ITS News

Selasa, 03 September 2024
30 Januari 2011, 10:01

Mubes

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

KM menghadapi masa sulit. Mubes telah kehilangan ruhnya. Setelah lama hanya jadi pajangan di loker-loker penggiatnya, sekarang kita membahas sesuatu yang tak begitu kita pahami isinya. Jeda sepuluh tahun sejak Mubes III, meninggalkan “jejak-jejak yang hilang”. KM serasa sedang disorientasi.

Tidak ada satupun literatur penafsir atau penjelas kronologis poin-poin dalam Konstitusi Dasar (KD). Bahasa sederhananya, mayoritas penggiat KM tidak tahu betul “asbabun nuzul” atau asal-muasal aturan-aturan tersebut. Mungkin, salah satu sebab mengapa Mubes II berpesan agar Mubes diselenggarakan tiap tiga tahun adalah untuk menyambung tali sejarah dalam tubuh KM. Bisa jadi.

Walaupun saya juga tidak punya kepahaman sebaik pembaca, tapi minimal kita bisa mengira-ngira. Yang pasti, dalam Mubes IV nanti, diharapkan bukan sekedar amandemen beberapa poin saja. Dibutuhkan perombakan fundamental dari perwajahan tata negara KM ITS. Mubes IV memulai pembahasan dari nol, berbicara tentang kondisi saat ini, juga membincangkan tentang kemungkinan-kemungkinan yang terjadi kurun 3-5 tahun ke depan.

Menurut saya, KD yang ada dalam Mubes III sudah cukup lengkap, minimal sesuai Trias Politica yang dicetuskan Montesquie. Hanya saja ada beberapa yang akhirnya overlapping. Yang juga menjadi persoalan adalah fungsi politik LMB dan LSM -yang posisinya sejajar BEM dan LM- dalam ruang ketatanegaraan KM. Kalau menuruti Trias Politica, tidak ada ruang buat mereka. Kalau begitu adanya, KM sama dengan Ormawa.

Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab dari buku Mubes III. Dan, cara paling mudah dalam mengevaluasi adalah dengan memperhatikan organigram di halaman 63 Mubes III.

Kalau ada yang bilang bahwa Lembaga Minat Bakat (LMB) seperti dianak-tirikan di dalam tubuh KM, dapat jelas terlihat pada organigram. LMB hanya diwakili satu “kotak”. Sementara Ormawa mengambil jatah 3/4 dari struktur organisasi KM. Saya tidak paham, apa memang kawan-kawan LMB waktu itu tidak begitu peduli dengan masalah struktural, atau memang LMB sengaja ditempatkan di “luar pagar”. Padahal, setahu saya, UKM-UKM di ITS cukup banyak pengaruhnya di lingkungan mahasiswa pada level grass root. Yang paling jelas terlihat, seharusnya ada kotak setingkat kongres (Ormawa) sebagai forum tertinggi sebelum garis rekomendasi ke Mubes.

Beruntung, LMB masih diberi kehormatan khusus dalam tahapan mencapai Mubes. Rekomendasi forum tertinggi LMB atau biasa disebut Musyawarah Tahunan (Musta) menjadi syarat diadakannya Mubes. Konon, tertundanya Mubes IV akibat Ormawa tidak mendapat rekomendasi dari Musta LMB. Ada beberapa spekulasi, salah satunya, gap kepentingan yang cukup lebar antara Ormawa dan LMB. Belum lagi isu tentang Ormawa yang dituduh “menyerobot” ranah LMB. Belum ada tindakan yang jelas.  

Mungkin masalah ini terlihat sepele. Tapi baru terasa saat KM ITS digoncang kebijakan baru. Misalnya, legalisasi SKEM yang dulu cukup kontroversial. Dalam sisi ini, LMB dan Ormawa punya tuntutan yang sama walaupun di balik layar mereka bersilang pendapat dengan poin-poin dalam peraturan baru itu.

Kalau dilihat dari struktur, maka LMB dan Ormawa seharusnya bersepakat menyelenggarakan Mubes untuk menentukan sikap pada permasalahan bersama ini. Sebab, LMB tidak punya akses dalam Musyawarah Mahasiswa dan Kongres. Tapi kenyataannya justru keputusan bersama itu akhirnya dilegalkan via kongres atau Musma dimana elit LMB hadir sebagai tamu. Hal ini menjadi pertimbangan sebab BEM ITS menjadi ujung tombak kekuatan politis yang dianggap oleh pihak rektorat sebagai representatif mahasiswa ITS.

