ITS News

Senin, 02 September 2024
06 Maret 2011, 20:03

Pandawa

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Namanya Bhagavad Gita. Salah satu epos peninggalan peradaban Indus yang paling populer. Bagi saya yang tidak pernah menonton wayang sampai selesai, tentu agak sulit memahami. Tapi bagi anda yang tekun mengikuti cerita Perang Baratayudha, nah! di sanalah Gandhi belajar.

Dua keluarga besar, Pandawa dan Kurawa, sedang berkumpul di lapangan Kurusetra. Segala perlengkapan tempur sudah di tangan, hanya tinggal ditancapkan ke arah musuh. Arjuna, anak Dewa Surya, merasa inilah saatnya setelah 13 tahun lamanya diusir dari kemaharajaan. Posisinya di atas angin, Pandawa siap merebut kembali haknya.

Terompet bergenderang. Sri Kresna dengan kereta kuda yang amat indah, berdiri di tengah-tengah mereka, bagai seorang wasit dalam pertandingan gulat. Tapi entah kenapa, tiba-tiba badan Arjuna gemetar lemas. Ia melempar panah dan busurnya, kemudian menanggalkan baju perangnya. Mengacuhkan begitu saja sembil ditendangnya kereta kuda yang berbentuk kera (hanoman) itu. Arjuna mogok perang. Dalam hatinya, bagaimana mungkin ia bisa menumpahkan darah seseorang yang lahir melalui rahim yang sama dengannya?

Arjuna tahu, peperangan tak memberi manfaat sedikitpun. Perpecahan akan melahirkan tirani yang lebih besar berpeluang mengangkangi aturan-aturan alam. “Lebih baik mereka membunuhku,” katanya dalam hati.  

Arjuna bertanya pada Sri Krisna,”Bilamana ilmu pengetahuan lebih engkau cintai, mengapa kau menyuruhku melakukan kegiatan kejam ini?”.

Krisna menjawab,”Di dunia ini hanya ada dua jalan mengagungkan kebenaran. Pertama, dari jalan pengetahuan bagi mereka yang suka melakukan perenungan. Kedua, jalan kegiatan bekerja bagi mereka yang bersemangat bekerja. Maka, jalan kerja adalah yang paling utama,”.

Arjuna heran. Raut wajahnya persis seperti kebingungan Musa pada tindak-tanduk Khidir.  

Setelah itu, yang kita lihat hanyalah langit berwarna merah. Bukan senja, tapi darah. Keturunan Destarastra habis tak bersisa. Burung bangkai meloncat gembira. Yang tersisa, bau busuk mengangkasa. Ia mengingatkan kita pada sosok Archiles dalam drama penculikan Putri Helena di kota Troya. Dimana ia sebenarnya lebih cinta pada kicauan burung dari sebuah hutan rindang, ketimbang suara berisik dentang-denting pedang. Tapi, perang Troya berakhir tragis. Achiles yang katanya amat lembut dan romantis, tiba-tiba beringas, tampak puas ketika menyayat mayat Hector, Pangeran Troya.

Kurusetra telah sepi, tinggalah putra-putra Pandu tegak berdiri. Kemudian Arjuna menanyakan lagi. “Inikah yang kau cari O Janardana?”. Sri Krisna mengangguk sambil berisyarat,”Nanti kau tahu sendiri,”. Biasanya setelah ini, seorang dalang akan berkata dengan nada menurun haru,”Akhirnya rakyat kembali aman dan sejahtera,”. Pertunjukan berakhir dengan plot Hollywood. Ending yang manis, penonton pulang dengan hati lega.

***
Satyagraha atau jalan yang lurus, mengilhami Gandhi untuk memberontak tanpa suara bedil. Mungkin juga segera menitiskan huruf di kepala John Lennon dan berkata,“Give Peace A Chance”. Akhirnya pula ramai-ramai orang mengacungkan tangan, membentuk huruf “V” antara telunjuk dan jari tengah, yang kemudian hari diasosiasikan pada nama kelamin salah satu dari kita. Ada benarnya. Sebab, slogan “peace” sebenarnya hanyalah sebuah libido yang tak terpenuhi. Seperti pemuda puber di lingkungan konservatif.

Gandhi terinspirasi dari bentuk kerja nyata untuk melawan penindasan. Ia tidak seperti Tagore dan Iqbal yang hanya pandai membuat puisi-puisi pembebasan, tapi ia bekerja secara langsung di tengah masyarakat, untuk membuktikan kebebasan yang hakiki. Perjuangan yang justru dibalas dengan air tuba. Suatu hari berbahagia, bising dari moncong senapan, mengantar Gandhi menikmati nirwana.

Ini perkara dualisme kehidupan. Antara hidup-mati, menang-kalah, untung-rugi, naik-turun yang selalu berputar tanpa pandang bulu. Demokrasi yang kita jalani, pada hakikatnya bukanlah perkara suara rakyat atau bukan. Ini adalah bentuk legal formal, antara kebaikan dan kejahatan yang selalu berperang merebut kekuasaan. Baik kebaikan ataupun kejahatan, pada akhirnya tak akan pernah bisa memonopoli lambang kemutlakan.

Pada penghujung eksekusi, di belantara Bolivia, Che Guevarra berkata,”Perang adalah soal membunuh dan dibunuh,”. Tergantung seberapa yakinnya kita pada apa yang kita perjuangkan. Sementara falsafah Sun Tzu justru menggariskan. “Jenderal terhebat ialah mereka yang mampu memenangi sebuah peperangan, tanpa satu darah pun yang menetes,”. Saya pikir, ini hanya kiasan. Karena dunia amat membenci sebuah kondisi bernama, IDEAL.

Lantas, bagaimana kabar Pandawa? Ternyata, Istana Kuru tak membuat mereka terpanah. Kemegahan dan kemewahan yang membutakan itu, sama sekali tak menggoda mereka. Yudhistira, tokoh yang paling lurus itu, merangkul adiknya (Arjuna) sambil berkata. “Kurasa, ini bukan tempat yang cocok untuk kita,”. Mereka kembali ke gunung Mahameru, menikmati kesunyian. Dan, orang-orang yang rindu kebajikan, mereka merindukanmu wahai Pandawa!

Bahtiar Rifai Septiansyah
“Hidup memang sudah susah. Tapi jangan dibikin susah,” (Slank)

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Pandawa