ITS News

Selasa, 03 September 2024
08 Januari 2011, 20:01

MDGs

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Sebenarnya ada delapan poin perbaikan di kitab MDGs. Tapi sorotan harus tertuju pada poin satu. Sebab, tujuh poin sisanya merupakan efek domino dari poin satu. Ketujuh ikrar adalah mewujudkan pendidikan dasar untuk semua, mendorong pemberdayaan perempuan, menurunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV AIDS dan penyakit lainnya, memastikan kelestarian lingkungan, dan mengampanyekan kerja sama global untuk pembangunan.

Sedangkan poin ke satu adalah ”Memberantas kemiskinan dan kelaparan”.

Kira-kira dua minggu kemarin saya tonton video kisah hidup Mother Theresa. Di sana dikisahkan, titik baliknya menjadi pahlawan kemiskinan. Yaitu, saat ia berada dalam perjalanan di sebuah kereta api kelas satu. Hatinya benar-benar terguncang, melihat bertumpuk orang yang sekarat karena kelaparan. Tapi kini di hadapannya, di gerbong kereta eksekutif itu, orang kaya yang hanya seperseribu persen dari penduduk India terlihat begitu angkuh menghamburkan uang. Hingga kata masyhur yang keluar dari mulut nenek tua ini berbunyi,”Let us touch the dying, the poor, the lonely, and the unwanted,”.

Lantas saya segera teringat hits terbaru Iwan Fals. Di segmen akhir video klip ”Untukmu terkasih”, saya benar-benar dibuat tertegun. Kumpulan tulisan serta visualisasi yang apik, membuat saya berpikir ulang tentang arti hidup saya. Bunyinya seperti ini:

Tidak jauh dari rumah megah ini, terdapat 40 keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan
Di ujung jalan dekat sekolah, ada 15 anak jalanan yang tidak bisa bersekolah karena tak memiliki biaya
Bersamaan dengan pesta ini berlangsung, belasan saudara kita meninggal akibat kelaparan dan gizi buruk
Jika satu orang berpunya mau membantu satu orang tak berpunya, niscaya kemiskinan di negeri ini akan teratasi

***
Ketika saya berdiskusi dengan kawan saya yang orang ekonomi, saya seperti dihantam palu godam, sekaligus karma. Sebagai mahasiswa yang ”ahli memanipulasi data” saat mengerjakan tugas kuliah, sekarang giliran saya yang dimanipulasi data statistik. Kalau pemerintah bilang kemiskinan di Indonesia menurun sampai mendekati titik 13 %, agaknya kita perlu cermati.

Kawan saya ini memberi tahu. Standar miskin menurut data tersebut adalah orang-orang yang berpenghasilan di bawah 230 ribu rupiah per bulan. Tapi kita juga tak bisa lantas menyalahkan para pendata. Sebab, PBB sendiri memang memasang angka pendapatan 1,25 dollar per hari untuk bisa masuk golongan fakir-miskin. Padahal, Eropa mengartikan kata “miskin” yaitu yang berpenghasilan 30-35 dollar per hari.

Saya masih bengong. Angka 230 ribu per bulan, itu apa nggak kebangetan? Uang jajan mahasiswa saja bisa jauh di atas itu. UMR standar juga biasanya 4-5 kali lipatnya. Hikmahnya: jangan sekali-sekali percaya dengan orang statistik. Oh salah, maaf-maaf, maksud saya, tiap simpulan statistik harus dipahami asal-muasalnya.

Tapi patut disyukuri. Secara global, kemiskinan ekstrem telah turun drastis dari sekitar 50 % di awal 1990, sampai angka 20% pada saat ini. Itu merupakan preseden baik bagi global dalam meraih cita-citanya. Namun, sekali lagi, angka statistik itu perlu dicermati. Pembebasan dari kemiskinan tidak tersebar merata. Mungkin, berbondong-bondongnya orang China menjadi generasi kaya baru, sangat mempengaruhi data tersebut. Lihatlah kembali Afrika, bahkan pula Indonesia yang sebenarnya agak gengsi menyebut diri negara miskin (di tengah kekayaan alam berlimpah).

***
Kita tahu, kemiskinan telah tega menginspirasi tindakan ibu membunuh anaknya, suami-istri saling bacok, penjaga palang pintu kereta lalai menutup ”pagar”-nya, anak-anak putus sekolah, satu keluarga ber-harakiri dengan makan tiwul sebagai pengganti nasi yang tak mampu dibeli, korupsi menjadi common rule dengan azas kepepet-isme serta banyak hal yang membuat manusia lupa logika-logika moral. Dan, menurut ajaran agama yang saya pahami, kemiskinan juga membuat hamba menjauh dari Tuhannya. Intinya, ia adalah iblis yang tampak di pelupuk!