Kedua, tentang Lembaga Swadaya Mahasiswa (LSM). Ada beberapa pertanyaan paling besar yang mungkin ada dalam benak punggawa LSM di ITS. Apa yang kami dapatkan selain cap “legal” -yang sebenarnya tidak ada gunanya- dari KM melalui Legislatif Mahasiswa (LM) ITS? Apa bedanya kami dengan organisasi atau komunitas “ilegal” yang sekarang menjamur di ITS? Tidak ada satupun jawaban yang memuaskan.

Ada sebuah pasal yang melarang LSM membuat pernyataan politik ke luar. Ini menjadi tanda tanya, mengapa ada aturan spesifik seperti itu. Apakah LSM sengaja dijadikan landasan hukum “orang luar” untuk masuk ke dalam kampus, walau secara tersirat? Tentu hal ini bertentangan dengan semangat independensi KM. Lantas, mahasiswa yang ingin independen dengan tidak terlibat dalam Ormawa ataupu LMB diberi “keuntungan” apa oleh KM bila mereka “legal”? Lalu, apa hukuman bagi komunitas-komunitas “illegal”? Konon, ada pula komunitas “illegal” yang di-blow up media mengatasnamakan mahasiswa ITS.

Ketiga, kita masuk ke ranah Ormawa, dimulai dari bawah. Mungkin mayoritas punggawa KM bersepakat bahwa Daerah Otonomi Politeknik (DOP) tidak relevan lagi. Perkembangan zaman menunjukkan, DOP -baik PENS ataupun PPNS- saat ini sepantasnya menjadi “negara” sendiri. Pertanyaan paling besar, apabila kabar “bisik-bisik tetangga” tentang berpisahnya dua Poltek dari ITS benar-benar terealisasi, apakah DOP juga terlepas dari KM ITS? Saya pikir, atas dasar nilai-nilai historis-strategis, DOP dan KM ITS harus tetap menjalin hubungan secara struktural dan dilegalkan via Mubes.

Lalu, tentang keberadaan Lembaga Mahasiswa Fakultas (LMF) atau dalam hal ini diwakili BEM Fak. Dengan kebijakan pemilu langsung Presiden BEM Fak. berarti telah terjadi pelanggaran KD dimana presiden seharusnya ditunjuk oleh Forum Himpunan Mahasiswa Jurusan (FHMJ). Kondisi ini berarti melegitimasi kedudukan Presiden BEM Fak. berada di atas HMJ.

Analoginya sederhana. Mengapa presiden berkedudukan lebih tinggi dari gubernur? Karena jumlah pemilih presiden lebih banyak daripada pemilih gubernur. Nah, berarti dengan adanya pemilihan langsung tingkat fakultas, menandakan -secara sosiologis- Ketua BEM Fakultas posisinya lebih tinggi daripada Ketua HMJ. Padahal dalam KD, secara tersirat, Presiden BEM Fak. mestinya tunduk pada Forum Kahima. Lantas, kalau seperti ini, forum HMJ tidak bisa memberi instruksi pada BEM Fakultas karena landasan hierarkisnya. Sehingga, dibutuhkan lagi perangkat penyeimbang seperti misalnya dewan perwakilan mahasiswa tingkat fakultas.

Selanjutnya, tentang Legislatif dan Yudikatif. Mayoritas mahasiswa sepakat atas keberadaan keduanya yang hanya sebagai pelengkap. Legislatif tidak begitu produktif menghasilkan Undang-Undang. Begitu juga Mahkamah Konstitusi yang kelihatannya seperti sedang “sepi order”. Satu masalahnya, ini bicara tentang hukum, yang membaca dialeknya saja sudah amat membosankan. Tak heran, ketika mahasiswa ITS menggelar sidang, dibutuhkan waktu satu hari khusus untuk membahas tata tertibnya saja.

Pertanyaannya, sejauh mana kemampuan punggawa LM dan MKM memahami hukum dan memproduksi kebijakan-kebijakan? Bila mereka sudah paham tentang KD dan perangkat hukum lainnya, maka pertanyaan kedua, sejauh mana civitas atau dalam hal ini khususnya mahasiswa, peduli tentang hukum yang dibuat (dan kadang dilanggar-langgar sendiri) itu? Wah, ini masalah iklim berpikir. Lalu, masih efektifkah trias politica?   

