB adalah SMA kelas 4”. Ya, tidak lain TPB merupakan pengulangan mata pelajaran saat SMA, dengan kualitas pembahasan serumit soal-soal SNMPTN. Berhubung daya matematis saya kurang kuat, pada level ini, saya berusaha keras menyimak dosen Kalkulus atau Fisdas dengan serius. Tujuannya jelas, saya ingin menguasai dua materi dasar itu.

Strategi pendukung pun dirancang apik. Saya berusaha tidak pernah absen dan jarang sekali terlambat (sebab kebetulan dosennya juga sering terlambat). Hasilnya? Sesuai dengan peribahasa,”Guru kencing berdiri, murid kencing di celana,”. Hampir tiap kuis atau ujian, saya cuma bisa memandangi serius, terpukau melihat soal, sedikit membubuhkan coretan, menggambar pemandangan alam di lembar jawaban, dan…terlelap sampai tiba masanya mengumpulkan jawaban.

Padahal kalau dipikir-pikir, soal itu sebenarnya sudah pernah dibahas oleh sang dosen. Saya pun sudah berkali-kali coba mengerjakan. Namun…terpaku lagi. Kalau sudah begini, saran bijak mengantarkan kita ke hadapan Tuhan. ”Ya Tuhan kami, dosa apakah yang telah kami perbuat sehingga begitu sulitnya kami menerima pelajaran ini?”.

Seingat saya, dulu pernah ada kebijakan yang melarang mahasiswa baru mengikuti kegiatan ekstrakulikuler apapun di kampus pada tahun pertamanya. Sempat juga ini jadi perdebatan di kalangan penggiat organisasi. Tapi sekiranya kita berpikir positif, mungkin ini salah satu usaha mencegah Maba Married By Accident. Oh salah, maksud saya, gagal sejak awal perkuliahan. Kampus berusaha mengarahkan para mahasiswa baru agar tahap persiapan bersama dipahami matang-matang. Dalilnya berbunyi,“Inilah kail untuk memancing ilmu!”.  

Anda semua yang pernah/sedang mahasiswa, terutama yang hobi mengulang mata kuliah, pasti merasakan susahnya. Beruntung kalau yang terlibat ternyata mata kuliah “nggak penting”. Maksud saya, bukan mata kuliah yang berimbas panjang pada karir akademik atau mata kuliah non-prasyarat. Tapi kalau sebaliknya, beda lagi urusannya.

Awal-awal kuliah punya banyak jebakan. Kalau tidak hati-hati, sekali terjerumus, selamanya terberangus. Sekali tidak lulus, selamanya kuliah jadi nampak tak mulus. Banyak kasus dimana mahasiswa tersandung mata kuliah “sakral” kemudian berimbas pada masa studi yang diperpanjang. Ibarat kata, mata kuliah pada semester dua, punya hak veto bertingkat sampai semester delapan.

Itulah sebabnya, diadakan evaluasi pada tahap persiapan. Biasanya ini cukup jadi momok bagi para mahasiswa baru. Pertama, syarat lulus tanpa nilai E dengan minimal lulus 18 SKS. Kedua, syarat pada tahun kedua, lulus 36 SKS tanpa E, dan D pada beberapa mata kuliah. Sementara IPK wajib tetap di atas 2,00. Cukup banyak mahasiswa yang tergelincir pada tahap ini. Kata beberapa kawan, awal kuliah itu yang penting melangkahi dua evaluasi ini. Setelah itu, kita bisa bernafas santai sampai semester 14.

Bagi yang sudah melewati masa-masa TPB dengan ala kadarnya, apa memang kita harus menyesal? Tentu saja, sebab kita tidak berhasil mempersembahkan yang terbaik. Nada seirama dengan Bill Gates saat didepak pada tahap persiapan bersama di Harvard University. “Keluar dari Harvard adalah salah satu penyesalan terbesar dalam hidup saya,” tuturnya saat meraih gelar kehormatan dari Harvard University, 30 tahun setelah Harvard resmi mencabut status mahasiswanya.   

Bukan karena ia bodoh sehingga tak mampu lulus mata kuliah sains dasar. Nilai skolastiknya membuktikan, ia sempurna! Paul Allen-lah yang punya jasa besar mempengaruhi Bill Gates drop out dari Harvard. Allen sendiri waktu itu baru saja "ditendang" dari Washington State University gara-gara sibuk bekerja.

Berhubung Gates, kawan bermain Allen sewaktu kecil, punya potensi luar biasa di bidang pengembangan komputer, ia menggoda Gates untuk sama-sama fokus mengembangkan Microsoft, dan meninggalkan studi matematikanya. Lucunya, Steve Ballmer yang ikut tergoda, justru lulus dari Harvard dengan magna cum laude dalam dua bidang berbeda. Kelak, tiga orang ini jadi penguasa perputaran uang di bidang IT, berbagi tempat dengan “duo Steve” pendiri Apple.

Artinya, yang lalu biarlah berlalu. Nilai TPB biar kita bungkus rapat-rapat. Kalau memang begitu adanya, tidak usah terlalu lama disesali. Toh, Bill Gates juga tak begitu lama menyesali masa lalu. Lantas, apa kita harus Drop Out? Bukan, menurut saya, alasan itu hanya memperkuat alibi bahwa kita sebenarnya menyerah pada keadaan. Dari kegagalan TPB, banyak pengalaman bisa diambil. Predikat lulus “memuaskan” memang sudah agak sulit dicapai. Tapi minimal kelak, bisa lulus dengan predikat “membanggakan”.

Kalau masih punya cita-cita cum laude. Dari awal IPS sebisa mungkin cum laude atau mendekati. "Cum laude adalah bentuk konsistensi dan stabilitas akademik," kata kawan saya yang cum laude.

Bahtiar Rifai Septiansyah
Untuk adik-adik mahasiswa baru, saran saya sederhana. “Kalau ada jalan yang mulus nan lurus, kenapa mesti memilih yang tandus,”.   

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > TPB