Pendidikan formal adalah salah satu shortcut meraih jenjang ekonomi yang lebih tinggi. Tujuan saya, anda, kita semua yang berkuliah di ITS, pasti berujung pada itu juga. Kalau ada kata-kata idealis,”untuk mencari ilmu, untuk mengembangkan bangsa dan negara, atau bahkan mengabdi pada Tuhan dll”, paling-paling hanya akan bertahan sampai kita menyadari betul bahwa kemiskinan telah merampas semuanya.

Juga dalam kuadran Kiyosaki yang terkenal itu. Si miskin dengan bekal pendidikan tinggi, hampir bisa dipastikan melangkah ke kuadran ekonomi yang lebih baik. Tapi ya tidak selalu begitu. Karena menurut riset, formalisasi pendidikan sedang turun pamor. Celotehan unik berbicara,”Tanpa kementerian pendidikan nasional pun orang masih bisa pintar, bahkan sekaligus kaya,”.

Atau pepatah latin pernah bilang,"Non scholae sed vitae discimus,". Orang pergi ke sekolah bukan untuk ijazah, tapi untuk hidup. Yang pasti, hidup butuh makan. Dan, makan butuh uang. Kecuali, kalau kita hidup di zaman purbakala. Segala sesuatu bisa didapat dari ladang depan rumah ataupun meminjam dari rumah tetangga.

Barangkali ”Oliver Twist”-nya Charles Dickens membuat kita syahdu tersendu-sendu. Ia memperlihatkan bagaimana anak-anak kecil dipaksa untuk bekerja seminggu penuh pada era Revolusi Industri. Atas nama produktivitas, ditambah keterdesakan ekonomi,  bocah-bocah mati bekerja bukan karena ketiban baja. Tapi karena upah lelah memaksa mereka berpuasa di tengah jam kerja yang menggila.

Kaum miskin, bagi pemikir sosial madzhab Marxian, dianggap sebagai komunitas kontraproduktif, di samping reaksioner. Secara alami mereka termarjinalisasi di lingkungan lemah kreativitas serta kualitas. Dengan daya beli yang rendah, tiap perubahan harga pokok, sama saja menggelar kiamat kecil bagi mereka. Kaum miskin akan terus miskin, sampai mereka dipisahkan dari paradigma komunitasnya, baik secara lahiriah maupun batiniah.

Yang lucu, kaum tani yang selama ini diagung-agungkan, justru menjadi kaum yang paling terancam kelaparan. Kita tahu harga cabe melambung, tapi para petani hanya celingukan, tak ada sepeserpun uang masuk ke kantong mereka atas konsesi dari kenaikan harga itu. Namun, saat panen gagal total, mereka mati ditumpukan jeraminya sendiri.

Dalam teorinya yang paling terkenal, Thomas Malthus mengatakan, jumlah manusia dengan jumlah makanan berbanding progresif. Kelipatan manusia mengikuti deret ukur (1, 2, 4, 8, 16 dst), maka jumlah pangan mengikuti deret hitung (1, 2, 3, 4, 5 dst). Artinya, walau diusahakan bagaimanapun, tetap ada kompetisi perebutan makanan yang tidak sehat. Jadi, rekor kematian satu orang karena kelaparan pada tiap enam detik akan tetap bertahan. Juga, rekor bahwa satu milyar manusia di muka bumi, saat ini, sekarat dalam kelaparan.

Bukanlah solusi dari kelaparan, bila kita memaksa petani untuk terus bekerja keras menghidupi lahannya. Bukan pula solusi dari kemiskinan, bila pedagang kaki lima diberi insentif tapi di sisi lain ritel-ritel bermodal besar dibiarkan melindas. Kalau kita tidak meninggikan mereka dalam derajat sosial, politik serta ekonomi, selama itu pula, kerja keras mereka dinikmati justru oleh orang-orang yang hanya duduk-duduk di kursi malas.  

Dari berbagai uraian yang tak berujung ini, saya punya satu pertanyaan. Secara institusi, apa yang sudah ITS lakukan menyikapi MDGs ini? Sebab dalam tulisan ini, saya baru memeras satu poin saja. Itu pun tidak lengkap.

MDGs: Millenium Development Goals

Bahtiar Rifai Septiansyah
”Kaum miskin sedunia, Bersatulah!” (di kolong jembatan ya…)

 

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > MDGs