ITS News

Senin, 02 September 2024
29 Maret 2011, 10:03

Bangkit!

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Dengan bahasa yang menarik dan alur yang mengejutkan, cerita Lipstik Dalam Tas Doni itu menggugah saya untuk membaca cerita-cerita pendek lainnya dalam buku itu. Semuanya silahkan anda baca sendiri, saya tidak akan melanjutkannya di sini.

Yang jelas, bila tidak diberitahu, saya dan mungkin banyak pembaca lain tak akan pernah tahu siapa sebenarnya di balik cerita-cerita tersebut. Ratna Indraswari Ibrahim, mungkin bukan sosok yang lazim orang cap sebagai ‘normal’. Sederhananya, beliau cacat.

Tapi bukan itu saja. Cerita ibu saya, yang bertemu dengannya pertengahan tahun lalu, Ratna mengidap beberapa penyakit lainnya. Biaya perawatan dirinya mencapai Rp 42 juta sebulan. Semuanya membuatnya otomatis tak pernah beranjak dari kursi rodanya.

Namun bukan berarti ia menyerah pada keadaannya. Pejuang kata-kata ini telah menulis sekitar 400 buah cerpen. Ia juga aktif di berbagai lembaga dan organisasi, dan beberapa kali meraih penghargaan. Padahal, jari-jemarinya sendiri tak mengijinkan tangannya menulis cerpen-cerpennya sendiri. Semuanya harus diketikkan oleh para pembantunya.

“Semangatnya luar biasa,” cerita Ibu saya saat itu, “Kau harus bertemu dengannya”. Sayangnya, kesempatan itu mungkin tak akan pernah saya dapatkan lagi. Senin 28 Maret, Ratna Indraswari Ibrahim menghembuskan nafas terakhirnya. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.

Biasa
Di negara-negara lain, orang-orang cacat (difabel, berkebutuhan khusus) berkarya tidaklah mengherankan. Justru mereka tidak mau kalah dengan orang-orang lain yang lebih ‘beruntung’ dari mereka. Stephen Hawking, misalnya.

Sementara di Indonesia, orang-orang seperti mereka justru banyak yang dianggap beban, karena harus selalu dibantu dan dirawat, dan tidak dapat menghasilkan suatu karya sendiri. Stigma yang pelan-pelan sedang mulai didobrak.

Di jurusan saya sendiri, sosok pejuang difabel ada dalam bentuk dosen bernama Arina Hayati. Setiap hari, wanita berkerudung dan berkaca mata ini pergi ke kampus mengendarai sepeda motor yang dimodifikasi khusus untuk tubuhnya yang tak bisa ditopang secara penuh oleh kedua kakinya.

Ketika turun dari sepeda motor, ia harus ‘menongkat’ (istilah saya untuk ‘berjalan dengan dua tongkat’) ke kantornya di ruang dosen lantai dua. Untung saja tangganya tidak setinggi tangga di Rektorat.

Bahkan di jurusan arsitektur yang sangat memperhatikan hubungan antara perilaku bangunan dan penggunanya, belum tersedia layanan untuk para difabel. Tapi Arina hanya perlu memfasilitasi dirinya untuk bisa melawan barrier di depannya. Tahun lalu, ketika baru pulang setelah studinya di Jepang, ia juga menjadi panitia seminar internasional Sustainable Environmental Architecture (SENVAR) 2010 yang dihadiri oleh pembicara dari berbagai belahan dunia.

Semuanya berawal dari mindset. Pemikiran mempengaruhi perilaku, memunculkan keberanian dan kemampuan untuk merubah. Kata kuliah Technopreneurship (ini nyontek dari catatan teman saya), untuk membuat sebuah perubahan kecil, ubahlah perilaku. Namun bila ingin membuat perubahan yang besar, ubahlah mindset. Kalau istilah dalam Islam, niat.

Lalu, bagaimana dengan kita yang, pada tingkatan tertentu, secara fisik dapat dikatakan ‘sempurna’? Adakah semangat dan ketekunan kita sebesar mereka yang tak dapat merasakan semuanya? Jangan-jangan, kita bermata tapi tak melihat, bertelinga tapi tak mendengar. Memiliki fisik yang sehat tetapi tidak berkegiatan, tidak berprestasi, tidak menghasilkan manfaat bagi orang lain.

Dalam Al-Qur’an, ada istilah untuk orang-orang yang menyerupai ‘buih’. Buih, sesuatu yang dihasilkan saat air terjun dari sebuah tingkatan permukaan ke tingkatan di bawahnya.

Buih, sesuatu yang dihasilkan oleh leburan logam dari tungku tanur ke dalam cetakan. Air dan leburan logam tersebut terpakai, namun buih akan terbuang.  Perumpamaan buih adalah seperti orang yang tidak dapat memberikan manfaat bagi sekitarnya.

Ya Tuhan, jangan jadikan kami seperti buih, yang ketika datang tak diharapkan, dan ketika hilang tidak dirindukan.

Obituari kecil,
Lisana Shidqina
Mahasiswa Arsitektur angkatan 2009
 

*) Kutipan mengenai buih diambil dari buku Iman Supriyono, Anda Jago Kandang atau Kelas Dunia?

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Bangkit!