Ada yang menarik di balik keberadaan Dewan Presidium, kumpulan Kahima se-ITS. Saya kurang paham, apa analoginya dalam pemerintahan RI karena saya belum pernah mendengar adanya Forum Gubernur se-Indonesia yang bertemu secara periodik dengan Presiden RI. Dalam perjalanannya, bisa jadi ada kebijakan atau bahkan perkara yang diputuskan secara aklamasi (informal) dalam forum tersebut. Secara tidak langsung, fungsi aspiratif, legislatif, dan yudikatif bisa terselesaikan di luar lembaga resmi. Saya tidak tahu apakah ini meringankan tugas LM dan MKM atau bisa jadi ini bentuk ketidakpuasan atas dua lembaga tersebut.        

Melihat kenyataan ini, apakah kita perlu mengadakan ujian konstitusi? Sehingga para legislator, hakim konstitusi, dan pimpinan-pimpinan organisasi mahasiswa, memang layak memimpin secara konstitusional. Seperti halnya dulu Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) bertugas menanamkan sikap-sikap negarawan bagi para calon pejabat. Kalau iya, kapankah ada sosialisasi masif tentang sikap “sadar konstitusi” pada seluruh civitas?

Sistem Kepartaian

Bisa dibilang, kondisi politik kemahasiswaan terlihat stagnan satu dekade ini. Secara global, gairah untuk berpartispasi secara aktif juga amat menurun. Adakah yang salah dari sistem student state kita?

Perjalanan negara akan lebih dinamis bila terdapat sistem pemerintahan yang seimbang. Yang terjadi saat ini, kondisi dinamisasi politik hanya berlangsung satu bulan sebelum Pemira, saat Pemira, dan hilang. Hampir semua calon Presiden BEM menghilang ditelan bumi setelah KPU memutuskan ia kalah. Entah karena faktor kecewa atau memang keputusan politik pribadi, saya kurang paham.

Berbeda di negara diktator dimana kekuatan oposisi dibungkam, yang terjadi di ITS justru dimana pihak oposisi belum mendapat kesempatan untuk berekspresi. Bila ada sekelompok mahasiswa yang mengaku mengoreksi kehidupan KM dari “luar pagar”, ini bukan solusi baik sebab dalam proses dinamisasi dibutuhkan lembaga yuridis formal. Selama ini, oposisi tidak secara tegas mengkritik kinerja, akhirnya grass root pun tidak ambil peduli.

Bila kita menganut sistem kepartaian, menurut saya, hal ini bisa membangkitkan gairah politik mahasiswa. Tapi juga perlu diperhatikan bahwa sistem ini bisa menimbulkan gesekan lebih keras bila para penggiatnya tidak bijaksana dan demokratis. Jangan sampai terjadi dimana partai hanya sibuk dalam permainan “saling menjatuhkan”. Beda lho antara dinamisasi dengan saling menjatuhkan.

Kemudian, Mubes akan menentukan sistem kepartaian macam apa yang ingin diadopsi. Apakah hanya dua partai seperti di Amerika, atau multipartai dengan syarat-syarat pendirian yang ditentukan melalui undang-undang. Baiknyalah kita ambil jalan tengah, dimana partai mahasiswa tumbuh sekaligus tidak menutup kepentingan pihak-pihak yang ingin maju sebagai calon independen.

Yang pasti, ini bukan sistem ideal. Kalau memang tujuannya untuk membangkitkan gairah politik sekaligus dinamisasi, maka parameternya adalah semakin efektifnya gerak Ormawa dari tingkat pusat sampai jurusan. Sebab nantinya, partai harus memiliki massa sampai level terendah. Belum lagi adanya usulan tentang jenjang kaderisasi legislatif dan hakim konstitusi yang gradual. Tidak seperti presiden BEM yang biasanya bekas Ketua Himpunan. Legislator dan hakim konstitusi sering terjadi berasal dari “rakyat biasa”.

