ITS News

Selasa, 03 September 2024
13 Desember 2010, 13:12

Luka Perang, Luka Universal

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Namanya Manan.

Dia bilang itu pemberian terindah dari ayahnya. Bilangnya.

Dia hidup ketika dunia sedang banyak-banyaknya melesatkan nyawa. Tapi menurutnya itu tidak masalah, semua urusan Tuhan saja, katanya. Lagipula, dunia mau apa, tetap saja dia hidup dan bernafas seperti wadak tanpa nyawa.

Jari tangan kanannya enam, jempol kirinya buntung setengah.

Dia bilang itu akibat ulah Jepang yang memotongnya ketika dia masih Balita. Hanya karena salahnya menangis minta susu ketika Jepang sedang bersepeda depan rumahnya, bilangnya.

Ayahnya meninggal di medan perang, sedang ibunya lari, kawin dengan pedagang daging ayam pasar Pahingan.

Dia, dengan jempol buntung dan nama Manan-nya, dapat hidup dan bernafas meski telah dibuang kehidupan. Kehidupan yang katanya akan lebih baik setelah perang.

Banyak orang, terutama pemimpin entah pemimpin negara atau hanya pimpinan sekompi tentara, menggembar-gemborkan kalimat-kalimat penyemangat pada anak buahnya. Perang akan membawa perbaikan, sebuah revolusi untuk sebuah pencapaian besar yang akan ditulis dalam sejarah. Betapa indahnya jika dapat memenangkan sebuah kompetisi bernama "Perang". Betapa bangganya jika pulang dengan mendapatkan sambutan dan lambaian dari seluruh warga negara atas sebuah kemenangan yang sebenarnya ditentukan oleh Tuhan.

Perang seringkali menjadi ajang untuk beradu kekuatan dengan tameng dan karpet bernama politik kepentingan. Disulut selalu dengan gengsi akan eksistensi sebuah pembuktian ideologi yang mungkin tidak dapat ditumbuhkan di kepala semua orang,semua. Perang menjadi sebuah pilihan yang selalu dijadikan perdebatan, apalagi oleh negara-negara yang merasa sudah mampu menang tanpa bersusah payah. Betapa indah, bukan?

Tapi jika perang memang membawa semua penyelesaian akan semua permasalahan, mengapa kita harus mengulanginya lagi dan lagi. Mengesampingkan dampak negatifnya akan orang-orang yang mungkin tak berkepentingan dan menjadi korban. Membiarkan mata menutup dengan otomatisnya mendengar tangisan anak-anak yang kehilangan bapak, ibu, kakak, adik, atau tetangga. Membiarkan tangan ini mengepal tanpa sungkannya melihat wajah berdarah yang meminta belas kasih untuk dapat merasakan dunia ini sedikit lebih lama. Membiarkan telinga ini menjadi biasa dengan desing peluru dan bom yang perlahan mulai terdengar seperti music pop ‘70-an. Menjadikannya biasa, seperti sesuatu yang memang pantas untuk dicoba.

Tak hanya kesedihan, ada banyak kehilangan. Kehilangan keluarga, kehilangan harta, kehilangan kehidupan, kehilangan kesempatan. Kesempatan untuk merasakan banyak hal dan banyak peristiwa. Baik untuk pelakunya ataupun untuk korbannya. Kesempatan untuk hidup dengan normal. Kesempatan untuk memiliki harapan bahwa dirinya akan mati dengan tenang di atas kamar tidur atau karena diabetes keturunan, bukan karena sabetan pedang atau tusukan peluru di kepala.

Mungkin banyak sekali yang dapat dilakukan dengan kesempatan itu. Para pemuda yang sudah memegang laras senjata mungkin bisa memegang tangan kekasihnya di pelaminan. Para lelaki yang membidik lemparan bomnya mungkin kehilangan kesempatan bercengkrama dengan anak dan istrinya. Para wanita yang menangisi kematian keluarganya mungkin kehilangan kesempatan untuk mencium tangan suaminya dan mengantar anaknya ke sekolah. Kesempatan itu, mungkin hanya akan menjadi doa setelah kematian tiba saja.

Perang menimbulkan banyak luka. Luka sosial, luka universal. Luka yang hidup dan terus bernanah. Luka yang takkan sembuh begitu saja dengan betadine atau supertetra. Luka yang kemudian dicatat dengan rapi dan runtut dalam sejarah. Yang dipelajari anak-anak di sekolah untuk dipraktekkan di masa remaja, yang di dengar para remaja dan dicoba saat dewasa. Luka yang selalu diulang-ulang lagi meski tahu akibatnya adalah kematian banyak saudara sesama manusia.

Atau untuk Manan, dia akan tetap memiliki jarinya genap enam dan bukan lima setengah. Dia akan tetap bisa menggambar seperti masa mudanya dan bukan berjualan es buah. Dia mungkin bisa melamar gadis pujaannya yang meninggal di bunuh Jepang di hadapannya.

Perang baginya mungkin biasa saja. Bahkan untuk seorang Manan, saking terbiasanya dia bisa dengan santai menyeruput kopinya di warung Endang sambil menonton berita korban perang di Palestina. Laki-laki itu, dengan kenangannya sendiri, membuat interpretasinya sendiri pula.

Rukhshotul Izalah

Mahasiswa Desain Produk

 

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Luka Perang, Luka Universal