Sistem kepartaian ini memberi dampak baik (walau dampak buruknya juga lumayan banyak). Sebagai contoh, bila dalam membentuk kabinet seorang presiden diberikan syarat untuk menguasai 2/3 dukungan LM. Otomatis, Presiden akan datang melobi partai lain -yang mungkin saja saat Pemira menjadi saingannya- untuk bekerja sama dalam kabinet. Sehingga tidak ada lagi kesan nepotis atau bahkan absolutis. Setelah itu, buktikan kalau kerja sama itu efektif, bukan malah menggembosi dari dalam.     

Contoh lain dalam perkara “hak veto” yang dimiliki seorang presiden. Berhubung presiden di sini tidak memiliki partai dalam legislatif, sehingga dalam KD/KM, presiden diberi kuasa khusus untuk menerima atau menolak Rancangan Undang-Undang. Berbeda misalnya kalau presiden punya pendukung di legislatif. Berjibaku pendapat cukup berada di meja legislatif. Ketika proses itu selesai dan semua legislator sepakat, presiden tinggal tanda tangan, tidak perlu ikut rapat-rapat panjang yang membahas detail pasal. Hal itu mengganggu kinerja eksekutif seorang presiden.

Seringkali pada perdebatan pembahasan RUU, akhirnya LM-lah yang mengalah. Sebab tanpa tanda tangan presiden BEM, RUU tidak akan berubah menjadi UU walaupun suara legislator bulat 100% . Kalau dalam aturan kenegaraan, maka RUU yang tidak disepakati itu harus ditunda pembahasannya sampai periode selanjutnya. Tapi, jikalau ini RUU Pemira? Mau tidak mau harus disepakati, entah siapa yang rela mengalah.

Lain lagi soal impeachment (pemakzulan). Kalau dalam pemerintahan RI, butuh suara 3/4 parlemen yang hadir untuk mengutarakan pendapat pemakzulan (ingat, itu baru mengutarakan pendapat, belum pada kesimpulan impeachment). Sedangkan mosi tidak percaya biasanya lahir dari oposisi yang berkumpul jadi satu untuk mengurung pemerintah berkuasa.

Kalau dalam KD, peluang pemakzulan datangnya dari LM sebagai lembaga controlling melalui Kongres Luar Biasa (KLB). Menurut saya, KD sudah cukup bijak dengan “menyulitkan” lembaga apapun di ITS untuk menggulingkan pemerintahan. Hal ini jelas diberlakukan untuk mencegah chaos. Begitu juga bila saatnya sistem kepartaian, harus ada mekanisme agar pemerintahan tidak gampang roboh.    

***

Sepertinya kita memang harus selalu mengevaluasi diri. Saat ini, kita sedang mendengungkan tentang Mubes IV. Padahal di sisi lain, banyak pekerjaan rumah yang belum tergarap. Contohnya, poin rekomendasi Mubes III di halaman 77-79.

Diturunkannya kadar LKMM yang berhak diselenggarakan masing-masing universitas kadang membawa negatif dan positif. Sisi positifnya, semakin besar peluang anggota KM ter-up grade secara keilmuan. Tapi negatifnya, tidak ada komparasi ilmu, karena para pesertanya dari universitas yang sama, bahkan kadang pembicaranya juga tidak ada bedanya.

Sejak dulu, saya berharap banyak sama kawan-kawan jebolan LKMM-TM dan TL. Tapi saya baru menyadari, tindakan saya ini tidak lebih dari punduk merindukan bulan.

Harapannya, isi Mubes yang baru nanti juga harus mengadopsi arahan dan rencana strategis pihak kampus. Bukan berarti independensi KM berkurang, tapi KM sering menghadapi realita dimana Mubes atau KD KM “tidak mempan” kalau didiskusikan di Rektorat. Kalau bisa, dalam Mubes nanti ada tanda tangan Pak Rektor. Itu bukti kalau keberadaan Keluarga Mahasiswa ini benar-benar diakui dan bisa menjadi pertimbangan yuridis bila pihak kampus ingin menelurkan peraturan yang bersangkutan dengan kemahasiswaan. Saya pikir jalan ini win-win solution.

Bagi saya, jadi atau tidaknya Mubes IV, bukan masalah. Terpenting adalah semakin sadarnya kita pada asas yang berbunyi “Pacta Sunt Servanda”. Hukum yang telah disepakati, harus dihormati.  

Bahtiar Rifai Septiansyah
Maaf jikalau lancang bicara. Maklum, cuma “lulusan” Tingkat-Dasar

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Mubes